Badai itu sudah lama berlalu, tetapi masih menyisakan perih di hati.
Kegelapan itu masih terasa sangat nyata...
Setelah lebih dari sepuluh menit diceramahi Dirga, Kira akhirnya bisa menghirup napas bebas sambil memeluk kotak pemberian Brian di dadanya. Dirga benar-benar kesal padanya, pada Jovan juga yang katanya tidak becus menjaga Kira. Astaga, Kira padahal bukan anak kecil. Ayahnya memang over protective.
Saat ini Kira tengah berada di perjalanan pulang bersama Jovan. Tentu dibonceng pemuda itu yang sejak tadi hanya manyun. Ceritanya ikutan marah.
"Jovan, maafin aku, ya. Beneran lupa tadi, tuh. Udahan jangan marah lagi, dong!" Kira menekan-nekan telunjuknya di pundak Jovan. Benar-benar seperti anak kecil.
"Lain kali, tuh, kalau mau pergi, ya, bilang dulu. Kamu tahu aku, Mama, sama ayah kamu tuh selalu khawatir sama kamu."
Kira mendesah pelan. "Karena kejadian itu?" Kira tanya, sambil angannya melayang ke kejadian setahun lalu ketika dia baru saja memulai segalanya kembali. Ketika itu dia pergi jalan-jalan ke taman sendiri. Tiba-tiba kakinya lemas dan dia ambruk, nyaris di tengah jalan. Beruntung Jovan menyusulnya dan menemukan Kira dalam kondisi itu. Tanpa Jovan, entah bagaimana Kira akan berakhir saat itu.
"Aku udah sehat banget sekarang, Van. Aku bahkan sesekali pergi ke sekolah jalan kaki."
"Ya tetep aja kita khawatir. Jangan sembarangan lagi lain kali. Izin."
"Iya, bawel banget Jovan. Kayak emak-emak."
Jovan hanya mencibir dan percakapan beralih ke topik lain. Tentu saja Kira yang mendominasi percakapan, Jovan seperti biasa hanya mengiyakan atau ber-oh-ria. Pendengar yang baik memang.
Kira menyimpan kotak yang sejak tadi dia dekap di atas rak yang setinggi perutnya--yang terletak persis di sisi kiri jendela--dengan hati-hati, seolah tengah menyimpan harta karun berharga. Dibukanya kotak itu lantas mengeluarkan bebek-bebek kecil bersama induknya dan dia tata dengan rapi di sana. Senyuman lebar tak pernah lepas dari wajah manisnya.
"Ini dari Brian. Pemberian pertama," katanya, mengelus boneka-boneka plastik itu seperti mengelus anaknya sendiri.
Dalam hati Kira berjanji, akan menjaga keenam bebek itu dengan baik. Merawatnya dengan hati. Seperti ia akan merawat sesuatu yang ia yakini mulai tumbuh dalam hatinya, perasaan itu. Kira meyakini dengan pasti bahwa rasa itu benar-benar nyata. Kira akan menjaganya.
Malam sudah sangat larut dan hujan lebat ketika terdengar seseorang membuka pintu. Kira segera keluar dari kamar, berlari kecil untuk melihat ayahnya pulang.
"Ayah hujan-hujanan?"
Kira menghampiri Dirga setelah meraih handuk yang digantung di dekat kamar mandi. Pria paruh baya itu nampak basah kuyup. Wajah tuanya pun pucat. Tentu saja, malam-malam begini hujan-hujanan. Bagaimana kalau nanti masuk angin?
"Kenapa nggak pakai jas hujan, sih? Atau nunggu dulu hujan reda? Ayah jadi basah kuyup begini," omel Kira seraya menarik ayahnya duduk di kursi yang untungnya dilapisi kain kedap air.
Kira duduk di samping lelaki berusia lebih dari lima puluh tahun itu sambil mengeringkan rambutnya yang sudah beruban dengan handuk. Sesekali menggerutu tak jelas, padahal di dalam hati dia hanya cemas.
"Kalau nunggu hujan reda, ya, Ayah bisa pulang jelang pagi," balas Dirga dengan suara serak yang terdengar lelah. "Jas hujan Ayah nggak kebawa. Lupa."
"Kebiasaan Ayah, tuh." Kira berdiri, mengambil handuk baru dan meletakannya di meja di depan ayahnya. "Kalau gitu Ayah bilas dulu badannya biar nggak masuk angin. Kira bikinin teh anget."
Kira hendak berjalan ke dapur, tetapi suara ayahnya membuat dia berhenti sejenak. "Jangan hilang lagi kayak tadi. Kamu tahu, Ayah cuma punya kamu di dunia ini. Ayah nggak tahu apa yang akan Ayah lakukan tanpa kamu."
Menatap ayahnya dengan sendu, Kira tersenyum kecil. Mengangguk. Lantas pergi ke dapur buru-buru. Bukan karena dia tidak suka dengan topik pembicaraan itu. Hanya saja, air matanya sudah hampir menggenang dan dia tidak ingin ayahnya melihat tangisan itu. Dia sudah meyakinkan ayahnya berkali-kali bahwa dia adalah gadis yang kuat. Tapi tetap saja, Kira sentimental. Apalagi jika sudah menyangkut ayahnya itu.
Kira termenung di dapur. Meski air matanya mengalir deras, Kira tetap berusaha menahan isakkan ketika angannya berkelana pada masa-masa suram yang mereka lewati. Berat, sesak, melelahkan, tapi mereka berdua bertahan karena saling menguatkan.
Dia menunduk, menatap kakinya yang kini bisa berdiri tegak tanpa penyangga, tanpa bantuan orang lain. Badai itu sudah lama berlalu, tetapi masih menyisakan perih di hati. Kegelapan itu masih terasa sangat nyata dan terkadang Kira takut. Namun dia bertahan. Itu semua terjadi berkat ia memiliki ayahnya, malaikat tak bersayap yang selalu menjaganya. Seperti Dirga, Kira juga tidak tahu apa yang akan terjadi padanya apabila lelaki itu tidak ada lagi di dunianya.
"Selamat pagi, Princess! Ini aku, Poni. Mulai hari ini aku akan jadi temannya Princess Kalila. Semoga bisa berteman dengan baik, ya!"
Gadis kecil itu mengusap dahinya, tetapi tidak nampak senyum sedikit pun di sana. Brian menghela napas, menjatuhkan boneka kuda poni yang dia bawa di pangkuannya.
"Masih marah sama Papa?" tanyanya lembut.
"Lila kayak dengar orang ngomong," celetuk Kalila dengan wajah juteknya. Kemudian dia turun begitu saja, mengabaikan Brian yang duduk di sudut ranjang, seolah pria besar itu tidak ada.
Merotasikan bola matanya, Brian ikut turun dari ranjang, membuntuti langkah Kalila ke kamar mandi. Baiklah, anaknya pintar sekali. Bangun tidur langsung cuci muka dan gosok gigi.
"Bulat bulat bulat, bulat bulat bulat...."
Brian bernyanyi menirukan lagu Upin Ipin di episode yang ada dokter giginya. Tak lupa gerakan menggosok gigi juga dia praktikan. Membuat Kalila yang melihat kelakuan ayahnya di depan kaca itu berdecak.
"Papa! Tampang Papa kayak Jarjit ih. Geli!"
Brian tergelak karena ucapan jutek Kalila. Mulutnya pedas sekali memang kalau marah. Lea sewaktu hidup juga seperti itu. Sangat baik dan lembut, tetapi jika marah maaf saja, bon cabe level sepuluh saja lewat!
Mereka kini sudah duduk di meja makan. Ceritanya Kalila masih marah. Terkadang dia berpura-pura tidak melihat Brian. Terkadang dia bicara tapi sangat jutek. Padahal Brian sudah bela-belain membeli boneka kuda poni itu dan memilih yang bahannya paling lembut dan bagus. Tapi tidak mempan. Kalila masih marah.
"Jangan cuekin Papa, dong. Lila mau apa? Bilang, deh, sama Papa. Papa pasti beliin. Tapi jangan marah lagi, ya?"
Kalila menyimpan sendok dan garpunya di piring. Kali ini dia memusatkan atensinya pada Brian. Akhirnya, dia dianggap ada.
"Kalila mau Mama. Mama Kira. Gak akan dikasih, kan?"
Wajah Brian berubah lesu. Ternyata Kalila masih kukuh dengan keinginan memiliki ibu. Brian mau bagaimana? Dia takut menanggung banyak konsekuensi jika membiarkan Kalila dan Kira terlalu dekat apalagi sampai menganggap mama seperti itu. Bagaimana pun, suatu saat Kira pasti akan memiliki pasangan. Dan Kalila akan keluar dari sekolah itu untuk melanjutkan pendidikannya. Bagaimana jika Kalila tidak mengerti dan malah bergantung pada perempuan itu? Bukankah akan sangat merepotkan?
"Papa dengar Lila, kan? Lila mau Mama!"
"Kalila," panggil Brian lembut. "Ibu Kira nggak bisa jadi mamanya Kalila."
"Kenapa?"
Brian diam sejenak. Dia sendiri bingung bagaimana cara menjelaskan permasalahannya pada Kalila. "Karena... gak apa-apa. Dia cuma gak bisa."
"Kemarin bisa, kok. Tapi gara-gara Papa bilang sesuatu ke Mama Kira, dia jadi gak bisa."
Pintar. Kalila sangat pintar dan membanggakan. Tapi pintar di keadaan seperti ini? Tentu membuat Brian pusing sendiri menghadapinya.
"Apa yang salah, sih, dari Mama Kira? Dia baik, cantik, bisa baca dongeng. Dia juga suka dengerin Kalila curhat. Terus pelukannya hangat. Kalila sayang sama Bu Kira."
Tatapan Kalila yang sendu membuat Brian tak bisa berkata-kata lagi. Sihir apa yang dimiliki Kira sampai Kalila begitu menyukainya? Termasuk dia juga, yang selalu tersihir dengan setiap tingkahnya. Brian tak mengerti.
Tapi ini salah. Tetap salah di mata Brian.
"Papa yang paling kenal kamu. Papa tahu apa yang terbaik buat kamu. Jadi dengerin Papa, jangan ngebantah. Bu Kira nggak bisa jadi mama kamu. Paham?"
"Tapi, Pa!"
"Kalila jangan berani bentak Papa!"
Tapi malah Brian sendiri ikut membentak gadis kecil itu. Tentu saja, hal itu menimbulkan masalah lain. Kalila semakin marah dan saat ini justru menangis.
Bik Hana yang menyaksikan perdebatan yang berujung pada sebuah konflik itu juga tercengang. Tak menyangka Brian akan membentak Kalila. Seumur-umur, tidak pernah Brian memarahi anak itu. Dan sekarang... Kalila benar-benar semakin marah dan sedih.
Anak itu beranjak dari kursinya. Berlari ke lantai atas dengan air mata yang menggenang.
"Den, biar Bibik saja yang susul," ujar Bik Hana ketika Brian hendak mengejar Kalila. Urusannya tidak akan selesai sampai di sini.
Brian hanya menghela napas panjang. Mengurut pangkal hidungnya, pusing. Belum pernah sekali pun ia bertengkar dengan Kalila. Dan sekarang, untuk pertama kalinya... artinya, Kalila sudah besar.
Brian keluar dari ruang sidang setelah melakukan sidang pertama untuk kasus Rendi. Dihadang oleh beberapa wartawan yang datang menyerbu menanyakan bagaimana hasil sidang. Brian tetap berjalan sambil sesekali menjawab sekenanya. Kemudian berhenti sesaat ketika berhadapan dengan sosok Rendi yang keluar dikawal petugas tentunya.
Tersenyum tipis, Brian tahu Rendi sangat membencinya. Terlihat dari tatapan kelam pemuda tersebut yang terlihat menusuk. Namun Brian sama sekali tidak peduli. Toh, mereka tidak akan banyak bertemu setelah Brian berhasil menjebloskan pembunuh sepertinya ke dalam penjara.
Brian masuk ke dalam ruangannya. Dan tentu saja, berkas-berkas kasus lain sudah menunggu untuk diselesaikan.
"Barang bukti untuk persidangan kedua sudah disiapkan. Kita tinggal mencari bukti lain untuk memperkuatnya."
Brian menatap Fadi sejenak. Lantas mengangguk singkat. Paham.
Dia duduk di kursinya, menyalakan komputer dan membuka berkas kasus pembunuhan Asyila di mana Rendi menjadi terdakwa atas kasus itu. Brian membacanya dengan saksama sambil memperhatikan detail sekecil apa pun. Sesekali dia berdecak tanpa sadar. Lelaki itu bukan hanya membunuh korban, tetapi juga memperkosanya dengan brutal. Lebam di sudut bibir dan di dekat mata korban terlihat amat menyakitkan. Rasanya Brian bisa membayangkan semenyakitkan apa luka itu.
Berkali-kali Brian memperhatikan beberapa foto korban, bolak-balik sampai akhirnya matanya yang jeli tiba-tiba menemukan sesuatu yang janggal. Dia memperbesar foto korban dan menemukan bekas kuku yang menancap dalam di leher perempuan itu sampai menimbulkan luka. Yang membuatnya melebarkan pupil mata bukan cuma itu, tetapi ada luka lain di sana. Luka yang baru Brian sadari atau mungkin... ponsel Brian berbunyi, membuat konsentrasi Brian buyar. Dari dokter forensik.
"Ya?"
"Kita harus bicara. Ada alasan lain di balik kematian Top model Asyila."
Tanpa pikir panjang, Brian segera melesat pergi. Bahkan dia tak memberikan kesempatan bagi Venita atau pun Fadi bertanya ke mana gerangan dia menuju.