CK BAB 10

1808 Kata
CINTA KEDUA 10 Oleh: Kenong Auliya Zhafira Kesakitan masa lalu yang masih menyisakan bekas terkadang mampu menyelipkan satu ketakutan untuk orang terkasih. Tentang rasa takut akan membawa bahkan menariknya ikut tergores sakit yang pernah menghilangkan setengah harapan hidup. Ya, Nesha dulu pernah berjuang bangkit dari penyakit menular selama satu tahun lebih. Ada ketidakrelaan jika pria di hadapannya kini ikut tertular virus tuberkulosis yang mungkin saja masih bersarang dalam tubuh. Karena hal itu juga ia memilih tidak pernah bersentuhan bibir sejak dinyatakan sembuh bersama pasangan terdahulu. Akan tetapi, Arfan justru meminta janji yang terbaca layaknya lelucon menjadi kenyataan. Di mana memberi ciuman pertama setelah sekian lama. “Sayang ... kalau diam berarti boleh, dong? Katanya kamu pengin banget ciuman? Kamu tidak lupa sama janjimu, kan? Ucapanku masih sama. Aku tidak peduli meski nantinya tertular. Jangankan ciuman, misal kamu kena HIV pun, aku tetap mau berhubungan badan sama kamu. Itu karena aku sayang sama kamu, Sha ....” Arfan mencoba meyakinkan wanita yang terlalu sering memikirkan perasaan orang lain daripada perasaannya sendiri. Ibu jarinya pun tidak ragu mengusap lembut bibir yang pernah ia dambakan dulu saat khayalan jarak dan keadaan memisahkan. Wanita yang masih ingat betul janji itu hanya bisa menatap seorang Arfan dengan mata berkaca-kaca. Ada satu rasa tidak bisa dijelaskan melalui kata. Rasa tidak percaya jika dirinya kini bisa saling tatap dalam satu atap membawa jutaan harap. Akan tetapi, ketakutan itu masih saja menghantui. “A-aku inget janji itu, tapi rasa takut itu masih ada. Aku beneran tidak mau menyeretmu, Mas. Memang aku pengin banget bisa ciuman seperti orang-orang dan drama favorit, tapi kalau keadaan masih ragu, harus gimana? Tadi pagi itu berani cium karena keadaan aja,” jawab Nesha sembari merasakan sentuhan lembut dari ibu jari prianya. Ia tidak memungkiri mulai ada debar yang perlahan memanaskan d**a. Bahkan, kedua matanya pun ikut terpejam merasakan usaha Arfan untuk mendapatkan janjinya. Arfan sejenak menarik sudut bibirnya mengetahui wanita di depannya mulai terpengaruh. Ada benteng hati yang sebentar lagi kemungkinan besar akan runtuh, lalu menyerah untuk satu kata, yakni pasrah. Perlahan, pria yang tidak menduga akan takdirnya melepaskan jarum pentol di bawah dagu. Sedetik kemudian rambut kehitaman itu terlihat mata. Ia sengaja merapikan anak-anak rambut yang berantakan. Meski terlihat acak-acakan, tetapi tidak menutupi kecantikan alami seorang Nesha. “Kamu cantik, Sha ...,” bisik sang pria tepat di telinga wanita yang seperti menahan napas. Bahkan, Arfan sengaja mengecupnya lembut. “Mas, hentikan ... jangan malah menggoda,” pinta Nesha sembari menahan kuat debar d**a yang mulai tidak terkendali. Arfan menarik diri, menatap wajah wanita yang perlahan memejam dan berkata, “Aku tidak menggoda, Sayang ... aku benar-benar menginginkan kamu. Aku kangen sama kamu,” kata sang pria yang terdengar seperti alunan lagu. Tanpa persetujuan, pria yang dulu kerap meminta untuk ditinggalkan memberi kecupan hangat di pucuk kepala. Perlahan, beralih mencium mata yang sering menurunkan hujan karena sikapnya secara bergantian. Lama. Seolah ada puluhan sesal yang ingin menghapus alasan hujan itu turun. Setelahnya, kedua tangan yang dulu tidak bisa saling tergenggam mengusap lembut pipi, mengecupnya lembut dan lama. Sementara Nesha masih mencoba memahami sentuhan yang terasa penuh kasih dan tanpa terburu nafsu. Kedua mata terbuka bertepatan sang pria yang memberi jeda untuk kecupan sebenarnya. Ia bisa merasakan ada ketulusan di balik hasrat yang mungkin hampir meledak seperti kembang api. Hal itu mampu perlahan meruntuhkan benteng dalam diri. “Aku sayang sama kamu ...,” lirih Nesha sembari menatap pria yang menyunggingkan senyum di wajah. Kedua mata yang bertemu seakan bicara dan menemukan jawab untuk pertanyaan tanpa ucap. Arfan menarik pinggang wanitanya hingga nyaris bersentuhan d**a. Dengan satu tangan memeluk pinggang, tangan satunya mengusap pipi kanan berkali-kali. Pandangan mata yang tidak beralih mampu menciptakan keadaan lebih romantis. “Apalagi aku, Sayang ... makasih kamu masih tetap di sini meski dulu aku sering memintamu pergi. Jujur, aku tidak mau menyakiti kamu dan membuat menangis. Tapi, semua yang kamu katakan benar. Kalau cinta itu tidak akan pernah pergi meski tahu baik buruknya pasangan. Dan kamu membuktikan itu. Terima kasih,” ujar sang pria, lalu menghapus jarak yang dulu saling memberi luka. Keduanya kembali menyelam lautan cinta bersama gejolak dan gairah. Ada kerinduan yang mencari titik temu untuk menyejukkan hasrat diri. Tentang ketakutan sang wanita, Arfan benar-benar memasrahkan segalanya kepada Sang Pemberi Hidup. Ia tidak ragu sama sekali bertukar ludah. Detik terus berlalu seakan memberi restu kedua bibir itu untuk terus saling mencari dan mengobati segala perih yang dulu tergores. Bahkan, kecupan itu terasa deburan nafsu yang siap menggulung seribu kegelisahan. Tanpa disadari, Nesha meneteskan bulir bening membayangkan seorang Arfan menjadi pria pertama yang memberi ciuman selepas sakit terdahulu. Bahkan, sentuhan tangan yang sengaja mulai menyusup layaknya pencuri berhasil membuatnya merintih. “Hhhhhh ... Mmm-mas ....” Wanita yang mulai merasa tersihir nafsu mengalungkan kedua tangan pada leher sang pria. Nesha sengaja memberi celah untuk tangan Arfan yang tengah bermain di balik pakaian. Sentuhan demi sentuhan itu mampu menghidupkan kembali getar hasrat yang bertahun-tahun padam. Ketika keadaan semakin tidak terkendali memudahkan Arfan berani melakukan hal yang dulu pernah jadi kesepakatan, yakni berhubungan tanpa ada rasa kecewa. Sebagai pria yang ingin memberikan kebahagiaan lahir dan batin, Arfan berusaha sebaik mungkin. Karena melihat wanitanya tersenyum setelah lelah berperang adalah suatu kepuasan tersendiri. “Sha ... izinkan aku menepati janji menjadi pria yang menyentuhmu dengan segala sikapku selama ini. Aku benar-benar tidak nyangka jika aku kini bisa berada di atasmu. Menatap wajahmu di depan mata, menciumi segala yang ada di wajahmu, dan membuktikan bahwa aku adalah pria sejati. Kamu jadi mau punya anak dari aku, kan?” ujarnya tanpa berpaling sedetik pun. Wanita yang telah terbungkus gejolak hanya tersenyum, sebagai tanda kalau saling mendamba. Nesha tidak mau lagi menahan gejolak yang memang ingin membumbung tinggi. Seperti harapannya yang dulu tidak berhenti untuk bertahan pada hubungan tanpa nama dengan seorang Arfan. Pelan, Arfan memulai permainannya. Dua hati yang pernah terjebak cinta tidak seharusnya saling meleburkan lara bersama sentuhan mesra dan hentakan panas. Menikmati setiap detik cinta yang melambungkan rasa dan impian. Tepat pada menit ketiga puluh, keduanya berhasil menemukan apa inti dari sebuah permainan hasrat atas dasar cinta. Nesha menatap pria yang memberi bahagia dengan segala kekurangannya penuh cinta dan rasa terima kasih. Kedua mata pun seolah tidak bisa membendung gerimis yang ingin jatuh membasahi pipi. Sementara sang pria yang kebetulan melihat itu langsung menghapus dengan ibu jarinya. “Jangan nangis terus, dong, Sayang ... apa kamu kecewa dengan apa yang kita lakukan barusan? Atau kamu malah menyesal?” tanya Arfan sembari membawa tubuh yang terutup setengah selimut ke dalam dekapan. “Aku tidak pernah menyesal menjadi bagian dari hatimu. Dari dulu aku tidak pernah menyesal. Dan aku terlalu bahagia bisa disatukan baik raga dan juga hati. Tidak ada kecewa sama sekali. Karena bisa melihat, memeluk, dan mencium kamu adalah satu bahagia yang tidak pernah terduga,” jawab Nesha dengan gerimis yang kembali turun, lalu mengeratkan pelukan. Arfan sendiri tidak lelah menghadiahi kecupan bertubi-tubi di pucuk kepala sebagai tanda terima kasih karena sudah bertahan hingga di titik sekarang. Kedua tangan perlahan mempererat pelukan untuk ketenangan hati setelah lelah bermain. “Sayang ... kita mandi, ya? Tidak enak sama Ibu kelamaan nyandera kamu di kamar. Kayaknya juga sudah siang. Nanti kita salat Zuhur jamaah dan doain orang tuamu sama-sama. Aku tidak mau kamu nangis terus jika ingat ibumu. Gimana?” usul sang pria sembari melihat jam dinding yang telah menunjukkan jam sebelas siang. “Oh, ya, satu lagi ... kamu tidak usah merasa khawatir tentangku karena telah bertukar ludah seperti tadi. Insyaallah, aku sehat dan menemani kamu sampai nanti,” imbuhnya lagi. Wanita yang pernah meminta sang pria tidak pernah pergi hanya mengangguk. Kemudian bangkit dari tempat tidur dan membersihkan diri lebih dulu. Setelah Nesha selesai, giliran Arfan yang menggunakan kamar mandi. Kebetulan kamar dibuat ada kamar mandi untuk memudahkan jika terjaga tengah malam. Keduanya keluar bersama dalam keadaan rambut basah. Bahkan, kedua tangan tidak saling melepas ketika mencari keberadaan sang ibu. Senyum pun tidak lepas dari wajah. Seakan-akan menjadi orang paling bahagia di dunia. Sang mertua yang tengah duduk di meja makan hanya bisa menggeleng melihat kelakuan anak dan menantunya. Ia baru tahu kalau orang lagi melepas rindu bisa menahan lapar. Meskipun begitu ada bahagia bisa melihat anaknya dan Nesha bahagia. “Ehm!” Bu Maryam sengaja berdehem ketika mereka berdiri di hadapan. Nesha seketika melepaskan tangan sang pria. “Maaf, Bu ... tadi pergi jalan-jalan tidak bilang dan malah buat Ibu khawatir,” jelasnya sambil menunduk. Ada sesal tidak membantu sampai selesai kegiatan pagi ini. “Tidak usah minta maaf. Ibu mengerti kalau kamu ingin berdua sama Arfan. Ibu juga tidak ingin menjadi penghalang kedua untuk kalian. Justru Ibu yang harusnya minta maaf karena telah mempertanyakan rumah tangga kalian,” ujar sang mertua yang kini akan percaya pada kebahagiaan anak dan menantunya. Arfan merasa lega bisa menyimpan rahasia itu tanpa lagi ada dicecar pertanyaan sang ibu. “Terima kasih, Bu.” “Ya, sudah. Sebaiknya kalian makan dulu. Pasti lapar karena habis keramas,” goda sang ibu lalu meninggalkan kedua orang yang mungkin tengah menutupi malu. Akan tetapi, kedua pipi menerbitkan senyum hingga ke kamar. Sementara Arfan dan Nesha hanya saling pandang dan menyembunyikan tawa, lalu menikmati makan pagi menjelang siang dengan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Akan tetapi, ketika tengah menikmati suapan terakhir terdengar ada salam dan ketukan pintu. Nesha memilih bangkit, “Aku aja yang bukain pintu. Kamu terusin aja makannya,” ujarnya lantas melangkah pergi. Wanita yang memberi ruang untuk prianya melanjutkan kegiatannya bergegas membuka pintu. Terlihat jelas seorang pria yang kemungkinan tetangga sekaligus teman dari sang pria. “Mas-nya teman Mas Arfan, kan? Sempet pernah diceritakan dulu. Ada keperluan apa, ya?” tanya Nesha yang mengingat wajah pria di depannya meski jarang bertemu. Pria yang bernama Ravi itu mencoba tersenyum. Meski tidak mengikuti kabar Arfan—temannya beberapa tahun terakhir, tetapi ia tahu kalau ada pernikahan kedua. “Nesha? Arfan mana?” tanyanya. “Ada. Lagi makan. Gimana?” jawab Nesha apa adanya. “Oh, ya, udah. Kalau begitu, sampaikan aja nanti malam ada kumpul bareng di rumahku. Ya, acara pesta santai biasa sih ... tapi, kalau bisa datang bersama pasangan. Biar pada saling kenal satu sama lain. Dan nanti ada kejutan untuk pasangan paling romantis. Kamu jangan lupa dandan biar cantik,” jelas Ravi sembari menyodorkan undangan. “Kalau begitu aku permisi pulang dulu. Salam buat Arfan,” lanjutnya lagi sekalian berpamitan pulang. “Eh, iya. Nanti saya sampaikan. Terima kasih. Hati-hati.” Nesha melihat punggung itu menjauh, lalu beralih menatap undangan di tangan. Dari judul ‘Party Wedding Anniversary' terkesan resmi tapi santai. Akan tetapi, ucapan pria bernama Ravi sukses membuat Nesha bergeming. “Tadi dia bilang kalau hadir kudu dandan. Biar tahu siapa yang paling cantik dan dapat kejutan. Sedangkan aku? Dandan aja tidak bisa. Kalau nanti aku bikin malu Mas Arfan, gimana? Biarin dia berangkat sendiri pun buat tidak enak hati. Argggghhh! Coba tidak kudu dandan.” -----***----- Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN