Terhenyak saat Tatiana menyeretku berjalan. Kami berdua ada di deretan paling belakang, sementara Lucas dan Mr. Avindale memimpin di depan sebagai penunjuk jalan. Rombongan meniti jalan setapak menuju bangunan utama.
Ah, kenapa aku berani menyebut nama depannya? Tidak sopan! Sir Kingston, ya aku harus ingat itu. Sengaja kulambatkan langkah agar berada di belakang Tatiana, cukup leluasa untuk mengamati sekitar.
Tidak salah lagi. Ini adalah Manor tempatku dulu tinggal, sebelum pindah ke mansion paman. Usiaku sekitar tujuh atau enam tahun waktu itu, entahlah. Hanya ada kilasan ingatan saat Mama mengatakan kalau kami hanya tinggal berdua di sini—bersama para pelayan juga tentunya. Lalu seperti ada kabut yang menyelimuti memori, dan langsung melompat pada ingatan saat beberapa orang berpakaian tentara mengunjungi kami.
Selanjutnya yang paling jelas ketika aku tiba-tiba terbangun di rumah Uncle John. Selanjutnya dia dan Bibi Catherine mengatakan kalau mulai saat itu aku harus tinggal bersamanya karena Mama sudah meninggal. Sehingga secara hukum, dia yang menjadi waliku.
Pernah satu ketika aku bertanya pada Bibi Katherine bagaimana Mama meninggal, karena aku tidak ingat sama sekali. Dia bilang mama meninggal karena sakit, dan mewanti-wanti agar aku tidak mengungkit hal itu lagi. Walau sedih dan terpukul, aku tidak berani bertanya lebih jauh. Mereka pun sepertinya tidak terlalu suka membahas hal itu.
Beberapa kali aku mendapati tentara berseragam merah mengunjungi mansion paman. Saat itulah dia memerintahkan Nanny dan beberapa orang kepercayaannya membawaku ke paviliun di luar mansion lewat jalan rahasia. Saat itulah, aku mengerti jika paman ingin melindungiku dari para tentara itu.
Walau pavilliun yang kutempati berada di dekat hutan, justru aku lebih suka tinggal di sana. Lebih bebas dan bisa jalan-jalan ke luar bersama Nanny. Aku pun memilih tinggal di paviliun itu saat tidak ada pelajaran formal. Guru-guru privat didatangkan untuk mengajariku, dan tidak mungkin mereka datang ke pavilliun terpencil. Sampai akhirnya, paman memutuskan untuk menyuruhku mengubah penampilan, kemudian memperkenalkanku sebagai keponakan jauh.
"Adel, ayo!" Tatiana kembali menyeret lenganku, agar menjajarinya. "Tingkahmu sangat aneh hari ini, Miss Watson!"
Aku hanya tersenyum masam, menanggapinya. "Maafkan saya, my Lady," ujarku menggodanya.
"Stop it!" sergahnya jengah. "Eh, lihat itu! Wow!"
Mataku berpaling ke arah yang ditunjuk Tatiana. Rupanya, kami dibawa menuju halaman belakang Manor yang memiliki kolam renang. Di sekeliling kolam telah tertata meja-meja banquet, yang dipayungi gazebo mini. Masing-masing meja oval itu, memiliki empat kursi bulat yang terbuat dari kayu tanpa sandaran.
Wah, cukup unik juga selera Sir Kingstone. Seingatku dulu, tidak ada kolam renang di sini. Mungkin dia merenovasi halaman ini setelah memilikinya.
"Silakan, memilih meja Anda, Ladies," kata Mr. Avindale.
Langsung aku menyeret Tatiana ke meja yang terdekat dengan kami. Sementara yang lain berebutan semeja dengan meja Mr. Avindale dan Sir Kingstone. Dua gadis berhasil, sisanya mengambil meja di dekat mereka.
Namun sialnya, justru posisi dudukku berseberangan langsung dengan pria berbahaya itu. Saat hendak pindah tempat, Alea dan Freya lebih dulu mengambil dua kursi kosong. Jadi, aku terjebak di tempat yang sangat tidak strategis.
"Yah, mereka sangat beruntung," kata Freya, memandang iri pada Samantha dan Dorothy yang semeja dengan tuan rumah.
"Tuan rumah yang sangat tampan," celetuk Freya.
"Kuharap dia masih single," tambah Tatiana. Lalu mereka bertiga cekikikan sembari mencuri pandang ke arah Lucas.
Ah, kenapa nama depannya sangat nyaman diucapkan?
Sangat sulit untuk tidak memandang lurus ke depan. Apa lagi posisi alamiah mengharuskan demikian. Tidak nyaman juga menoleh terus-menerus, dan tidak mungkin juga aku menunduk atau mendongak hanya untuk menghindari tatapan dari meja seberang. Akan sangat aneh. Mau tidak mau, aku harus memandang lurus ke depan dengan gerakan sewajar mungkin.
