3 - ADELL - The Mysterious Man

1255 Kata
Tanpa membuang waktu, aku menuruni tebing menggunakan tangga batu alami menuju ke ngarai. Bunga-bunga liar yang berwarna warni membuatku terpesona. Sambil berjalan aku menghidu beberapa bunga mawar liar yang berwarna magenta dan kuning cerah. Aromanya yang lembut sangat aku suka, hanya saja harus tetap berhati-hati pada duri tersembunyi. Setelah tiba di depan danau, buru-buru kulepas sepatu dan membiarkan kaki telanjang merasakan sejuknya air. Tidak ketinggalan kedua tangan kucelupkan juga. Setangkup air kubasuhkan pada wajah, sangat segar. Berwadah tangkupan kedua telapak tangan, kuminum air segar itu. Kesejukan membasahi kerongkongan dan menghilangkan dahaga. Airnya terasa sedikit manis, dan sungguh berbeda. Seandainya saja aku bisa tinggal di sini, pasti sangat menyenangkan. Luar biasa, seperti di surga. Kembali menegakkan tubuh, aku memandangi sekitar. Tempat ini belum terjamah manusia, jika mereka menemukannya, pasti keindahan ini akan segera musnah. Saat bersama Mama kemari. Kami bermain cipratan air, juga akhirnya berbasah-basahan. Tidak lupa pula, aku memunguti beberapa batu warna warni yang berserakan di dasar danau. Ada yang warnanya pekat ada juga yang tembus cahaya. Mama bilang aku hanya boleh mengambil beberapa, tidak boleh serakah. Sampai sekarang, batu itu aku simpan dalam kotak perhiasan. Aku kembali berjongkok dan mengamati dasar danau yang jernih, berharap menemukan batu unik itu lagi. Namun sepertinya hanya ada batu hitam biasa saja. Perlahan kususuri pinggiran danau hingga kedalamaan air setinggi betis, mengabaikan ujung celana berkuda yang mulai basah. Yeay, akhirnya aku menemukan satu batu berwarna merah cerah. Sembari berdiri kuarahkan batu itu ke langit. Cahaya menembusnya, indah sekali. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Suara seorang laki-laki membuatku menoleh.Entah dari mana datangnya, tiba-tiba sudah berdiri di bibir danau. Serta merta kusembunyikan batu sebesar ujung jempol itu dalam genggaman. Apakah dia makhluk penunggu danau atau manusia? Logikaku menganalisisa siapa orang itu, mungkin aku terlalu terhanyut dengan alam, sehingga tidak mendengarnya datang? Laki-laki yang hanya mengenakan jeans belel itu memandangku tanpa berkedip. Usianya mungkin sama dengan Uncle John. Rambutnya yang coklat tampak berkilau, serasi dengan warna kulitnya yang agak gelap. Dari tatapannya, terlihat jelas kehadiranku tidak disukainya. "Sekali lagi. Apa yang kamu lakukan di sini, Miss? Ini adalah properti pribadi." Aku terkejut mendengar kalimatnya. Kukira tempat ini sangat tersembunyi, hingga hanya aku dan Mama yang tahu. Apakah benar properti pribadi? Mungkin aku belum paham waktu itu. "Eh, aku ... aku hanya ingin minum air, Sir." "Bagaimana kau bisa masuk ke sini?" tanyanya lagi. "Emmm, lewat lorong dari Umpherston Sinkhole," jawabku kikuk. Laki-laki itu sedikit terkejut, tapi kemudian berjalan mendekat."Oh, ya?" Aku mengangguk takut-takut. Tanganku yang menggenggam batu merah, terasa mulai berkeringat. Segera saja kuselipkan batu itu ke saku celana. Ia berhenti saat jarak kami tinggal selangkah lagi. Bayangan tubuhnya jatuh menutupiku, ia sangat tinggi. Aku harus mendongak melihat sepasang iris mata biru. "Wajahmu sepertinya tidak asing," ujarnya. Oh, tidak! Wig rambut hitamku. "Mungkin Anda salah orang." Buru-buru aku menunduk. Bagaimana caranya aku keluar dari masalah ini? Memasuki properti pribadi tanpa izin akan menyebabkan masalah serius. Apalagi sampai ada yang tahu identitas asliku. "Maaf, kalau saya telah memasuki wilayah ini tanpa izin. Saya akan kembali ke Umpherston Sinkhole," lanjutku. Tanpa menunggu persetujuannya, kulangkahkan kaki hendak pergi. Namun .... "Tunggu, Miss!" Tangannya mencekal lengan atasku dengan tiba-tiba. Langkah kaki yang belum menapak sempurna pada tanah berkerikil di tepi danau, membuat keseimbanganku hilang. Sisi tubuhku yang ditarik, ambruk ke d**a bidangnya. Mungkin karena tidak siap menerima momentum tumbukan yang tiba-tiba, tubuh laki-laki itu ikut terdorong ke belakang. Lalu tanpa bisa dicegah, kami berdua jatuh ke air. Dia mendarat dengan punggung, sementara punggungku berada di atas dadanya. Tubuh kami terbenam sesaat dalam air, seolah berdansa dalam gerakan lambat. Satu lengannya melingkari tubuhku dan tangan yang lain berkait di atas perutku. Aku berada dalam kondisi setengah sadar, saat dia berusaha bangkit dan mendorong tubuh kami untuk naik ke atas. Kini kepalaku sudah keluar dari air. Mungkin dia juga. Masih dalam kondisi terengah-engah mengatur napas, kurasakan dadanya yang keras menempel pada punggungku yang basah. Dalam posisi duduk seperti ini, air menjadi sebatas d**a. Aku basah kuyup. "Perfect!" umpatku kesal. "Ya, posisi ini sangat sempurna." Embusan napas hangat yang membelai telinga, membuatku sadar jika sedang berada di antara kedua kaki seorang pria. Sementara pinggangku dipeluk dua lengan kokoh dari belakang. "Lepas!" Aku meronta, berusaha melepaskan lilitannya yang terasa semakin erat. Setelah beberapa saat, akhirnya dia melepasku juga. Tidak menyia-nyiakan kesempatan, aku segera berdiri sembari merutuki nasib pakaian yang basah kuyup. Aku berbalik badan dan berkacak pinggang. Eh, ternyata dia masih saja duduk santai berendam. Tiba-tiba saja emosi seperti tersulut, "Kamu sengaja, kan?" bentakku. Reaksinya sungguh di luar dugaan. Matanya memicing, seolah mengulitiku dari atas ke bawah dengan sengaja. Lantas, satu sudut bibirnya tertarik ke atas. Tanpa kuduga, mendadak dia bangkit dan berdiri. Lagi-lagi jarak kami terlalu dekat, sampai-sampai aku harus mundur. "Kalau iya kenapa?" Dia pun berkacak pinggang, lalu matanya kembali menjelajah turun. Terlihat jelas jakunnya bergerak naik turun, menandakan dia sedang menelan ludah. Saat itulah aku menyedari kondisiku yang basah kuyup, membuat lekuk tubuhku tercetak sempurna."Dasar, tidak sopan!" umpatku sambil menyilangkan tangan di depan d**a. Sedetik kemudian dia meraih tubuhku dengan kedua lengannya. "Tidakkah kau tahu posisimu, Miss?" Matanya masih menatapku tajam. Aura panas dari tubuhnya mengirimkan ancaman, seperti hendak membakarku hidup-hidup. Seketika itu nyaliku menciut, menampar kesadaran dan membuatku terintimidasi. Kami hanya berdua di tempat tersembunyi—roperti pribadinya. Apa pun bisa terjadi, dia lebih kuat. Apalagi aku menjadi pihak yang salah. "Lepaskan aku!" perintahku dengan suara bergetar. "Kalau tidak?" Dia malah menatapku lurus. "Aku akan teriak!" semburku. "Coba saja. Aku ingin tahu, seberapa kencang teriakanmu," katanya sambil mencondongkan wajahnya. Aku mencoba menambah jarak kami, dengan meletakkan tangan di dadanya. Namun, sia-sia. Dia malah meraih leher belakangku, dan membuatku menengadahkan muka. "Lepaass! Lep--" Teriakanku langsung teredam begitu dia membenamkan bibirnya dengan kasar. Tidak! Ini tidak mungkin terjadi! Ini hanya mimpi buruk! Dicium oleh pria asing di sebuah tempat antah berantah. Ini pasti hanya mimpi! Namun, sentuhannya yang menuntut bibirku untuk membuka, membuatku sadar jika ini nyata. Aku masih bisa melihat alis matanya yang tebal, dan mata birunya yang tetap terbuka. Lantas, dengan cepat kuangkat lutut hingga mengenai titik terlemahnya. "Awwww!" Dia mengerang kesakitan dan otomatis pegangannya padaku terlepas. Segera aku menjauh dari jangkauannya. Lalu secepat kilat menyambar sepatu dan berlari tanpa menoleh. Tujuanku hanya satu, kembali ke pintu awal kedatanganku tadi. Napasku masih terengah-engah menapaki tangga dan berhenti tepat di atas tebing. Dari kejauhan, aku bisa melihatnya. Pria itu tidak mengejar, hanya berdiri di sana memandangku. Namun begitu, bayangan kejadian di danau tadi menjejali kepala, menari-nari seolah tidak ingin aku melupakannya. Ingatan yang terlalu tajam, sangat menyebalkan dalam keadaan seperti ini. Walau sudah mengelap mulut dengan lengan baju, untuk menghapus bayangan tadi tapi sia-sia saja! Detil wajahnya, senyumnya, juga perlakuannya, masih tercetak jelas di ingatan. Tanpa membuang waktu, aku memakai ransel dan sepatu—walau kakiku terasa perih. Sebelum dia menangkap dan memperkarakan karena masuk properti orang tanpa izin, aku harus segera pergi dari sini. Tergesa-gesa aku masuk gua, dan menyusuri lorong. Sebelum sampai di ujung, aku menukar pakaian. Baju basah kuyup ini, akan menimbulkan banyak masalah. Batu merah dari danau, kukeluarkan dari saku celana dan menyimpannya dalam ransel. Tidak mungkin membawa pakaian basah sehingga kutinggalkan saja di sini. Kelihatannya, aku harus kembali ke rombongan Mr. Avindale. Rencana untuk melarikan diri kali ini, benar-benar gagal total! Usai memakai kembali wig rambut hitam, aku bergegas mencari tempat rombongan kereta kuda untuk bergabung dengan peserta lainnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN