Rifki yang tengah menunggu Renata berlatih taekwondo tiba-tiba melihat gadis itu berlari ke arahnya. Rifki yang kaget langsung keluar dari mobil dan tiba-tiba membeku karena Renata memeluknya dengan sangat erat. Seharian ini ia dibuat membeku oleh gadis itu. "Na...Nata.." ucapnya kelu.
"Kak... Aku jadi ikut ujian itu. Aku jadi ikut seleksi itu kak." Ucap Renata dengan wajah gembira. Mukanya langsung berseri-seri.
"Beneran?" Renata menangguk. "Kok bisa? Bukannya dokter Rudi tadi siang tolak kamu mentah-mentah ya." Rifki kebingungan dibuatnya.
"Barusan Om Rudi telpon aku, katanya aku boleh ikutan ujian seleksi. Kyaaa.... Ya allah seneng banget."
Rifki menggaruk kepalanya. "Ih kok malah bengong sih. Ucapin selamat kek."
"Oke selamat ya. Kita berjuang sama-sama untuk tembus ke Amerika."
"Yups. Yuk pulang aku udah ngga pengen taekwondo lagi." Ucap Renata sambil masuk ke dalam mobil Rifki. Pria itu menggelengkan kepalanya. Mobilnya melaju menuju rumah keluarga Wiguna.
***
Rifki menghentikan mobilnya di depan gerbang rumah Renata. Ia melirik sekilas dan melihat sebuah mobil yang di kenalnya. Mobil milik ayahnya Renata. Entah mengapa ia sangat takut tiap kali bertatap muka dengan ayah gadis itu. Pria paruh baya yang juga seniornya di rumah sakit itu tak menyukainya. Ia tak tahu kenapa Dito tak menyukainya. Apa karena Rifki adalah satu-satunya pria yang tengah dekat dengan putrinya?
"Makasih ya Kak. Mau mampir dulu?" ucap Renata menawari.
"Aku sih kepengen tapi kayaknya mending aku pulang deh. Ada papa mu dirumah." Ucap Rifki menunjuk sebuah mobil mewah yang terparkir di halaman depan rumah. Renata mengikuti arah pandang Rifki dan tertawa.
"Masih takut ketemu Papa?" sindirnya.
"Takutlah. Papa kamu lebih serem dari pada hantu."
"Enak aja. Serem serem gitu Papa kesayangan aku tahu." Renata mengerucutkan bibirnya dan itu membuat Rifki semakin gemas. Jika tidak takut dengan tinjunya Renata mungkin ia dengan senang hati akan mencium bibir menggemaskan itu.
"Ngga usah kode deh pengen di cipok. Biasa aja itu bibir. Udah tahan nih dari tadi." Renata malah tertawa mendengar itu. "Berani cium berarti udah siap bonyok nih sama Papa."
Rifki bergidik mendengar itu. "Ya udah kak aku turun ya. See you besok."
"Oke... See you. Besok mau ku jemput?" tanyanya saat Renata akan menutup pintu mobilnya. "Kakak mau jemput Rere?" Rifki mengangguk.
"Boleh. Tapi yakin kakak ngga kejauhan? Rumah kita kan beda arah, Kak."
"No problemo kalo soal kamu. Sejauh apapun tak jabanin deh." Godanya. Keduanya tertawa. "Dih gombalan ngga mutu. Udah ah aku balik ya. Kakak hati-hati di jalan."
"Oke. Nanti ku telpon kalo udah sampe rumah."
Renata melambaikan tangannya ke arah Rifki yang sudah pergi meninggalkan rumahnya. Setelah menghilang di tikungan, Renata pun masuk ke dalam gerbang dan terkejut dengan kehadiran sang Papa yang tengah menatapnya tajam.
"Ya allah Papa. Ngagetin aja tahu ngga." Renata mencium tangan Papanya, "Assalammualaikum Pah."
"Waalaikumsalam." Jawab Dito jutek. "Dih juteknya Papa ku ini. Anaknya baru pulang di jutekin."
"Siapa yang anter kamu pulang?"
"Siapa lagi kalo bukan musuhnya Papa." Ucap Renata sambil tertawa geli. Keduanya berjalan masuk ke dalam rumah. Raut wajah Dito mengeras saat tahu siapa pria yang di maksud putrinya.
"Kenapa sih kamu bareng dia terus? Emang ngga ada cowok lain yang anter kamu pulang?" tanya Dito tak suka. Renata menghentikan langkahnya, tubuhnya berbalik menghadap sang ayah.
"Selain kak Rifki, ngga ada lagi. Semua cowok yang dekat sama aku, Papa langsung libas habis sampai ngga ada lagi yang mau dekatin aku. Papa mau ya Rere jadi perawan tua & ngga nikah gara-gara Papa yang over protektif?"
"Tentu saja kamu harus menikah tapi ngga sekarang dan bukan dengan si kucluk ikan spongebob. Kamu masih kecil sayang. Masih jadi princessnya Papa." Ucap Dito membelai wajah cantik putrinya.
"Pa. Rere udah dewasa. Udah bukan anak kecil Papa lagi. Papa udah keterlaluan tahu ngga sampai masalah pribadi Rere aja ikut campur. Tolonglah Pa kasih Rere kebebasan untuk berpikir dan menjalani hidup Rere sendiri. Kalau Papa terus terusan kayak gini gimana Rere bisa menghadapi kejamnya dunia diluar sana. Selama ini Rere selalu di sembunyiin di balik ketek Papa terus. Kapan Rere mandirinya Pah?"
Dito tersenyum ke arah putrinya. "Sampai mati pun Papa rela melindungi kamu sayang. Udah mandi dulu gih. Mama mu masak makan malam spesial buat kita." Ucap Dito sambil masuk ke dalam rumah mencari istrinya. Renata terlihat kesal. Ia segera berlari ke lantai dua dimana kamarnya berada. Ia juga membanting pintu kamarnya dengan cukup kencang.
Semua orang langsung menengok ke arah kamar Renata. "Kamu apain lagi sayang si sulung?" tanya Abel menatap suaminya yang tengah mencicipi masakannya.
"Ngga ada."
"Bohong. Anak mu ngga mungkin sampe ngebanting pintu kayak gitu kalo ngga di buat kesal sama Papanya."
"Udah pas nih yank bumbunya. Udah jangan dipikirin nanti dia baik sendiri kok." Dito berjalan menuju ruang makan. Ia memanggil anak-anaknya untuk bergabung makan malam. "Dek... Panggilin kakak mu untuk makan malam bersama." Ucap Dito meminta si bungsu Rafly untuk memanggil Renata.
"Papa aja yang manggil. Dia lagi ngamuk kayak gitu yang ada aku di sleding ama dia. No thanks." Tolak Rafly.
"Buruan panggil." Dito tak ingin di bantah. Rafly meletakkan ponselnya di meja makan dengan cukup kencang sebagai tanda protes kepada Papanya, lalu beranjak menuju kamar sang kakak.
"Kak... Ditunggu Papa di ruang makan. Buruan turun." Teriak Rafly begitu tiba di depan kamar Renata. Gadis itu tak menjawab teriakan adik bungsunya. Rafly mengetuk-ngetuk pintu kamarnya sambil berteriak memanggil sang kakak.
"Kak, buruan turun..."
"BERISIK!!" teriak Renata dari dalam kamar. Rafly nyaris kehilangan kepalanya karena lemparan barang dari dalam kamar kakaknya. Rafly berlari turun ke ruang makan sambil mengelus-elus dadanya karena masih di selamatkan oleh Tuhan dari peristiwa mengerikan tadi.
"Tuh kan adek bilang juga apa. Hampir aja kepala adek pecah di timpuk sama kakak. Pokoknya aku ngga mau disuruh panggilin kakak kalo doi lagi ngamuk kayak gitu!." Ucap Rafly kesal.
Abel menatap tajam ke arah suaminya yang malah mengendikkan bahunya. "Papa nih ah kebiasaan banget. Seneng banget bikin anaknya kesal."
"Itu buat kebaikan dia sayang."
"Yang baik buat orang tua belum tentu baik buat anak." Ucap Abel dan mendapat pembelaan dari Rafly. "Biarkan anak kita berkembang dengan sendirinya."
Karena tak mendapat dukungan dari anak dan istrinya, Dito memilih pergi ke ruang kerjanya. Abel menggelengkan kepalanya. "Papa kalian tuh keras kepala."
"Ya klop donk." Jawab Rafly.
"Klop gimana?" tanya Abel balik.
"Ya klop. Papa dan bunda kan sama-sama keras kepala & ngga mau kalah. Klop itu namanya." Celetuk Rafly membuat ia mendapatkan tatapan tajam dari bundanya. Rafly hanya tertawa. "Meskipun papa dan Bunda keras kepala, kita tetap sayang kalian kok," ucap Rafly tiba-tiba sweet sambil memeluk Bundanya dari belakang.
"Tumben banget kamu sweet dek."
"Nah kan mulai. Aku cuek di omongin, aku sweet juga di omongin. Susah nih emang." Rafly memilih masuk ke dalam kamarnya. Sementara Rafka malah asik dengan serial TV yang ditontonnya.