Sesuai dugaan, sepasang mata elang di seberang seolah menanti tatapan kami bertemu. Iris birunya bagai lautan dalam yang menyembunyikan semua emosi, penuh misteri. Aku telah melihatnya dalam jarak yang begitu dekat tadi pagi. Tatapan yang mampu membuatku terhanyut dan lupa di mana aku berpijak.
"Di melihat kemari!" pekik Freya, membuyarkan konsentrasi. Segera aku membuang pandang ke tempat lain, mengamati para pelayan yang sedang membawa nampan untuk menyuguhkan hidangan.
"Oh, tidak. Dia ke mari!" tambah Alea histeris.
Aku terkejut dan melihat ke arah pria itu. Benar saja, dia membalas tatapanku sembari melangkahkan kaki.
Tidak! Dia tidak mungkin mengenaliku. Dia tidak boleh mengenaliku.
"Eh, aku ingin ke toilet, sebentar" ujarku buru-buru berdiri.
"Di sebelah sana, Miss. Mari saya antarkan," kata seorang pelayan perempuan yang telah selesai meletakkan hidangan.
"Terima kasih," ujarku, lantas berjalan mengikutinya.
Debaran jantung yang seperti genderang, mengiringi langkahku meninggalkan meja banquet. Syukurlah, pria itu baru sampai saat aku sudah berhasil menjauh dari meja. Bisa kudengar saat dia menyapa teman-teman semeja. Sembari berjalan aku menoleh. Dia tersenyum. Tatapannya membuat jantungku seperti berhenti mendadak, seolah berkata, "Kau tidak akan bisa lari dariku".
Buru-buru aku berpaling dan hampir menabrak pelayan yang berhenti di persimpangan koridor.
Gawat! Ini benar-benar gawat.
"Ke sana, lurus saja , My Lady," kata pelayan itu, menunjuk dinding partisi yang menutupi sebagian pintu toilet.
"Terima kasih," jawabku sopan. Aku bergegas menuju tempat itu, semangat pelayan tadi mengambil arah yang berlawanan. Mungkin ke arah dapur.
Setelah menemukan toilet yang dimaksud, buru-buru aku masuk. Menghempaskan diri di balik pintu kamar mandi sambil mengatur napas, otakku memikirkan siasat agar bisa menghindar dari Sir Kingstone. Tidak mungkin aku bersembunyi di toilet sampai jamuan makan siang berakhir, bukan? Apalagi, perut sudah mulai protes. Energi untuk petualangan yang gagal pagi tadi, cukup besar.
Segera aku menuju wastafel, menatap pantulan wajah di cermin, lalu membuka kran. Air membasahi tangan, lantas menepuk-nepukannya ke pipi. Sensasi dinginnya bisa menenangkan pikiran.
Oke, baiklah! Aku menarik napas seraya memberi afirmasi untuk bersikap biasa saja di hadapannya, seolah tidak terjadi apa-apa. Tetap menyangkal jika dia sampai melakukan konfrontasi. Lagi pula saat itu tidak ada saksi bukan?
Yes, aku pasti bisa!
Setelah kepercayaan diri terkumpul, aku keluar dari toilet. Saat akan melewati dinding partisi, terdengar seseorang berdeham. Aku spontan menghentikan langkah.
Beberapa detik kemudian, Lucas, eh maksudku Sir Kingstone tiba-tiba muncul dan berdiri menghalangiku. "Sengaja menghindar?"
"Pardon me?" tanyaku formal.
"Kamu sengaja menghindar bukan?"
"Maaf, Sir Kingstone, jika saya kurang sopan. Saya benar-benar harus ke toilet saat Anda menghampiri meja. Saya sangat menghormati Anda seperti menghormati guru saya, Mr. Avindale," ujarku membela diri.
"Hemm, begitu? Baiklah. Tapi, jika tidak salah, kita sudah pernah bertemu sebelumnya .... ." Ucapannya jelas menggantung, mencoba memancingku.
"Maaf, Sir. Ini pertama kalinya saya kemari," jawabku tanpa menatap matanya.
"Oh, ya? Tapi Nona, saya merasa pernah melihatmu sebelumnya."
"Mungkin Anda salah orang, Sir."
Dia tidak menjawab, tapi langkah kakinya merangsek maju. Aku bergeming, menatap lurus ke depan, sejajar dadanya yang terlihat semakin mendekat. Untunglah dia segera berhenti.
"Saya bukan tipe yang mudah melupakan wajah seseorang, Miss," katanya sembari membungkuk. Dia membisikkan itu di telingaku.
"Dan saya juga bukan tipe yang terlalu memikirkan hal-hal sepele, Sir," bantahku, sekuat tenaga berusaha untuk tidak terpengaruh oleh sikapnya.