Bab 1
"Mas, kenapa teleponku tidak dijawab?" Naina baru saja pulang dari pasar. Kedua tangannya menenteng dua buah besar kantong berisi barang belanjaan. Perempuan itu tampak kepayahan. Setelah meletakkan barang bawaannya, dia menyeka keringat yang hampir menetes di pelipisnya.
"Aku capek!" jawab singkat seorang pemuda yang tengah rebahan di atas sofa kecil satu-satunya di rumah mereka sembari memainkan ponselnya. Pria itu lebih fokus menatap layar berukuran 5,5 inci di hadapannya. Sama sekali tak menghiraukan perempuan yang tampak kelelahan.
Tak ingin berdebat panjang, Naina memilih berjalan mendekati galon air dan mengisi gelas di dekatnya, menenggak isinya hingga habis tak bersisa. Terdengar dia menghela napas berat beberapa kali, menetralkan suasana hati yang nyaris tak terkendali.
Mengabaikan sang suami, Naina meraih kembali kantong belanja yang sempat ia letakkan di lantai. Dia memindahkan dua kantong itu ke area dapur. Sebelum kemudian mengeluarkan isinya satu per satu.
Hunian Naina dan suaminya hanya berupa rumah petak di mana hanya ada satu kamar tidur, satu kamar mandi yang menjadi satu dengan toilet, dan sudut ruangan dengan wastafel dan meja beton panjang yang difungsikan sebagai dapur. Ruang tengah dan dapurnya tak memiliki sekat karena memang rumah petak itu keseluruhannya hanya berukuran 5x5 meter, sangat kecil untuk sebuah keluarga dengan dua orang anak.
"Mas, galon dan gas udah mau abis. Tolong belikan, ya?" pinta Naina seraya merapikan belanjaannya. Perempuan itu mondar-mandir mencuci sayuran dan ikan, lalu memasukkannya ke dalam sebuah wadah sebelum diletakkan ke dalam kulkas mini di rumahnya.
"Orang jual gas dan galon dekat. Tinggal berjalan ke depan gang, apa susahnya sih!" gerutu Surya, suami Naina, tanpa menoleh sedikitpun.
Naina tak menjawab lagi. Dia merasa percuma untuk mengulang permintaannya jika jawaban suaminya seperti itu.
"Anak-anak ada di mana, Mas?" tanya Naina lagi. Sebelumnya dia menitipkan dua buah hati mereka pada sang suami. Tak mungkin dia membawa dua anaknya yang masih kecil ke pasar.
Dengan entengnya Surya menjawab, "Saya titipkan ke Mbak Nissa, tetangga sebelah."
Naina yang sebelumnya memfokuskan diri membersihkan ikan yang tadi ia beli, mendadak menghentikan gerakan tangannya. Dia menoleh singkat ke suaminya yang sama sekali enggan beranjak, tak ingin diganggu oleh apapun.
"Cepatlah masak. Ini sudah jam berapa? Aku sudah lapar!" seru Surya pada Naina.
Mendengar perkataan suaminya itu, Naina merasa kesal. Bisa-bisanya suaminya hanya memikirkan dirinya sendiri, tanpa peduli pada anak dan istrinya. Dia memilih sibuk dengan ponselnya dibanding sibuk menjaga dua anaknya.
"Mas, kamu gak ada niatan bantu aku, gitu?" cicit Naina.
"Itu kan tugasmu!" sahut Surya cuek.
Kali ini, Naina merasa kesabarannya habis. Gegas ia membereskan bahan makanan yang telah dia bersihkan, ia masukkan ke dalam lemari pendingin. Ikan, ayam dan daging pun telah ia bumbui. Sayuran telah ia siangi. Bumbu pun sudah ada di tempat yang seharusnya. Namun, Naina tak lanjut memasak. Dia memilih mencuci tangannya, membersihkan diri sebentar di kamar mandi, lalu berjalan ke luar rumah, mengabaikan sang suami yang menoleh padanya sedikit saja tidak dilakukan.
"Mau ke mana?" tanya Surya menghentikan langkah Naina sejenak.
"Makananku mana?" tanyanya lagi.
"Aku mau jemput anak-anak dulu sebentar," ucapnya sambil berlalu.
Surya mendengus kesal, dia merasa diabaikan oleh sang istri yang lebih mementingkan anak-anak mereka. Meski demikian, pemuda itu masih enggan beranjak dari tempatnya. Fokusnya masih sama, pada ponsel yang menampilkan sebuah gim FPS (first-person shooter) battle royale yang tengah ia gemari. Saat memainkan gim itu, Surya sama sekali tak memedulikan anak istri dan apapun yang berkaitan dengan keluarganya. Hidupnya seolah tersedot oleh permainan di layar ponsel tersebut.
***
Tiga puluh menit berlalu, barulah Surya mengakhiri kegiatannya bermain ponsel. Cacing di perutnya mulai meronta bahkan mengeluarkan suara demo hingga terasa sedikit nyeri di dalam tubuhnya. Pria itu berdecak sembari bangkit menuju area dapur di mana istrinya biasanya memasak. Melihat penanak nasi dengan indikator nasi sudah matang, membuat pria itu beralih menuju kulkas.
Gerakan tangannya cukup kasar melempar sebuah wadah plastik yang berisi ikan laut yang telah dibumbui di dalam kulkas. Ya, dia urung mengeluarkan sebuah wadah di mana terdapat beberapa ekor ikan dengan bumbu kuning masih dalam keadaan mentah.
Tangannya lantas menggulir ponselnya, mencari sebuah nama lalu menekan tombol hijau setelahnya. Dia mendekatkan benda pipih kesayangannya ke telinga. Namun, dia menoleh saat mendengar dering ponsel orang yang dihubungi ada di dalam rumah.
Tadinya dia akan kembali duduk, menunggu Naina kembali. Namun, protes perutnya membuatnya melangkah menuju rumah tetangga yang hanya berjarak beberapa langkah saja.
"Permisi, Mbak. Naina apa masih di sini?" tanya Surya saat melihat Nissa baru keluar dari rumah, hendak membuang sampah.
"Oh, Mbak Naina tadi pergi ke toko depan sana sebentar, Mas. Si sulung minta beli jajanan," ucap Nissa sopan.
"Oh, baik, terima kasih, Mbak," sahut Surya kemudian kembali menuju rumahnya.
Raut wajahnya begitu jelas kecewa bercampur marah. Namun, dia masih menahannya karena orang yang dia tunggu masih belum tiba.
Lima belas menit berlalu, barulah Naina kembali. Dia tersenyum bercanda dengan anak sulungnya sembari menggendong bayi berusia dua bulan. Wajahnya terlihat sangat ceria, apalagi sang anak yang masih balita juga tampak bahagia menunjukkan sesuatu yang baru saja dibelinya.
"Dari mana saja? Aku lapar. Cepat masak!" titahnya tak ingin dibantah.
Naina hanya bisa mengembuskan napas kasar. Padahal itu sudah hampir satu jam berlalu. Dia pikir sang suami berinisiatif untuk memasak sendiri. Namun, nyatanya pria itu menunggunya kembali dan memasakkan sesuatu untuknya.
Beruntung Naina dan anaknya tadi sempat makan bersama Nissa sebelum pergi ke warung depan gang rumahnya. Sehingga ia sama sekali tak masalah jika tak makan lagi di rumah.
"Kan aku udah bilang tadi, Mas. Kamu tinggal goreng aja, kan udah aku kasih bumbu," lirih Naina namun bisa didengar suaminya.
"Kan tinggal goreng sebelum jemput anak-anak bisa toh? Bukannya itu tugas kamu melayani suami?" sahut Surya tak mau kalah.
Dia kembali menggulir layar ponselnya, mengabaikan dua anaknya tak jauh dari tempatnya berada.
Naina bergegas menggoreng dua potong ayam dan beberapa potong tempe. Tak lupa ia menyiapkan sambal dan membuat sayur bening bayam untuk Surya. Dia mengerjakannya dengan sangat cepat. Hingga tak butuh waktu lama semua makanan telah siap untuk disantap.
"Udah, Mas!" ucap Naina seraya mendekat kembali ke arah dua anaknya yang diabaikan Surya.
Suaminya itu lantas beranjak mengambil piring yang diisi beberapa centong nasi lalu mengambil dua potong ayam dan dua potong tempe goreng. Sayur bayam tak ia masukkan ke dalam piringnya. Dia hanya mengambil kuahnya seperti biasa. Tak lupa dia membawa sambal dengan wadahnya lalu duduk menikmati makanannya.
Tak ada pujian, tak ada ucapan terima kasih yang keluar dari mulut pria itu. Surya bahkan tak bertanya apakah istri dan anaknya sudah makan atau belum. Yang dia tahu, dia sudah sangat lapar dan perutnya minta segera diisi.
"Buatkan aku kopi. Masih ada, 'kan?" ucap Surya enteng.
Naina hanya menatap sang suami yang masih sibuk dengan makanan dan ponsel yang menayangkan sebuah video. Merasa diawasi, pria itu akhirnya menoleh.
"Apa lagi? Tadi ke toko ngga sekalian beli? Kamu bisanya apa sih selain ngabisin duit?"