Bab. 9. kisah orang tua baru Candra

2026 Kata
"Tapi, Bu. Penampilannya lusuh, aku nggak suka! Kenapa nggak orang kaya aja sih, Bu?" ujar Candra. Ibu panti menggeleng-gelengkan kepalnya. "Candra, nggak boleh ngomong seperti itu. Mereka orang yang baik, semoga bisa memenuhi segala kebutuhanmu. Ibu, nggak selamanya muda. Ibu rasa hidupmu dengan mereka akan lebih layak, dari ada di sini," ujar ibu panti mencoba membujuknya kembali. Candra pun mulai berpikir, dalam hatinya berkata, 'Iya juga, ya. Ibu nanti juga semakin tua, kalau ibu meninggal hidupku nanti seperti apa? Mungkin bisa dicoba, deh.' "Baik, Bu. Candra mau," jawabnya dengan tegas, meski dalam hatinya masih agak ragu. "Alhamdulillah, baik Nak. Kita bilang ke calon orang tuamu, ya," ujar ibu panti. Candra pun menganggukkan kepalanya. Mereka berdua menghampiri calon orang tua Candra, lalu mengatakan jika Candra sudah siap untuk mereka adopsi. Saat itu juga terlihat Bu Aliya dan Pak Joko tersenyum dan mengucapkan rasa syukur meski lirih. "Sebentar, ya. Saya ambilkan berkas Candra, dulu," ujar ibu panti. "Baik, Bu." Ibu panti pun segera pergi, sedangkan Bu Aliya dan Pak Joko yang merasa bahagia, mencoba memanggil Candra untuk duduk di sampingnya. "Sini, sayang. Duduk sama Ayah dan Ibu." Bu Aliya memanggilnya. Candra berjalan menghampiri mereka, tetapi wajah dia yang risih gak bisa ditutup-tutupi. "Kalau sudah, buruan pulang kita. Aku lapar dan istirahat," ujar Candra. "Iya, Nak. Tunggu ibu panti dulu, ya," ujar Bu Aliya. Tak berselang lama, Bu Panti datang menghampiri sembari membawa berkas milik Candra. "Ini berkas-berkas untuk Candra. Dari akte, hingga kebutuhan sekolahnya sudah lengkap," ujar ibu panti sembari memberikan berkas-berkasnya. "Baik, Bu. Terima kasih," ujar Pak Joko. "Candra, kamu bawa apa aja. Kamu siapkan dulu, ya," ujar ibu panti. Candra pun menganggukkan kepalanya. Lalu beranjak menuju kamarnya. Sesampainya di kamar, beberapa temannya membantu dia untuk menyiapkan barang yang perlu dibawa. "Candra, jangan lupain kami," ujar salah satu temannya. "Enggak, deh. Gara-gara Nadin, aku nggak dapet orang tua kaya seperti dia," ujar Candra dengan mulutnya yang pedas. "Rejeki dia dong, Can. Nggak boleh gitu, siapa pun yang akan merawatmu, bersyukurlah. Berdoa agar mereka selalu menyayangimu seperti anak sendiri, tanpa mengungkit dari mana asal usulmu," nasihat teman Candra yang mana usianya jauh lebih tua. "Iya!" jawab Candra dengan nada ketus. Setelah semua yang dirasa cukup oleh Candra, dia segera kembali menghampiri kedua orang tua barunya. "Sudah siap!" ujarnya. Kemudian kedua orang tua Candra segers mengajaknya untuk pulang ke rumah mereka. "Kami pamit dulu ya, Bu. Lain kali, insyaallah main ke sini lagi," ujar Bu Aliya. "Iya, Bu. Sama-sama, maaf jika ada hal yang kurang mengenakkan," ujar ibu panti dengan lembut. Candra dengan menggendong tasnya berpamitan ke temannya satu-persatu dan kepada ibu panti yang selama ini telah mengurusnya. "Bu, Candra pamit ya," ujarnya. "Iya, Nak. Jaga diri baik-baik, kamu yang sopan. Semoga suka tempat barunya sayang." Ibu panti mengecup kening. "Iya, Bu," jawab Candra, sembari mencium tangan orang yang selama ini sudah mengasuhnya. Lalu, dia menghampiri kedua orang tuanya itu. Mereka pun melangkah menjauh dari area panti asuhan, terlihat Bu Aliya dan Pak Joko membawa barang-barang milik Candra. "Kita jalan ke mana, sih? Kalian nggak bawa kendaran?" tanya Candra yang merasa kesal dan kelelahan. "Tadi sengaja nggak bawa motor, soalnya nanti kalau boncengan bertiga takut sama polisi. Makanya kita ke sana tadi naik angkot, sabar dulu ya Nak," jawab Bu Aliya dengan lembut, meski ucapan Candra kecil selalu pedas. Candra hanya terdengar mendengus. Sesampai di persimpangan jalan besar, mereka juga tak lekas naik angkutan umum, melainkan harus menunggu hingga ada yang lewat. Mereka duduk di bawah pohon sembari menunggu angkutan, Candra yang merasa lapar sontak kembali marah terhadap mereka berdua. "Aku tuh, laper. Beliin makan dulu, dong. Katanya mau jadi orang tua baik buat aku?" ujar Candra. "Pak, Beliin. Kasihan, dia sedari pulang sekolah belum makan," perintah Bu Aliya ke suaminya. Pak Joko tanpa menjawab bergegas berangkat menuju persimpangan jalan, yang mana terdapat warung tegal. Sedangkan Bu Aliya dan Candra tetap menunggu, untuk berjaga-jaga kalau ada mobil angkot. Warung yang terlihat ramai, membuat Pak Joko harus mengantri dulu. Antrian cukup panjang, membuat Pak Joko sedikit memiliki rasa khawatir kepada anak angkatnya itu. Sedangkan Candra yang tak tahu kondisi di dalam warung, hanya mampu mencerca orang tua barunya itu. "Lama banget, sih? Pasti ditinggal mikir perutnya sendiri. Gini kok ingin menjadi orang tua yang baik," cecar Candra. "Sabar ya, Nak. Mungkin di dalam lagi antri," ujar Bu Aliya mencoba menenangkan anaknya. Bu Aliya mencoba tetap bersabar, beliau merasa Candra yang masih kecil sehingga terkadang berkata tanpa memikirkan sakit hati orang lain. Di dalam warung, saat ini sudah gilirannya Pak Joko untuk memesan makanan. "Pak, mau pesan apa?" tanya penjual. "Nasi ramesnya satu, Mbak. Sama lauk pauknya, sayur lodeh beserta tempe tahunya," jawab Pak Joko. "Dibungkus atau mau dimakan di sini?" tanya penjual lagi. "Dibungkus semua ya, Mbak. Tambah ayam gorengnya satu potong saja ya, Mbak," ujar Pak Joko lagi. Penjual segera melayani apa yang dipesan oleh Pak Joko. Dengan cepat, pesanan pun siap. "Ini, Pak," ujar penjual sembari memberikan pesanan Pak Joko. Pak Joko pun menerimanya sembari berkata, "Berapa semuanya?" "Empat puluh tujuh ribu rupiah," jawab penjual (Sengaja pakai uang tahun sekarang ya, biar bisa kita nalar dan mudah mengerti) Rincian makanan tersebut, 'Nasi bungkus Rp. 12.000, sayur lodeh Rp. 10.000, tahu dan tempe goreng Rp. 10.000 dapet sepuluh dan terakhir ayam goreng beserta sambelnya Rp. 15.000.' Pak Joko bergegas membayarnya dengan uang lima puluh ribuan yang ia kantongi. Lalu, segera kembali menghampiri anak dan istrinya. Candra yang terlalu jenuh menunggu, merasa muak dengan kedua orang yang saat ini menjadi orang tuanya. Saat ayahnya mendekat, dia wajahnya terlihat masam "Ini, sayang. Makan dulu," ujar Pak Joko sembari memberikan kantong kresek yang berisi makanan tadi. "Lama banget, lain kali dulukan kepentingan anaknya dong, Pak. Jangan mikir perutnya sendiri," ujar Candra dengan ketus. Pak Joko yang tak mengerti apa maksudnya, seketika menatap ke arah istrinya. "Tadi antri, Pak?" tanya Bu Aliya mencoba menengahi. "Iya, Bu. Ramai banget, mungkin karena waktunya jam makan siang orang-orang kantor istirahat ya, Bu," ujar Pak Joko dengan lembut. Candra pun segera membuka makanan yang disediakan. Dia pun melahap makanannya bak orang yang tak pernah makan. Sedangkan orang tuanya, hanya melihat dia dengan tersenyum sebab merasa ada sumber kebahagiaan di kehidupan rumah tangga mereka. Pak Joko dan Bu Aliya sudah menikah sebelas tahun lamanya. Mereka juga tak kunjung diberikan anak, sebab saat ini Bu Aliya sudah tak memiliki rahim semenjak kejadian sembilan tahun silam. *** Saat itu, pernikahan mereka sudah menginjak dua tahun. Memang di tahun pertama mereka komitmen jangan memiliki anak terlebih dahulu. Dan tepat di tahun kedua, mereka mendapatkan kabar bahagia, kala melakukan periksa kandungan ada benih cinta mereka. Usia kandungan ternyata menginjak dua bulan. Mereka hidup bahagia, meski ekonomi mereka ikut kalangan menengah kebawah. Kebersamaan mereka, komitmen dan hal-hal sepele yang selalu menunjang kebahagiaannya. "Pak, Alhamdulillah. Kita sebentar lagi akan segera diberi momongan, sehat selalu ya, Nak," ujar Bu Aliya sembari mengelus perutnya yang belum kelihatan seperti orang hamil. "Iya, Bu. Maaf, kalau sebelumnya Bapak harus melarang Ibu untuk memiliki keturunan," ujar Pak Joko sembari mengelus kepala Bu Aliya. "Iya, nggak apa-apa, Pak. Ibu tahu, semua demi Ibumu. Sekarang beliau sudah tenang, sudah tak merasakan sakit lagi. Semoga beliau diberikan tempat yang terindah, Pak," ujar Bu Aliya. Komitmen satu tahun tak memiliki keturunan, karena mereka sama-sama berjuang, bekerja keras untuk membawa berobat Almarhum ibunya Pak Joko. Bu Aliya yang terlahir dari keluarga broken home, yang mana bapaknya sudah tak memperdulikan mereka. Namun naas, saat Bu Aliya menginjak usia lima belas tahun, ibunya harus meninggal karena kecelakaan saat berangkat bekerja. Sedangkan Pak Joko memiliki keluarga lengkap. Namun sama seperti itu, Bapaknya meninggal dua tahun sebelum pernikahan mereka. Dan semenjak saat itu, ibunya sering sakit-sakitan yang mana sebelumnya sudah riwayat penyakit jantung dan diabetes. Maka dari itu, Bu Aliya menganggap ibunya Pak Joko seperti ibu kandungnya. Mereka berdua berpikir untuk membawa berobat kemana pun dan berapapun itu demi ibunya itu. Namun naas, Allah berkehendak lain. Mereka yang saat ini tak memiliki siapa pun, harus tetap berjuang demi kehidupannya kelak. Kandungan Bu Aliya bagus, janin juga sehat. Yang mana saat periksa kehamilan empat bulan, mereka terlibat kecelakaan dengan sebuah truk saat menaiki tanjakan. Truk itu oleng dan menyerempet sepeda motor mereka berdua. Saat kecelakaan itu, membuat Bu Aliya mengalami koma selama tiga hari dan mengakibatkan kerusakan pada rahimnya. Anak yang selama ini didambakan harus meninggal saat itu juga. "Suaminya Ibu Aliya," panggil dokter, saat pertama kali menangani paska kecelakaan itu. "Iya, Dok," ujar Pak Joko sembari berdiri menghampiri. "Bu Aliya saat ini mengalami koma dan bukan hanya itu kabar buruk yang harus saya sampaikan," ujar Dokter dengan menggantung. "Apa, Dok? Tolong katakan, berapapun biayanya akan say usahakan," ujar Pak Joko dengan panik. Dokter terlihat canggung mengatakannya. "Bu Aliya mengalami pendarahan hebat dan harus kehilangan janinnya. Bukan hanya itu, benturan keras pada perutnya, mengakibatkan kerusakan pada rahimnya juga. Sehingga dengan berat hati, kami harus melakukan tindakan operasi untuk mengangkatnya," ujar Dokter. Jantung Pak Joko berdegub dengan kencang, membuatnya syok sehingga jatuh tersungkur ke lantai. Beliau tak sadarkan diri saat itu juga. Dokter dan perawat segera melakukan tindakan, Pak Joko yang saat mengalami kecelakaan hanya tergores di bagian pelipis, tangan dan kakinya saja. Saat beliau sadar, tiba-tiba menangis histeris tak menyangka ini semua terjadi kepada mereka. "Istri saya bagaimana, sus?" saat bertanya ke perawat yang saat itu sedang memeriksanya. "Dokter saat ini melakukan tindakan operasi, agar bisa menyelamatkan nyawa istri Bapak. Tadi, dokter juga sudah membantu sebagian administrasi untuk operasi itu," jawab perawat. Ada rasa bahagia, sebab ada orang yang membantunya untuk keselamatan orang yang disayang. Namun, ada juga kesedihan, yang mana operasi itu menandakan akhir dimana istrinya tak akan pernah bisa mengandung lagi. "Saya bisa ke sana, sus?" tanya Pak Joko, meski kondisinya lemah tetapi ingin. "Iya, sebentar, Pak. Biar saya ambilkan kursi roda terlebih dahulu. Pak Joko saat sampai di sana, saat itu juga istrinya sudah selesai di operasi namun masih belum bisa di jenguk dahulu. Dokter pun mencoba menguatkan Pak Joko sebab musibah ini. Istrinya saat sadar pun hanya pasrah dengan cobaan itu, sebab baginya jodoh, maut dan rejeki hanya Allah yang tahu. Mereka menganggap, mungkin belom rejeki mereka memiliki anak. Mulai sejak saat itu, sebab alasan mereka tak memiliki anak hingga saat ini. Walaupun begitu, mereka tetap bahagia meski terasa sepi dengan kehidupannya. *** Maka dari itu, mereka saat ini memutuskan untuk mengadopsi salah satu anak dari panti asuhan. Mereka merasa bahagia, sebab kalau anaknya hidup pun pasti saat ini seusia Candra. "Minumnya mana, Pak?" tanya Candra, yang mulutnya menandakan dia sedang kepedasan. "Astagfirullah, sampai lupa nggak beli. Bentar Ayah belikan dulu," jawab Pak Joko sembari beranjak dari tempat duduknya. Saat itu juga bertepatan dengan mobil angkot datang menghampiri. "Pak, kita naik angkot dulu. Nanti minum di rumah," ujar Bu Aliya. Pak Joko pun mengiyakan, sebab takut jika tak naik sekarang nanti bakal lama lagi dapat kendaraan selanjutnya. Sedangkan Candra, lagi-lagi hanya mementingkan dirinya sendiri malah terlihat jengkel kepada mereka berdua. Dengan ekspresi mulut manyun, dia merasa terpaksa kembali membungkus makanan yang baru seperempatnya di makan. Memang jarak rumah dan panti asuhan dibilang cukup jauh, sehingga mereka juga tak ingin kesorean saat sampai di sana. Candra yang terbiasa tidur siang, dia menyender ke bahu ibunya dan dalam sekejap melayang ke alam mimpi. "Tidur, Nak? Kamu cantik," guman Bu Aliya. "Kasihan, Bu. Bapak sampai lupa nggak belikan minum dia, pasti kepedasan. Semoga dia betah dengan kita, ya," ujar Pak Joko. "Iya, Pak. Mungkin, kalau anak kita hidup, mungkin sudah seusia dia walaupun kita belum tahu apa jenis kelamin anak kita, Pak," ujar Bu Aliya sembari mengelus kepala anaknya. Perjalanan cukup jauh, membuat mereka sedikit kelelahan. Namun, lelah itu tetap mereka coba menahannya, sebab tak ingin anak yang saat ini di depan mata merasa kecewa. Akhirnya mereka pun sampai di persimpangan jalan menuju rumah mereka. "Candra, bangun, Nak. Kita sampai," ujar Bu Aliya dengan lembut. Candra pun membuka matanya dengan perlahan. "Ayo, aku haus banget," ujar Candra sembari nyelonong keluar mobil angkot. "Pak, tolong bayar. Biar Ibu bawa dia pulang dulu," ujar Bu Aliya mencoba mengejar Candra. Candra yang asal jalan, tak menanyakan di mana rumah orang tua barunya. "Candra, sini, Nak. Masuk ke dalam gang sini," teriak Bu Aliya mencoba memberitahu. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN