03. Bertemu Kembali

1487 Kata
Melati mengangguk. Dia menatap kedua mata sahabatnya dengan tatapan yang nanar. “A—aku yang minta pisah darinya.” Rania memejamkan mata lalu menghembuskan napasnya dengan sekali hembusan. Dia mengelus rambut sahabatnya itu. “Apa pun keputusan kamu, aku akan mendukung asal kamu tetap bahagia meski sendiri, Mel.” “Terima kasih ya, Ran. Kamu sudah mengingatkanku terus. Selama ini, aku telah dibutakan cintanya oleh Mas Arya. Hingga hari ini, aku baru sadar jika dia memang tidak bisa memegang janjinya untuk setia padaku.” Rania menepuk bahu Melati. Dia sedikit mencondongkan tubuhnya. “Sama-sama, Mel. Lambat laun kebusukan pasti akan terbongkar. Sekarang, kamu bisa tinggal di sini sama aku selamanya sampai kamu menemukan teman hidup kembali.” Kedua mata wanita berambut panjang itu pun terbelalak dengan tawaran sahabatnya itu. “Ran, kamu serius?” “Lho, memang aku kelihatan bercanda? Sudahlah, selama ini aku hidup sendiri. Mungkin, ini jalannya aku juga biar bisa hidup sama kamu.” Mata Melati berkaca-kaca kembali dengan tawaran Rania. Seberuntung ini, Melati memiliki sahabat seperti Rania yang selalu membantunya. Dia pun memeluk Rania kembali. “Ran, aku nggak tahu harus balas kamu pakai cara apa.” Rania mengelus punggung Melati. “Kamu nggak perlu membalasnya, Mel. Cukup kita bisa hidup sama-sama bahagia sampai kita mendapatkan lelaki sejati.” Melati melepaskan pelukannya. “Kamu, sudah punya calon, Ran?” “Ye, emang bilang gitu harus punya calon dulu? Ya sudah, kamu nggak perlu sedih lagi. Sekarang, aku antar ke kamar kamu.” Waktu demi waktu Melati menghabiskan waktu di rumah Rania sementara sang pemilik rumah sibuk bekerja terkadang pulang tiga hari sekali. Jadi, Rania merasa beruntung ada Melati yang bisa menjaga dan ikut merawat rumah hasil kerja kerasnya meski hanya sederhana. Tiga bulan lebih, Melati sampai bolak-balik ke pengadilan untuk segera memproses perceraiannya. Dan, hari ini Melati memakai kemeja putih dengan rok hitam panjang untuk datang ke sidang terakhirnya. Dia sangat berharap, jika hakim memutuskan untuk mengetuk palu sebanyak tiga kali. “Melati, kamu harus bisa!” “Setelah ini Mas Arya sudah tidak menafkahi kamu kembali. Tak perlu berharap dengan lelaki yang tidak setia bahkan menghinamu.” Melati mengikat rambut panjangnya lalu memoles lip gloss berwarna kulit. Kedua tangannya bertumpu di atas meja rias kecil itu lalu menghembuskan napas. Saat matanya terbuka dia melihat kembali ke arah cermin lalu menutup wajahnya. “Bismillah ... aku harus kuat. Aku nggak boleh lemah di depan mereka. Ini keputusanku dan pengacara pun sudah menerima semua alasanku.” Melati mengambil tas miliknya lalu segera menuju ke pengadilan sendiri mengendarai motor matic milik Rania. Sampai di pengadilan ternyata Arya dan ibunya sudah menunggu Melati. Tak hanya mereka ternyata ada pelakornya yang ikut ke pengadilan. “Cie ... yang udah miskin mendadak. Dari mobil turun ke motor mana butut,” ejek Sonya. Melati berusaha sabar saat mendengar hinaan dari komplotan manusia tak bermoral itu. “Cie ... yang ngerampok suami orang. Nggak banget deh cantik-cantik dapetnya bekas,” elak Melati. Tak lama kemudian akhirnya pengacara Melati datang. “Gaya-gayanya kamu pakai pengacara Melati? Takut banget kamu sidang di sini?” tanya Dini. “Hai, saya bukannya takut. Tapi, saya sudah tidak sabar untuk dilepaskan oleh anak Ibu yang tidak pandai bersyukur ini,” Melati berusaha untuk membela diri. Arya pun ikut terpancing emosinya. “Melati, tutup mulut kamu!” “Sudah-sudah nomor kalian sudah dipanggil. Lebih baik, segeralah masuk ke dalam,” ucap pengacara Melati. Hari itu juga hakim akhirnya memutuskan untuk mengetuk palu tiga kali setelah tiga bulan lamanya Melati memproses sendirian. Hatinya benar-benar hancur berubah tiga ratus enam puluh derajat saat pesta pernikahan mewah dengan Kapten Arya, kini hanya tinggal kenangan. Dia berusaha untuk menahan air matanya yang kini statusnya resmi menjanda. Saat Arya mengulurkan tangan di depannya Melati pun menepisnya. “Kamu sudah bukan suamiku lagi. Permisi.” Melati pun berterima kasih kepada sang pengacara meski dia yang harus membayarnya. Setelah itu dia sudah resmi masuk masa iddahnya. Dua bulan berlalu, Melati berusaha untuk menghibur diri dan mulai mencoba untuk mencari pekerjaan kembali. “Kira-kira di Jakarta harus kerja apa ya dengan status yang sudah pernah menikah ini?” Melati mulai risau setelah beberapa kali melamar pekerjaan kembali dan satu pun dia belum mendapatkan panggilan kerja. Melati melihat papan lowongan pekerjaan sebagai guru TK. “Apa, aku jadi guru TK aja ya?” “Aku kan sangat menyukai dunia anak-anak.” Satu minggu berlalu Melati melamar di TK yang sangat elite di Jakarta. Notifikasi pesan itu masuk ponsel Melati, jika dia diterima bekerja sebagai guru TK mulai besok. “Alhamdulillah. Akhirnya, aku diterima kerja juga.” Pagi harinya, Melati sudah berdandan rapi untuk mulai mengajar di TK tersebut. “Mel, pagi-pagi udah rapi amat mau ke mana?” “Ran, aku sekarang sudah mendapatkan pekerjaan jadi guru TK. Jadi, hari aku sudah mulai bekerja.” Rania menangkup kedua bahu Melati. “Mel, apa pun itu profesi kamu. Aku akan mendukungmu. Semangat ya kerjanya. Oh iya, mau pakai motorku lagi? Aku hari ini nggak ada penerbangan.” “Nggak usah, Mel. Aku naik ojek aja.” “Ya sudah hati-hati ya.” Melati pun dilatih untuk bermain dengan anak-anak terlebih dahulu sebelum mengajar. Siang hari saat jam istirahat baru saja Melati hendak makan, sorot matanya melihat kedua anak kecil yang sedang bertengkar merebutkan mainan. Dia yang hendak menyendok nasi pun urung lalu pergi untuk memisahkan kedua bocah itu. “Hai, Sayang. Kalian sedang apa?” “Ini Bu guru, Abil mau mengambil mainanku,” ucap anak kecil itu. Sedangkan anak kecil itu terbelalak kegirangan saat melihat Melati. “Tante?” Melati mengerutkan dahi saat anak kecil itu memanggilnya dengan sebutan itu. “Tante masih ingat Abil nggak?” Melati menggeleng dengan tatapan bingung. Anak kecil itu memegang tangan Melati. “Tante, aku yang gak sengaja ditabrak Tante saat di hotel dulu. Tante habis itu nangis kan sampai dompetnya jatuh terus diambil papah?” Melati berusaha memutar otaknya yang kejadiannya sekitar lima bulan yang lalu. Oh, apa itu aku habis melabrak Mas Arya dengan pelakor itu? Melati tersenyum semringah, tanpa aba-aba anak kecil itu memeluk dirinya. Pun dengan Melati mengelus punggungnya. “Tapi, kalau di sekolah jangan panggil Tante ya.” Anak kecil itu pun melepaskan pelukannya. “Namaku Abil Tante, eh Bu guru.” Melati hanya bisa tersenyum mengangguk. “Ini sebenarnya yang lebih dulu ambil mainannya siapa hayo?” “Abil Bu guru. Tapi, aku juga mau.” “Ya udah deh, mainannya buat kamu aja. Abil mau main sama Bu guru.” “Beneran, Bil?” “Iya.” Melati menyuruh mereka untuk meminta maaf. Sore harinya, Melati pun harus jalan kaki untuk menuju ke pangkalan angkot. Dia sebisa mungkin untuk hidup hemat termasuk tidak terlalu sering naik ojek. Namun, saat Melati sedang berjalan kaki tiba-tiba ada sebuah mobil sampai menyipratkan genangan air ke tas Melati hingga sedikit bajunya ikut basah. Mereka pun turun dari mobil untuk melihat keadaan Melati yang membuatnya merasa puas. “Ya ampun, kasihan banget sih. Udah miskin sekarang?” hina Sonya. “Ya gimana ya dari istri pilot, tapi maksa banget diceraikan. Padahal kalau dulu masih sama kita, dia tetap bisa hidup enak,” ejek Arya hingga membuat Melati melonjak amarahnya. “Hai, kalian bisa diam gak! Yang penting apa pun itu pekerjaanku nggak dari hasil ngerampok suami orang!” “Apa?” Saat Sonya hendak menampar, Arya menahannya. “Sayang, ini tempat umum. Sudahlah, kita pergi saja.” “Hai Melati, lihat perutku. Baru dua bulan menikah sama Mas Arya aja sudah hamil. Kamu pasti iri kan?” “Halah, iri dari mananya? Apa yang diirikan dari pelakor? “Hai, tutup mulut kamu ya!” “Sayang, udah yuk pulang aja.” Mereka pun berlalu meninggalkan Melati yang masih berjalan untuk menuju pangkalan angkot. “Jadi, Mas Arya langsung menikah dengan Sonya? Tega banget, memang mereka sudah merencanakan ini sedari lama sebelum aku resmi berpisah dengannya.” Air mata Melati pun tak kuasa terbendung dari pelupuknya. Berusaha kuat dia untuk tidak menangisi kisah cintanya dengan Arya. Bahkan, semua fasilitas juga pernikahan dengannya benar-benar yang diimpikan Melati. Namun, tidak semua pernikahan mewah akan berujung mewah pula di kehidupan rumah tangganya. Sebuah mobil yang melaju tak sengaja menyenggol Melati hingga dia terjatuh. “Aww ….” Mobil itu pun berhenti lalu keluarlah seorang lelaki yang mengendarainya. “Ma—maaf, saya tidak sengaja.” “Ya, tidak apa-apa.” Lelaki itu yang hendak membantu Melati pun ditahan oleh wanita itu. “Maaf Mas, jangan sentuh saya.” Melati risi jika ada seorang lelaki yang belum dikenal sampai menyentuh ujung bajunya sekali pun. “Tapi, kamu terluka.” “Tidak. Saya tidak apa-apa. Saya yang salah tadi terlalu ke jalan.” Anak kecil yang ada di mobil itu pun membuka kaca mobil itu. “Bu guru Melati?” Melati pun mendongak ke arahnya bersamaan dengan lelaki itu dapat melihat seluruh wajahnya Melati. “Kamu?” ucap Wira. Melati masih kliyengan dan tidak mengenali persis lelaki yang ada di depannya itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN