CK BAB 3

1397 Kata
CINTA KEDUA 3 Oleh: Kenong Auliya Zhafira Terkadang tidak membalas keburukan dan tetap bersikap baik bisa memancing orang terdekat merasa geregetan. Bukan tidak membenarkan hal itu, hanya saja sebagai manusia yang hidup berkelompok memiliki hak untuk membela diri dari berbagai tekanan hidup, termasuk perkataan tidak mengenakan. Wanita yang masih heran menatap sikap sang menantu hanya bisa menggeleng. Entah harus memberi pengertian seperti apa lagi padanya jika setiap manusia punya hak untuk melawan ucapan yang merendahkan. Bu Maryam mendekat, lalu berbisik, “Sha ... kenapa punya Bu Peni dibayarin segala? Biar saja.” Wanita yang sering mendapat wejangan untuk tidak nakal dari sang pria melengkungkan senyuman manis. Ya, Mas Arfan dulu kerap bicara jika hidup itu adalah sesuai apa yang kita tanam. Nesha tidak ingin nantinya menjadi pribadi yang merugi sebab acuh tak acuh pada kemalangan orang lain. “Sudah, tidak apa-apa. Kemarin pas kapan, saya baru dapat duit dari platform, Bu ... lagian cuma lima puluh ribu. Mas Arfan pasti juga tidak akan marah dengan ini, kok. Ibu tidak usah marah terus karena Bu Peni. Ingat, Bu ... semua ucapannya itu memang benar. Saya tidak bisa membela diri jika tentang ujian hidup,” jelas Nesha dengan suara tidak kalah lembut. Ia tidak ingin terkesan tidak menghormati sang mertua. “Ya sudah. Terserah kamu. Kalau sudah, kita sebaiknya pulang. Ibu merasa gerah lama-lama di sini,” ujar Bu Maryam yang masih tidak bisa menahan amarah seperti sang menantu. “Ibu, ish! Nanti beli bakso dulu di deket warung sebelum pulang. Saya pengin jajan. Sekalian biar Ibu tidak marah-marah terus,” jawab wanita yang memang kadang ingin meluapkan kepenatan bergelut bersama naskah dengan jajan sepuasnya. “Iya. Ibu nurut saja. Ya sudah buruan bayar!” titahnya yang mundur beberapa langkah untuk memberi ruang gerak belanja pada sang menantu. Sementara wanita yang kedapatan mengucapkan kata-kata melukai hati menatap istri kedua dari seorang Arfan. Bawaan sikapnya yang tenang dan kalem ternyata bisa menepuk lawan dengan senjata berbeda, yakni tidak ikut melawan tapi justru memberi kebaikan. Ya, Bu Peni mulai berpikir sisi inilah yang membuat Bu Maryam begitu membelanya. “Ternyata Nesha orangnya baik meski jarang keluar rumah dan berbaur dengan tetangga. Jadi merasa tidak enak sudah berkata jelek. Uangnya juga ternyata banyak. Padahal dia tidak bekerja dan hanya berada di rumah,” pikirnya dalam hati. Namun, biarlah hal itu dipikirkan lain waktu. Setelah urusan membayar belanjaan selesai, Nesya berbalik dan mendapati Bu Peni masih berdiri di belakang. “Loh, kok, Bu Peni belum pulang? Saya sudah bayar belanjaannya sekalian. Jadi tidak termasuk hutang,” tanya wanita yang memang ikhlas membantu. Bu Peni menggaruk tengkuknya untuk menutupi rasa malu. “Saya mau ngucapin makasih, Sha. Insyaallah nanti kalau duitnya ketemu, saya balikin,” jawabnya sembari menunduk. “Bu Peni santai saja. Kalau begitu, saya duluan, Bu ....” Nesha melangkah lebih dulu dan mengajak sang mertua untuk pulang tanpa melupakan membeli jajan bakso. Meskipun kemungkinan akan menjadi tekanan batin lagi sebab tetap harus berjalan kaki. Bukan naik roda dua seperti tetangga lainnya. Akan tetapi, langkahnya tertahan kedua kali oleh kehadiran seseorang yang dulu pernah menjadi seperti matahari untuk seorang Arfan, yakni Wening. Empat mata yang tidak sengaja bertemu seolah menyiratkan puluhan rasa; baik suka, tidak suka, cemburu, dan lainnya lagi. Namun, sebagai wanita kedua yang hadir setelah wanita di depannya hanya bisa menundukkan kepala sebagai bentuk hormat dan sopan santun. “Mbak Wening ... mau belanja,” sapa Nesha berusaha ramah dengan senyum meski dibuat susah payah. Bagaimana pun dulu pernah terlibat rasa pelik di antara mereka. “Iya. Kamu juga habis belanja?” jawab Wening lalu ikut berbasa-basi. “Iya, Mbak. Ini sama Ibu juga.” Nesha sengaja menunjukkan sang mertua yang dulu pernah menjadi ibu kedua untuk wanita di depannya. Keduanya terlihat saling menatap lalu memutus kontak mata setelah beberapa detik. Wening sendiri berusaha menghormati wanita yang usianya lebih tua. Ia memberi sapa lebih dulu. Entah kenapa sejak memilih berpisah dari Arfan hubungan menjadi canggung. “Ibu sehat? Sepertinya terlihat lebih bahagia sejak punya menantu baru,” ujarnya sengaja bertanya kehidupan mantan mertua setelah lepas darinya. Selain itu ia sengaja ingin tahu kebenaran kabar burung yang mengatakan kalau Nesha lebih buruk darinya. “Seperti yang kamu lihat. Saya baik dan bahagia,” jawab Bu Maryam singkat. Karena memang hidupnya sekarang singkat, bahagia tanpa banyak drama dan prahara. “Syukurlah. Saya ikut senang kalau Ibu sudah punya menantu yang sesuai keinginan. Jadi, saya tidak menyesal berpisah dari Arfan,” terangnya tanpa lagi menutupi perasaan yang sesungguhnya. Nesha sendiri hanya diam mendengarkan. Ada keinginan tidak mengganggu obrolan keduanya. Baginya, Mbak Wening adalah orang yang memiliki sumbangan terbesar untuk hidupnya dan Arfan. Akan tetapi, suara dering ponsel di saku tiba-tiba menghentikan obrolan keduanya. “Maaf, Mbak, Bu ... jadi terganggu karena suara ponsel saya," ujar Nesha sembari beralih beberapa langkah untuk mencari ruang menerima panggilan telepon. Nama sang pria yang begitu berarti dalam hidup selayaknya nyawa kedua terlihat memanggil. Tanpa menunggu lama, jemarinya menggeser gambar telepon berwarna hijau ke atas. ‘Halo, assalamualaikum ...,” jawab Nesha tanpa peduli akan pendengaran dua wanita di belakangnya. ‘Wa'alaikusaalam ... kamu lagi ngapain?’ tanya pria di seberang telepon sana. Ya, keduanya memilih melawan jarak sementara untuk hidup lebih baik sekaligus mempertimbangkan perasaan wanita yang telah memberinya kehidupan. ‘Lagi di warung. Kenapa? Mau pulang, kah?’ ‘Tumben ke warung? Emang beli apa? Ibu mana?’ ‘Ya, ini sama Ibu juga. Tapi lagi ngobrol sama Mbak Wening. Mau nitip salam enggak?' Nesha sesekali menggoda. Namun, selalu berujung tawa. ‘Heleh. Enggak usah mancing. Salam kangen aja buat kamu. Mungkin besok Minggu pulang. Aku kangen sama kamu, sama Ibu juga,’ terang sang pria di sana. ‘Aku juga kangen sama kamu. Kalau bisa, aku pengin ikut kamu. Di sini ternyata aku jadi artis. Banyak tetangga yang ngomongin. Berasa jadi terkenal aku.’ Nesha bercerita sembari tertawa. ‘Ya moga aja nanti kita bisa bagi waktu. Jangan kelamaan di warung. Entar makin jadi terkenal. Aku takut pangling dan kamu berubah.’ ‘Ha-ha-ha ... kalau deket tak cubit kamu. Becanda mulu. Ya udah, ini mau pulang. Tapi mau jajan bakso dulu.’ ‘Enggak usah jajan bakso! Entar pusing kepalanya banyakan micin. Kan, buat nulis. Udah pulang aja. Biar aku yang ngomong sama Ibu. Eh, sekalian video call deh. Pengen liat wajahmu yang buat aku selalu rindu,’ pinta sang pria. Seketika wajah pria yang berhasil merenggut setengah kewarasan sejak beberapa tahun terakhir terlihat di layar ponsel. Ada kerinduan yang terpancar jelas di sorot matanya. Hingga tanpa sadar membuat air mata menetes membasahi pipi. ‘Heh! Malah nangis! Bentar lagi pulang. Enggak usah nangis! Cengeng! Ibu mana? Kasih hapenya ke Ibu sebentar,’ pinta Arfan yang bisa tahu ada banyak rindu di wajah wanitanya. Oleh karena itu, ia selalu berusaha memberikan waktu di sela kesibukannya. Nesha mendekat pada sang mertua sesuai permintaan prianya. ”Mas Arfan mau ngomong sama Ibu,” ujarnya sembari memberikan ponsel. Bu Maryam menerima ponsel dan langsung fokus bicara dengan anaknya. Sementara Wening masih diam memperhatikan kehidupan kedua Arfan setelah lepas darinya. Ia tidak menyangka bisa seharmonis itu bersama Nesha. Padahal kehadirannya adalah sebagai pihak ketiga. Entah karena belum sepenuhnya rela, rasa sakit dan nyeri melihat Arfan bahagia dengan Nesha masih ada hingga detik ini. Wanita yang tahu betul arti ekspresi wajah mantan matahari sang pria memilih mendekat. Ada rasa bersalah yang begitu besar masih bersarang dalam d**a. Akan tetapi, ia memang tidak bisa menyerah akan perasaannya sendiri yang terus membesar untuk seorang Arfan. Meskipun, luka yang ia rasakan tidak sedalam wanita di depannya. “Mbak ... saya minta maaf untuk semua keadaan ini,” ujar Nesha tulus dari hati. Wening menarik bibirnya manis. “Kamu enggak perlu merasa bersalah. Ini sudah menjadi takdir kalian bisa sejauh ini. Aku hanya berharap kamu bisa menjadi istri yang seperti keinginannya. Tapi, aku penasaran satu hal. Apa yakin kamu benar-benar bahagia hidup dengan Arfan? Aku yakin kamu pasti sudah tahu kekurangannya?” tanya wanita yang diam-diam memiliki tujuan seberapa bisa seorang Arfan membuat wanita lain bahagia. Sementara bersama dirinya tidak bisa lagi memberikan bahagia seperti suami sejati pada umumnya. Nesha paham ke mana arah pertanyaan wanita di depannya. Meski pernah menjadi bagian dari sang pria, tetapi bertanya tentang hal yang begitu pribadi menurutnya kurang sopan. Apalagi di tempat umum. “Sebenarnya maksudmu apa, Mbak? Apa aku harus bercerita bagaimana cara Arfan membahagiakan secara batin? Itu adalah hal yang tidak ingin aku bagi pada siapa pun. Atau kamu sebenarnya cemburu, Mbak?" -----***----- Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN