CK BAB 11 B

1194 Kata
CINTA KEDUA 11 B Oleh: Kenong Auliya Zhafira Tanpa disadari, Nesha yang mendengar menjadi seperti memiliki keluarga utuh. Karena mendapat perhatian meski dirinya hadir dengan cara tidak terduga. “Terima kasih, Bu ...,” ujarnya dalam hati, lalu menatap pria yang pernah membuatnya terjatuh semakin dalam. “Iya, Bu, siap!” jawab Arfan penuh kemantapan sambil melirik wanita yang tengah menatapnya dengan senyuman. Wanita pemilik surga di telapak kakinya itu berbalik menuju kamarnya sendiri dengan hati tenang. Ia percaya anak dan menantunya adalah tipe orang yang memiliki cara sendiri untuk saling melindungi. Sebab kedua sorot mata mereka masih sama seperti pertama dipertemukan. Sama-sama menyiratkan ada cinta yang besar dan luka yang ingin disembuhkan bersama. Harapan mereka bisa mengarungi lautan kehidupan dengan kapal keduanya selalu melangit bersama doa. Sementara dua manusia yang dipersatukan takdir Tuhan dengan cara istimewa tengah menikmati waktu berdua. Arfan yang mulai sibuk membuka lembaran buku, dan Nesha yang ingin tenggelam bersama kata. “Mas ...,” panggil Nesha sebelum menyentuh ponselnya. “Apa?” sahut sang pria singkat. “Baca bukunya emang belum tamat, kah? Itu kan, udah dari kapan tahun nulisnya,” tanya Nesha yang berniat menggoda konsentrasi sang pria. “Ya, daripada tidak ngapa-ngapain. Kan, mending baca. Udah, kamu nulis aja sana. Biar nanti malam tidak tidur di atas hape lagi. Lagian katanya mau pergi juga ke rumah Ravi. Nanti uring-uringan belum up bab,” ujar sang pria yang pernah belajar memahami kelakuan Nesha dari obrolan kata terdahulu. “Hehehe ... ya udah, kalau gitu. Mau nulis dulu.” Nesha bergegas turun dari tempat tidur, lalu duduk di lantai dengan meja kecil yang terdapat beberapa buku hasil kerja kerasnya. Ya, selama menekuni dunia literasi, Nesha sudah menjadikan ceritanya beberapa buku. Memang penghasilan kurang beruntung, tetapi setidaknya bisa menjadi kenangan. Karena sebenarnya, ia lebih sering bermain platform. Tempat di mana karyanya dibaca secara online. Menit demi menit mulai berjalan. Pada setiap jarum jam yang berdetak memberi waktu jemari menulis beberapa puluh kata. Akan tetapi, kebiasaan Nesha mengantuk melihat tulisan seolah tidak mau hilang. Ya, perlahan matanya melekat tanpa disadari setelah mendapat hampir enam paragraf. Sementara Arfan yang merasa keadaan kamar terlalu sunyi, mengalihkan pandangan ke arah sekitar. Ia melihat wanitanya kembali melakukan hal yang sering dilarang olehnya, yakni memaksa menulis dalam keadaan mengantuk. “Astagfirullah, Nesha ... kenapa kalau ngantuk itu tidak bilang ... kalau tahu tadi kan, mending tak ajakin tidur. Pantaslah jika kamu selalu lama kalau menyelesaikan n****+,” ujar Arfan lirih, lalu meletakkan buku asal di tempat tidur. Setelahnya turun dan memindahkan wanita yang berhasil merenggut setengah hatinya dengan berbagai tingkah seperti bocah ke tempat tidur. Terlihat jelas ada gurat lelah pada wajahnya. Meskipun begitu tidak mengurangi aura yang membuatnya selalu memikirkan tanpa henti sejak dulu. “Kenapa tidak bilang ingin tidur siang aja ... dasar ...” gumamnya dalam hati, lalu memberi satu kecupan hangat di bibir yang kini menjadi miliknya. Arfan beralih mengambil ponsel yang layarnya telah berubah hitam. Akan tetapi, saat tombol on tertekan, beberapa tulisan langsung terlihat. Ia sengaja membaca sekilas, lalu menutupnya kembali pada menu awal. “Soal tulisan yang menembak hati, kamu memang jagonya, Sha ...,” batinnya, kemudian ikut berbaring di samping wanitanya menikmati tidur siang berdua. Ia ingin memanfaatkan waktu yang ada untuk selalu berdekatan seperti sekarang. Karena jika nanti kewajibannya usai, maka jarak akan kembali menjadi jurang pemisah yang menghanyutkan jutaan debar rindu. Dua pasang manusia itu tenggelam bersama mimpi yang mungkin hanya sesaat. Karena Arfan sengaja menyetel alarm pada jam satu siang agar tidak melewatkan empat rekaatnya terlalu lama. Biarlah kali ini mengalah untuk menemaninya. Tepat jam satu siang mereka terbangun bersama. Meski nyawa belum kembali sempurna, tetapi Arfan mampu tersenyum melihat wanita di sampingnya tengah mengucek mata. Ada rasa yang tidak bisa diungkap kata karena jarak bukan lagi menjadi pembunuh rindu. “Selamat siang, Sayang ... gimana tidurnya? Kenapa tidak bilang tidur siang aja, malah maksa nulis,” tanya pria yang masih menatap wanitanya penuh cinta. “Katanya tadi disuruh nulis. Kan, lumayan dapat beberapa paragraf kalau tidak salah tadi. Sebenarnya sedikit lelah sih, padahal di rumah cuma begini. Kasian Ibu karena hari ini aku menjadi menantu tidak tahu diri,” jawab Nesha yang tiba-tiba merasa menyesal dengan tingkahnya hari ini. “Tidak usah bilang begitu. Ibu pasti ngerti. Ya udah, kita bangun lalu salat. Biar kamu bisa melepas rindu sama ibumu,” ujar sang pria yang masih mengingat alasan air mata tadi pagi menggenangi pipi wanitanya. Nesha turun dari tempat tidur tanpa menjawab ajakan pria yang kini menjadi nyata untuknya. Begitu juga Arfan yang mengikutinya. Keduanya larut merendahkan diri di hadapan Sang Pemilik Alam Semesta. Bahkan, doa-doa untuk tetap bergandengan tangan tidak pernah lelah melangit agar mampu melewati badai kehidupan yang mungkin lebih dahsyat ke depannya. Tentang kerinduan pada orang yang tidak lagi bisa terjamah pun tidak lupa mengiringnya bersama doa. Karena hanya doa yang bisa menembus langit tanpa sekat sebagai penghalang. ~ Tepat jam tujuh malam, Nesha mulai mempersiapkan diri untuk hadir pada undangan yang diberikan Ravi. Ia hanya memakai rok berbahan jeans dan kemeja motif bunga-bunga. Kerudung dengan warna senada pun tidak lupa menutupi kepala. Tidak ada hiasan yang mencolok sama sekali dalam diri seorang Nesha Dianti. Bahkan, bibirnya pun hanya terdapat olesan tipis lipstik merah muda. Arfan yang melihat hanya bisa tersenyum. Baginya, Nesha selalu terlihat cantik baik tanpa polesan atau pun tidak. Sebab dirinya lebih sering melihatnya tanpa make-up. “Udah belum dandannya? Lama bener,” tanya sang pria yang selalu terdengar seperti godaan. “Itu beneran tidak mau pakai gelang atau cincin yang aku kasih saat berjanji di hadapan Tuhan? Orang lain mah, pasti pengin makai, tapi kamu malah disimpan,” tanyanya lagi memastikan penampilan wanitanya sebelum berangkat. Nesha tertawa, “Buat apa, Mas? Nanti kalau di jalan ada rampok gimana? Lagian aku juga udah makai gelang yang ini,” jawabnya sembari menunjukkan tangan yang dilingkari gelang seadanya dengan hiasan huruf berbahan emas. “Ini udah cukup. Bahkan, hampir tidak terlepas sama sekali. Kamu pasti tahu alasannya,” imbuhnya lagi. Seketika Arfan menatap tangannya sendiri yang juga dilingkari gelang dengan warna yang sama, tetapi tanpa hiasan apa pun. Ia ingat betul dengan kebetulan yang tidak pernah disangka jauh sebelumnya. Di mana gelang itu mampu memberikan kekuatan pada masing-masing untuk mengingat kisah seperti apa yang dijalani. “Ya udah. Kita berangkat," ajak sang pria sembari mengulurkan tangan. Nesha menerima tangan itu tanpa ragu. Seperti dulu yang tanpa ragu menjalani kesepakatan untuk sebuah hubungan tanpa nama. Akan tetapi, baru saja keluar kamar, ibu mertua menatap penampilannya dengan mata yang entah. Seakan ada kesalahan pada dirinya. “Sha ... nanti Ibu ambilkan sesuatu. Ibu punya sepatu yang mungkin cocok untuk penampilan kamu sekarang. Sebentar, Ibu ambilkan,” ujar sang mertua yang bergegas pergi dan kembali hanya beberapa menit dengan sepatu di tangan. Wanita yang tahu betul sepatu jenis apa hanya bisa menelan ludahnya. Sepatu itu terlihat begitu feminim. Akan tetapi, bisa membuat tumit merah dan kesakitan. Padahal niatnya, ia ingin memakai sepatu putih yang dibelikan sang pria setelah menikah dulu. “Aduh ... gimana ngomongnya sama Ibu, ya? Aku beneran tidak bisa memakai sepatu itu. Yang ada nanti jalannya sambil nahan perih tumit kaki. Tapi, kalau nolak takut Ibu marah.” -----***----- Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN