Hari ini pernikahan akan digelar. Pagi-pagi sekali Lintang sudah duduk di kamar Hukma yang digunakan sebagai kamar rias pengantin. Perempuan itu menatap dirinya di cermin yang sedang didandani. Air mata menggenang di pelupuk mata Lintang. Di hari yang seharusnya bahagia ini, ia tidak memiliki satu pun sanak keluarga yang akan dia ajak berbagi kisahnya. Ayah dan Ibunya sudah tiada, hanya dia sendiri yang akan menjalani kehidupan yang rumit ini. Terkadang Lintang sangat iri, semua orang yang pernah dia temui bisa sangat bahagia dengan keluarga mereka. Sedangkan Lintang, bahagia pun Lintang sudah lupa bagaimana rasanya. Dulu meski ia hidup kekurangan, tapi ada orang tuanya yang ada di sampingnya. Namun semua berubah saat di masa putih abu-abu, kedua orang tuanya meninggal karena sakit. Hidup di kota yang besar dan seorang diri, harus membuat Lintang extra bekerja keras. Kehidupan yang sulit ini akan lebih sulit saat ia tersandung pernikahan kontrak.
“Lintang, kenapa kamu menangis?” tanya salah satu perias segera mengambil tisu dan mengusap pipi Lintang. Lintang tersenyum kecil, perempuan itu menghapus air matanya.
“Lintang, ini hari bahagia kamu. Kamu jangan menangis,” ucap yang lain ikut menenangkan.
Davit yang sudah ada di depan pintu kamar Hukma pun mematung mendengar pembicaraan perias itu. melihat ke cermin, ia melihat Lintang tengah menundukkan kepalanya seraya mencoba menghapus air matanya.
“Kenapa?” tanya Bu Shela yang mengagetkan Davit. Davit menggelengkan kepalanya, sedangkan Bu Shela yang masih kepo melihat Lintang dengan seksama. Tampak sekali calon menantunya tengah berusaha menghapus air matanya.
“Davit, hibur istrimu!” pinta Shela.
“Lah, kenapa, Ma?” tanya Davit.
“Pasti istrimu sedang sedih. Seharusnya di hari pernikahannya, ada orang tua yang mengantarnya, memberikan restu dan menyerahkan dengan tangannya sendiri Lintang padamu. Namun keadaannya berbeda, Lintang hanya sendirian,” jelas Shela. Davit tercenung, benar apa yang dikatakan mamanya. Dan kini Davit merasa menzalimi Lintang karena mereka akan melakukan hubungan kontrak.
“Davit, di dunia ini kamulah yang akan menjadi orang terdekat Lintang. Jaga dia, sayangi dia, dan cintai dia sepenuh hati. Mama mohon sama kamu, bila nanti kamu sudah tidak cinta sama Lintang, jangan katakan apapun. Tetap perlakukan dia sebaik mungkin,” ucap Shela memegang tangan anaknya sarat akan permohonan.
Davit menatap mamanya dan Lintang bergantian. Andai mamanya tahu, saat ini pun Davit tidak mencintai Lintang sedikit pun. Menikahi Lintang hanya murni karena kesalahan Lintang yang membuatnya seperti dosen mesuum mencari mangsa.
“Davit, kamu mau menuruti permintaan mama?” tanya Shela mendesak.
“Ma, aku sebenarnya sedikit kesal dengan Lintang yang menganggapku sebagai Duda,” ucap Davit. Shela membulatkan matanya.
“Kenapa begitu? Kamu kan belum pernah menikah, kenapa dia menganggap kamu duda?” tanya Shela bertubi-tubi. Shela saja menyuruh anaknya menikah saat anaknya berusia dua puluh lima tahun, sampai anaknya berusia tiga puluh tahun baru membawa perempuan kemarin dan langsung dinikahi.
“Salah kak Davit, Ma. Kak Davit menyebar rumor di kampus kalau dia duda agar tidak ada mahasiswi yang mengutarakan perasaannya pada Kak Davit, tapi karena status duda bukannya para mahasiswi berhenti mengejar, malah semakin mengidolakan,” jelas Hukma yang tiba-tiba bergabung di pembicaraan. Davit menggaruk tengkuknya. Ia juga tidak menyangka status duda malah membuatnya semakin digilai perempuan. Dulu Davit menyebar rumor duda karena malas menanggapi mahasiswi yang terus menyatakan perasaanya padanya. Dan yang terjadi semakin banyak yang mengidolakannya.
“Bu Shela, ini sudah selesai,” ucap salah satu perias menolehkan kepalanya pada Bu Shela. Bu Shela segera mendatangi Lintang, begitu pun Davit yang mengarahkan pandangannya pada calon istrinya.
Lintang berdiri membalikkan tubuhnya, mata Davit nyaris copot saat melihat Lintang. Lintang tampak cantik dan anggun mengenakan kebaya berwarna putih dan rambut yang disanggul rapi. Lintang yang biasa rambutnya terurai atau dikuncir kuda, kini lebih cantik saat disanggul rapi. Davit telat menyadari bahwa mahasiswinya yang sering telat itu sangat cantik.
“Kak!” tegur Hukma menyenggol Davit. Buru-buru Davit menetralkan ekspresinya. Lintang sama sekali tidak menanatap Davit, perempuan itu terus menatap calon mama mertuanya.
Entah kenapa menatap Davit membuat Lintang sakit hati karena perkataan Davit yang mengatakan kalau isu sudah reda dalam dua bulan, maka mereka akan bercerai. Kemarin malam pun Lintang tidur di kamar Hukma karena tidak mau berdekatan dengan Davit. Namun hari ini mereka akan resmi menikah.
“Ayo, Nak. Penghulu dan wali hakimnya sudah datang!” ajak Shela pada menantunya. Lintang menganggukkan kepalanya dan mengikuti ibu mertuanya. Davit menatap Lintang yang sama sekali tidak menatapnya, Lintang seolah tidak menyadari keberadaannya. Davit menata jas putih yang dia kenakan.
“Hukma, kakak ganteng, gak?” tanya Davit berbisik pada adiknya. Hukma menatap kakaknya dengan pandangan bingung. Di umurnya yang ke dua puluh tiga tahun, baru pertama kali Hukma mendengar kakaknya bertanya soal ketampanan.
“Jawab!” tekan Davit.
“Eh iya, ganteng kok, Kak,” jawab Hukma. Davit tersenyum kecil, pria itu segera menyusul mamanya dan calon istrinya untuk ke ruang tengah di mana ijab qobul akan dilaksanakan.
Penghulu dan wali hakim sudah datang, Davit dipersilahkan duduk di depan penghulu dan wali hakim, sedangkan Lintang duduk di samping Davit. Tudung putih Shela sampirkan ke kepala anak dan anak menantunya.
Davit menatap wali hakim dan penghulu dengan yakin. Hari ini adalah hari di mana ia melpas masa lajangnya. Meski pernikahan kontrak, dari hati Davit yang terdalam ia akan serius dengan pernikahan ini agar pernikahan ini sah.
“Sudah siap?” tanya penghulu. Davit menganggukkan kepalanya.
Wali hakim mengulurkan tangannya yang disambut oleh Davit. Jantung Davit bertalu-talu, perasaannya tidak karuan dengan hatinya yang berdebar-debar. Tangannya terasa berkeringat saat menjabat tangan wali hakim untuk Lintang.
“Bismillahirrahmanirrahim … saya nikah dan kawinkan engkau Davit Wicaksana bin Seno dengan Lintang Arum binti Amru dengan mas kawin uang seratus juta dan emas dua puluh empat gram dibayar tunai,” ucap Wali hakim sembari menjabat tangan Davit.
“Saya terima nikah dan kawinnya Lintang Arum binti Amru dengan mas kawin tersebut dibayar tunai,” ujar Davit mengucapkan kalimat qabul dengan yakin.
Jantung Lintang seolah berhenti berdetak saat mendengar kalimat qabul yang diucapkan Davit, yang saat ini sudah resmi menjadi suaminya. Perasaan Lintang bercampur aduk, kesedihan lah yang mendominasi. Orang tuanya tidak bisa melihatnya menikah, kini ia sudah resmi menjadi milik orang yang sama sekali tidak pernah dia pikirkan. Lintang mengenal Pak Davit sejak semester satu, tapi tidak pernah berhubungan dengan intens. Bertegur sapa pun Lintang sangat jarang, dan saat ini mereka malah menikah.
“Lintang, saatnya bertukar cincin,” bisik Bu Shela. Lintang menganggukkan kepalanya. Davit sedikit memiringkan tubuhnya menghadap ke lintang. Pria itu mengambil kotak cincin di meja, Davit mengambil cincin untuk istrinya, dengan pelan Davit menyematkan cincin tersebut di jari manis Lintang yang sedikit bergetar.
Davit mengamati cincin itu yang sangat cantik di jari manis istrinya. Cincin dengan desain sederhana itu pas di tangan sang istri. Kini giliran Lintang yang menyematkan cincin pada suaminya. Tangan kecil Lintang memegang tangan besar Davit. Pada akhirnya kedua cincin itu tersemat di tempat yang semestinya.
Lintang mencium punggung tangan Davit. Air matanya meleleh membasahi punggung tangan suaminya. Bolehkan Lintang berharap kalau ini bukan pernikahan kontrak? Meski Lintang tidak mencintai Davit, tapi untuk bercerai itu pasti akan merugikannya.
Davit merasakan tangannya dingin, saat Lintang mengangkat wajahnya, perempuan itu tengah meneteskan air matanya. Davit menangkup wajah Lintang, pria itu mendekatkan wajah Lintang ke arahnya. Ciuman dari Davit mendarat di kening Lintang dengan intens. Jantung keduanya sama-sama terasa bertalu-talu dan berdetak tidak dengan sewajarnya.
Perasaan mengharu biru juga dirasakan oleh keluarga Davit. mereka sangat senang akhirnya Davit mau menikah juga dengan perempuan cantik seperti Lintang.
Serangkaian acara Davit dan Lintang lakukan. Setelah prosesi ijab qobul, ada foto keluarga. Malam harinya pesta resepsi yang dihadiri oleh sanak keluarga mempelai pria dan teman-teman mempelai pria juga teman-teman orang tua mempelai pria. Sedangkan Lintang, satu teman pun tidak ada yang hadir, apalagi keluarga. Hari ini adalah hari bahagia keluarga dan orang terdekat Davit, tidak dengan Lintang.
Malam ini sudah pukul sembilan, tapi tamu masih berdatangan. Davit sibuk menyapa para tamu, sedangkan Lintang duduk di kursi pengantin yang disediakan. Andai waktu bisa diputar, Lintang tidak akan menarik Davit ke ruang belakang kelas agar saat ini dirinya masih aman. Lebih baik ia menghentikan kuliahnya sejak awal daripada berakhir begini. Di setiap perjalanan takdir, tidak ada manusia yang menginginkan sengsara, begitu pun dengan Lintang. Namun takdir seolah mempermainkannya. Saat ini di balik senyum sumringah para orang yang hadir di pernikahannya, ada hujan lebat di hati Lintang yang tidak kunjung reda.
Lintang menghapus air matanya yang tiba-tiba menetes tanpa bisa dia cegah. Andai Lintang bisa, ia akan kabur saat ini juga. Namun lagi-lagi semuanya sudah terlanjur.
“Maaf, dengan Bu Lintang?” tanya seorang pria sembari membawa map bersampul biru. Lintang segera berdiri seraya mengangguk.
“Mari ikut saya!” pinta pria asing itu. Lintang menatap ke seluruh rumah mencari keberadaan suaminya, ternyata suaminya masih asik dengan teman-teman prianya. Lintang pun mengikuti orang asing itu.
Orang asing itu membawa Lintang ke rumah belakang. Lintang takut tapi sepertinya pria itu tidak berniat jahat kepadanya.
“Perkenalkan Saya Afif, pengacara Pak Davit. Saya ke sini untuk menyerahkan surat perjanjian kontrak,” ucap pria yang mengenalkan diri sebagai pengacara itu.
Afif menyerahkan berkas bersampul mam biru kepada Lintang. Tangan Lintang bergetar menerima berkas itu. Perasaan Lintang lagi-lagi sakit saat Davit tidak mau menyerahkan perjanjian kontrak seorang diri. Davit malah menyuruh pengacaranya. Davit benar-benar melakukan perjanjian kontrak hitam di atas putih dengan dasar hukum yang kuat.
“Mari pelajari dan tanda tangan!” ucap Pengacara itu. Lintang membukanya. Setiap perjanjian ada dasar hukum yang mengaturnya. Setitik air mata jatuh mengenai kertas itu membuat sebagian tulisan kabur.
Lintang sempat lupa kalau pernikahan ini hanya menguntungkan Davit yang karirnya terselamatkan. Tanpa membaca sebagian, Lintang segera meminta bolpoin dan membubuhkan tanda tangannya di bawah sana mengenai materai.
“Ini,” ucap Lintang yang mencoba menegarkan hatinya.
“Terimakasih. Saya kembali dulu,” ucap Pak Afif. Lintang menganggukkan kepalanya. Setelah Pak Afif benar-benar pergi, Lintang memukul-mukul d**a-nya sendiri yang terasa sangat sakit. Hadirnya di dunia seolah hanya untuk berkorban, tidak pernah menjadi pihak utama yang akan menemui bahagia.
“Ayah, Ibu, maaf Lintang sudah mengecewakan kalian,” jerit Batin Lintang.