CK BAB 5

1288 Kata
CINTA KEDUA 5 Oleh: Kenong Auliya Zhafira Tawa memang terkadang bisa sebuah kebohongan atau pun sungguhan. Semua itu tergantung bagaimana cara hati ingin menyikap akan segala macam badai kehidupan. Bahkan, tawa bisa dijadikan senjata untuk menutupi kesakitan agar tidak membawa orang lain ikut merasakannya. Di titik inilah arti kepedulian yang sebenarnya. Di mana bibir memberi senyuman, tetapi hati menahan kesakitan. Akan tetapi, berbeda untuk seorang Nesha. Ia tertawa karena memang bahagia menjadi bagian dari Arfan—pria yang berhasil menjerat tanpa peduli akan kekurangan dan kelebihannya. Tentang alasan yang dipertanyakan Mbak Wening adalah satu kesepakatan untuk menyimpan dan menghadapi berdua. Nesha menarik napasnya dalam, mengembuskannya perlahan lalu memberi senyum terbaik sebelum bibir terbuka memberi jawaban. “Bu ... Ibu mau saya jujur apakah saya bahagia bisa menjadi bagian dari Arfan dan keluarga ini? Jujur, saya sangat bahagia. Apalagi bisa memiliki Arfan dalam tatap, bukan lagi sekedar harap yang hanya melangit dalam doa. Saya tahu dulu memang hadir di antara mereka. Tapi, saya tidak pernah berpikir akan mempunyai perasaan yang sedalam ini untuk Arfan. Bahkan, hingga waktu membuat kita saling melepas luka masing-masing untuk bergandengan tangan seperti sekarang,” ujar wanita yang tiba-tiba mengingat masa pahit juga sakit menjadi sosok tidak terlihat bagi sang pria. Nesha seketika menghapus bulir bening yang menetes membasahi pipi tanpa permisi. “Jadi, Bu ... mau sesakit apa pun akan perkataan Mba Wening tadi, saya tetap akan menjawab kalau saya sangat bahagia bisa bersama Arfan. Bagi saya dia adalah penyempurna hidup. Selama tangan masih bergandengan, ketidaksempurnaan macam apa pun, kita berdua akan saling menyempurnakan. Ibu percaya sama saya, kan?” lanjutnya lagi dengan memberi satu pertanyaan akan kesungguhan dirinya yang tidak pernah main-main. Sang mertua mencoba mencari seberapa besar kesungguhan penuturan menantunya dari sorot kedua kehitaman itu. Ternyata masih sama seperti saat pertama kali bertemu. Di mana melihat banyak binar cinta di mata beningnya. Bahkan, detik ini sorot itu masih ada dan terlihat semakin banyak. Ia mulai membenarkan ucapan sang menantu. Dalam suatu hubungan memang seharusnya begitu, saling menyempurnakan di antara kekurangan yang ada. Bukan dijadikan alasan perdebatan yang berujung saling menyalahkan lalu meninggalkan. “Ibu percaya sama kamu, Sha ... tentang semua omongan yang kamu dengar di warung, anggap saja seperti angin lalu. Kamu jangan pernah sakit hati. Karena ini, Ibu tidak mau kamu keluar rumah. Apalagi kalau kamu harus bertemu Wening. Sekali lagi jangan pernah menganggap apa yang ditanyakan Wening. Ibu tahu betul bagaimana Arfan menceritakan tentang keadaannya dulu. Terlepas bagaimana caranya kamu hadir, Ibu tidak menjadi soal. Karena dengan adanya kamu, Arfan kembali menemukan hidupnya. Ibu berterima kasih untuk itu,” jawab sang mertua yang memang merasa bahagia dan bangga mempunyai seorang Nesha sebagai bagian keluarga. Entah dulu ia berasal dari keluarga seperti apa dan bagaimana, kenyataannya sikap menantu keduanya mampu menyempurnakan anak lelakinya. “Terima kasih, Bu ...," ucap Nesha tulus sembari memegang tangan sang mertua. “Oh, ya, Mas Arfan tadi bilang mau pulang kapan tidak, Bu? Tadi saya lupa tanya karena sedikit jengkel tidak boleh jajan bakso," tanyanya lagi untuk memastikan kepulangan pria yang pernah ia harapkan setengah mati. Wanita yang sudah menganggap menantu selayaknya anak perempuan itu pun mengusap lembut punggung tangan penuh kasih. Bibir juga tidak lupa membalas senyum yang menurutnya cantik seperti bulan sabit. “Kenapa harus jengkel kalau untuk kebaikan kamu, Sha ...,” jawabnya tidak kalah tulus. “Tadi kalau tidak benar mau pulang dari Jum'at pagi. Ya sudah, kamu tunggu saja. Toh jarak dari rumah ke kota tidak terlalu jauh. Maafkan Ibu, ya ... kalau membuat kamu harus hidup terpisah dari Arfan. Ibu ingin ada teman bicara biar tidak sepi,” imbuhnya lagi yang pernah meminta sang menantu untuk tinggal dengannya agar sang anak bisa fokus bekerja di kota. Nesha sekali lagi menyunggingkan senyum, “Saya tidak apa, Bu ... justru saya yang berterima kasih karena adanya Ibu, saya jadi merasa punya Ibu lagi. Ya sudah kalau Mas Arfan pulang besok. Kalau begitu, saya mau ke kamar dulu. Soalnya tadi baru setengah jalan nulisnya. Ibu jangan marah-marah lagi seperti tadi," jawabnya sembari berpamitan untuk melanjutkan bagian cerita yang baru dapat setengah bagian. “Iya, Sha ... Ibu juga mau tiduran saja. Yang fokus nulisnya. Tidak usah mikirn kejadian tadi,” pesan sang mertua sebelum sang menantu tidak terlihat mata. Sementara Nesha hanya menoleh sambil tersenyum menanggapi pesan sang mertua. Meskipun kadang merasa sungkan karena waktunya hampir habis bermain ponsel, tetapi perlahan mulai terbiasa dan menerima karena sang pria yang tidak lelah memberi pengertian akan hobinya. Bahkan, sikap Arfan yang begitu mendukung dan tidak pernah mengganggu saat menulis menjadi penyemangat tersendiri untuknya. Berbeda jauh dengan kehidupan sebelumnya. Di mana hobinya mendapat pertentangan dari pria yang kini menjadi mantan suami. Sebuah keberuntungan jika akhirnya pria yang diperjuangkan tanpa lelah bersama doa kini bisa menggenggam tangan dan memeluk saat raga merasa lelah. Itulah yang membuat seorang Nesha tidak menganggap kekurangan Arfan sebagai ketidaksempurnaan. Sempurna itu ketika kedua orang tidak saling meninggalkan ketika tahu kekurangan pasangan. “Makasih, Mas ... sudah mau berjalan dan melewati masa sulit meski harus mengalami banyak luka dan air mata. Aku yang terus bicara, dan kamu yang selalu diam. Tapi antara kita tetap saling mengingat dalam doa. Bahkan hingga mengantar ke titik sekarang. Aku sayang kamu, Mas ...," ujar Nesha sebelum jemarinya memulai merangkai kata. Waktu yang terus berjalan semakin membuat wanita pecinta literasi itu tenggelam pada ribuan kata. Jemarinya berhenti ketika mendengar azan Asar berkumandang. Ya, Nesha memilih menyegarkan diri dengan mandi sore. Setelahnya makan untuk mencari tenaga agar mampu menyelesaikan cerita yang tinggal beberapa bab saja. Sang mertua yang tahu kegiatan menantunya hanya diam membiarkan ketika melihatnya keluar lalu kembali masuk tanpa menyapa. Ia mulai paham jika sedang bersikap demikian maka tengah memiliki tanggung jawab. Sebagai mertua yang baik, membiarkannya begitu adalah cara membantunya. Tentunya tanpa menghakimi dan menghadiahi omelan. Dan saat langit mulai berubah warna, Nesha masih menyisir kekurangan tulisannya sendiri. Bahkan tanpa sadar membuat kedua matanya menutup perlahan karena terlalu lelah. Hingga akhirnya terbawa mimpi dalam keadaan ponsel masih belum keluar dari aplikasi catatan. Suara televisi dari ruang tamu pun perlahan tidak terdengar. Hening. “Nesha tumben tidak keluar lagi ambil minum atau makanan pada jam segini? Apa memang menulis butuh konsentrasi penuh?" Sang mertua mulai bertanya-tanya kenapa Nesha tidak keluar kamar seperti biasa. Akan tetapi, satu suara ketukan pintu mengalihkan perhatian. Bergegas ia bangkit untuk membuka pintu agar tamu di luar sana tidak lama menunggu. “Ya Gusti, Arfan! Katanya pulang besok? Kenapa jadi sekarang?” Bu Maryam terkejut melihat tamu yang berdiri di hadapan ternyata anak lelakinya. Pria bernama Arfan itu hanya menanggapi dengan senyuman.“Sengaja, Bu. Tadi pas telepon sebenernya sudah melakukan persiapan. Hanya memang untuk menggoda Nesha saja. Dia ke mana, Bu?" tanyanya sembari mengedarkan pandang, mencari keberadaan wanita yang tanpa lelah berkata rindu meski dulu pernah ia abaikan. Ada rasa rindu menggebu yang mengoyak d**a telah menorehkan lara di hati wanitanya kini. Akan tetapi, semua terbayar lunas ketika waktu memberi kesempatan untuk saling menemani hingga maut memisahkan. Wanita yang cukup bangga memiliki anak seperti Arfan menggeleng beberapa kali karena ulahnya kerap di luar dugaan. “Dasar kamu! Nesha ada di kamar. Mungkin lagi nulis. Kamu samperin saja sekalian istirahat. Kan, baru sampai. Pasti lelah," ujar sang ibu yang tahu ada sorot rindu di mata anaknya. ”Ya sudah. Saya ke kamar dulu,” sahut Arfan kemudian meninggalkan sang ibu untuk menemui wanitanya. “Tunggu, Sha ... jangan tidur dulu. Aku sengaja berbohong untuk memberi kejutan,” lirihnya dengan gembira. Akan tetapi, ketika pintu kamar terbuka, pemandangan luar biasa terlihat mata. Di mana tingkah sang wanita sama persis saat dulu saling bercerita keseharian karena jarak dan waktu memisahkan. “Ya Tuhan, Nesha ... malah tidur di atas hape. Dibilangin kalau ngantuk itu tidur, bukan malah tetep nulis. Dasar ngeyel!” -----***---- Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN