9.Meet Up Pertama

3213 Kata
Berhasil juga dong aku membawa perawan bening kaya kaca emol untuk pergi makan pertama kali. Bodo amat, dia bilang terpaksa menuruti ajakanku. Jadi berlalulah kami keluar ruangan kerja kakaknya di kantor notaris lalu langkah kami terjeda oleh babeh satpam. “Amankan bang Mamat?” tegur si babeh. Langsung dong istriku waktu itu menoleh menatapku yang memang mengekor langkahnya. “Emang selain ngaku jadi pacar saya, dia buat huru hara apaan pak?” jawabnya mewakiliku. Babeh satpam tertawa sepertiku. “Gak ada non, keburu kejeda ame non Risa. Tapi bapak sempat ngeri pas bang Mamat di giring non Risa ke kantor dalam” jawab babeh satpam. “Gak jelas kak Risa, bukan di usir nih anggota GPK, malah di undang masuk” komennya dan buat aku dan babeh satpam tertawa lagi. Asli deh, selain jutek, istriku itu lucu. Ternyata memang pengaruh keluarganya yang aslinya lucu juga, macam keluargaku kalo sedang kumpul bersama. Hanya, di mana mana orang melawak itu masih sambil tertawa, lah dia, melawak tapi dengan wajah judesnya yang tidak ketulungan. Ya makin lucukan??, kalo jadi seperti tidak sikron. Soalnya mau aku bilang aneh, terkadang dia masih sempat tertawa terbahak atau tertawa lepas juga dengan gurauanku sebelum akhirnya galak dan jutek lagi. “Neng…” rengekku karena dia berlalu begitu saja keluar ruko. “APA SIH!!!, nang neng, nang neng aja. MAU NETE!!!” semprotnya. Ngakak dong akunya. “Nanti aja itu mah, nikah dulu” jawabku menjeda langkahnya. “Trus elo mau apa lagi?” tanyanya sambil tolak pinggang. “Kita mau makan di mana?” tanyaku menjawab karena dia bukan menuju mobilku tapi menjauh dari mobilku. “Serah guekan, kita mau makan di mana?” jawabnya lagi masih saja galak. Aku mengangguk. “Ikutin gue aja bisa gak??” jawabnya pada anggukanku. Aku mengangguk lagi, dan buat dia bergerak lagi. Ternyata menuju warung bakso tidak jauh dari kantor notaris maminya. “Ngapa makan bakso sih Neng, gak nasi aja?. Biar nampol” jadi ngeluh akunya. Aslinya aku laper karena tidak sempat makan siang, kalo mau makan siang, terjeda sholat lalu di panggil bang Andra, lalu langsung ke ruko notaris maminya. “Gampang kalo mau kenyang mah, makan baksonya campur tampolan tangan gue, mau??” jawabnya. Ngakak lagilah aku, aslian lucukan?. Mukanya itu loh, kata katanya lucu tapi wajahnya galak pool. Ujungnya kami duduk berhadapan di meja tukang bakso lalu datang mas pelayannya. Pesanlah apa yang dia mau, dan aku juga sambil terus mengawasi gerak geriknya. Aslian deh bening banget. Gak salah salah emak bilang istriku bening macam kaca emol. Dari leher aja udah mulus banget dan putih bersih kemerahan, karena dia mengikat tinggi rambutnya. Wajahnya jangan di tanya. Polos tanpa make up sekalipun, beneran mulus tanpa cela. Kalo lihat pahanya apalaginya, karena lagi lagi pakai celana pendek dan kaos ketat, khas dadanan anak anak rumahan keluarga berada. Soalnya keponakanku dan adik bang Andra dandannya gitu kalo di rumah. Celana pendek dan kaos aja keceh. Lalu aku berusaha membangun percakapan setelah yakin kalo sekeliling kami cukup tenang, jadi neng keceh aja kali ya, karena dulukan belum jadi istriku. Di awal dia masih jutek tapi lalu tertawa juga karena candaanku. “Elo gak pakai kecap?” tanyanya karena aku menuang sambal banyak sekali pada bakso bagianku begitu bakso pesanan kami datang. Aku langsung menggeleng. Lidah orang Betawi rata rata suka asin, pedas dan gurih. Dan cenderung tidak suka makanan manis, kecuali makanan yang sejak awal memang di buat manis, macam semur, pindang, atau kue kue basah yang rasanya manis. Sisanya lebih suka yang cenderung asin, pedas dan gurih. “Takut item, kan eneng putih banget, nanti kita kaya TV zaman dulu, yang channelnya TVRI doang, terus nontonnya di pos RW lagi” jawabku semakin berani bercanda. Lalu dia terbahak menanggapi. Di hari depan memang selera makanan kami sama. Mungkin karena sudah lama tinggal di Jakarta juga jadi masakan istriku hampir mirip masakan emak yang betawi banget, tapi dengan versi yang lebih kekinian. Pinter masak istriku, jangan salah. Masak apa aja enak, hasil betah di rumah semasa gadis dan suka membantu maminya masak. Masak itu gak hanya butuh belajar, tapi butuh jam terbang dengan sering masak, jadi indar pengecap punya kepekaan tinggi untuk menghasilkan cita rasa masakan supaya hasil masakannya bisa di nikmati semua orang. Orang bisa masak banyak, tapi ada cita rasanya gak??. Jangan hanya kelihatan enak dari sisi tampilan masakan aja, tapi rasanya tidak punya cita rasa. Itu yang di sebut orang, masakannya sedap, karena ada cita rasanya. Lihat deh seorang chef, kalo lihat cara masaknya kelihatan sat set, tapi kenapa enak??. Ya karena ada cita rasanya, atau bahasa kerennya, TASTE. Kalo orang kebanyakan sering bilang, beda orang yang masak, pasti beda rasa. “Lah eneng juga sama kaya abang, gak pakai kecap, sambal doang banyak banyak” tegurku membalasnya sebelum dia mulai makan. “Gue niat makan bakso bukan makan kolak, emang bulan puasa” jawabnya. Terbahaklah aku dan dia cengar cengir. Lucukan??, jadi jangan bilang aku doang yang somplak, dia juga sama kok, makanya pada akhirnya kami cocok. “Ngapa mesti pakai bahasa abang sih?, emang umur elo berapa?” tanyanya juga akhirnya setelah kami mulai makan lalu aku jelaskan. Sebenarnya untuk melatih kesopanan aja sih. Di adat betawi itu, mau kenalan atau tidak, ya panggilnya abang, persis orang suka Jawa, yang panggil mas, atau orang suku sunda yang panggil Aa atau akang. Aku aja panggil Eneng terus, sebagai bahasa sapaan pengganti elo. Sekalipun aku sudah menebak dengan yakin, kalo umurnya saat itu memang tidak lebih tua dari aku. Tapi memang sudah kelihatan dewasanya kok. Jelas ada perbedaan wajah gadis berumur belasan dengan gadis yang sudah lewat umur 25 tahun. Lalu dia juga tanya umurku, itu pun dengan mode bercanda. Lupa aku seperti apa percakapan kami. Pokoknya bercanda terus akunya. Tapi bagian aku mengajaknya nikah, itu serius. Gak tau ya, entah karena aku memang sudah jatuh cinta, apa gimana. Pokoknya langsung sreg aja gitu, dan tentunya suka sekali. “Ya cari aja yang lain, jangan gue. Yang mau sama elo, terutama. Kan gue gak mau sama elo” jawabnya selalu kalo aku bicara soal pernikahan Aku tentu langsung menggeleng. “Tapi abang maunya sama eneng. Lakikan bisa milih Neng, perempuan gak, walaupun cantik kaya gimana juga” jawabku dan ini kenyataankan??. Tapi karena dia jadi diam, jadi aku butuh menjelaskan. Sekarang perempuan cantik sekalipun, pasti tunggu di pilih kok oleh lelaki. Kalo perempuan bisa milih, gak akan mungkin ada perempuan penggoda atau perempuan tidak benar. Ngapain mereka begitu, kalo bisa memilih lelaki yang mereka mau, tentu lelaki yang kriterianya di inginkan banyak perempuan, yang ganteng dan kaya raya. Ujungnya kadang tidak perduli itu lelaki sudah jadi suami orang atau sudah jadi milik perempuan lain. Lalu kalo perempuan bisa memilih, gak mungkin ada persaingan yang ketat banget antara perempuan yang satu dengan yang lain untuk dapat di pilih lelaki, sampai apa pun mereka lakukan untuk membuat diri mereka cantik dan menarik. Dari mulai sulam alis, pasang bulu mata palsu, tanam benang di wajah, botox sampai operasi bedah plastic pun di lakukan yang pastinya sakit. Demi apa coba??. Tentu tidak dengan tujuan hanya terlihat cantik di mata sesama perempuan yang akhirnya buat perempuan lain insecure, tapi tentu untuk membuat mata lelaki tertuju juga padanya. Lalu berujung dengan perempuan yang berharap di kejar banyak lelaki, tanpa pernah berpikir kalo di kejar doang buat apa?. Perempuan kadang tidak berpikir, kalo terlalu banyak lelaki yang kejar juga, bukan lagi karena memang sayang dan cinta, tapi lebih ke untuk memuaskan ego lelaki yang pastinya ingin juga merasa menang dari lelaki lain yang jadi saingannya saat mengejar si perempuan. Makanya jangan heran, kalo akhirnya mereka jadi bersama sama sebagai pasangan, lalu di abaikan begitu saja layaknya piala kemenangan yang berakhir jadi pajangan saja. Jadi jangan heran lagi, kalo banyak perempuan yang punya suami kaya raya, lalu hidupnya tidak bahagia. Lah wong hanya seperti throphy kemenangan suaminya atas diri lelaki lain kok. Makanya jadi perempuan, apa adanya aja. Jadi versi terbaik diri sebagai perempuan ya memang harus, tapi tidak segitunya sampai bersedia melakukan hal untuk mempercantik diri dan menimbulkan rasa sakit, untuk bisa jadi cantik pasti harus gitukan??. Kalo gak sakit, mana mungkin butuh anastesi saat melakukan sulam alis, sulam bibir, pasang benang, sampai botox. Belum kalo berniat operasi bedah kecantikkan. Pasti wajah bengkak bengkak terus pemulihannya lama sekali. Belum resikonya juga. Pada dasarnya semua perempuan cantik kok. Dan jangan bilang aku basa basi atau ngomong doang. Memang semua perempuan cantik, dan kalo lelaki itu ganteng. Hanya setiap perempuan akan jadi cantik sekalipun tidak memenuhi standart kecantikan perempuan yang di akui banyak orang, tergantung lelaki mana yang menghargai segala kekurangan dan kelebihannya, dan lelaki mana yang menghormati keberadaaannya. Lihat aja pasangan bule keceh dengan perempuan indo yang menurut banyak orang berpenampilan tidak menarik, yang mungkin saja berkulit hitam, pendek, pipi chubby, berambut ikal atau keriting, tapi kalo suami bulenya yang keceh suka, atau sayang sampai di jadikan istri, perempuan yang cantiknya paripurna bisa apa??. Tibang bisa julid atau malah iri. Gimana gak julid atau iri, kalo si perempuan yang gak keceh tadi, kemana aja di kawal suami kecehnya, bule lagi. Di peluk peluk, sampai sesekali di cium di depan umum, seakan tuh perempuan bidadari. Kenapa jadi kemana mana ya. Kalo aku akhirnya suka dan jatuh cinta pada istriku, yang ternyata keceh dan bening macam kaca emol, semata mata bukan karena itu juga. Soalnya sebelum aku bertemu dia, emak sudah berusaha mengenalkanku pada banyak gadis yang bahkan lebih cantik atau keceh dari istriku. Akunya malah tidak sreg, jadi kalo aku suka dan sreg pada istriku, ya karena feeling aja kali ya, kalo dia memang sosok yang aku butuhkan dan cari sesuai kriteriaku. Dan kenyataan lain istriku, dia itu apa adanya juga kok. Tidak ada yang dia rubah untuk jadi cantik versi kebanyakan orang. Dia malah menonjolkan sikap jutek dan galaknya terus padaku. Sebenarnya termasuk kekurangan perempuankan??, di mana rata rata lelaki suka perempuan ramah dan menggoda mungkin ya??. Sayangnya aku bukan suka tipe yang seperti itu, jadi cocoknya ya sama istriku yang jutek dan galak. Mungkin karena alasan itu juga, Tuhan akhirnya buat kami berjodoh. “Emang menurut elo, gue benar jadi perempuan, kan elo gak kenal gue?” cecarnya setelah aku jelaskan maksud perkataanku sebelumnya. “Iya sih, tapi abang percaya cerita pak OB lagi. Katanya eneng demen diam di rumah nemanin orang tua eneng. Abang suka perempuan begitu” jawabku apa adanya. Lalu dia mengerutkan dahinya menatapku. “Alasannya?” tanyanya lagi. “Berarti eneng tipe yang sayang orang tua. Itu penting banget buat abang Neng” jawabku lagi lagi apa adanya. “Kalo sayang orang tua doang, tapi gak sayang elo gimana?” tanyanya lagi dan masuk akal. Iya dong, karena ngapain di nikahin, kalo gak sayang aku, dan hanya sayang orang tuaku?. “Gak apa, perempuan memang harus ada di posisi di cintai, dan jangan di posisi mencintai. Biar terasa buat laki berjuang dapatin hati eneng. Kalo eneng di posisi yang mencintai, abang malah kasihan, nanti malah eneng yang sibuk berjuang buat dapat cinta laki yang eneng suka. Iya kalo lakinya balas, kalo gak balas, kan eneng jadi sakit hati” jawabku sampai memutuskan begitu mengingat banyak perempuan juga yang lebih suka ada di posisi mencintai, yang berujung buat sakit hati. Kasihan menurutku, mengingat perempuan lebih suka main perasaan daripada logika. Kalo aku lelaki, mau perempuan yang aku pilih suka atau tidak, sepanjang dia memenuhi harapanku yang berharap punya pasangan yang sayang orang tuaku dan aku suka, ya sudah. Lagian aku berkaca dari kelakuan dan sifat mpoku. Diakan sayang sekali pada orang tua, ya pasti penyayang juga pada yang lain. Main logika aja, kalo sama orang tua aja gak sayang, gimana bisa sayang orang lain??. Pasti cenderung selfies dan hanya sayang dirinya aja. Lagian aku pikir gampanglah naklukin hati perempuan seperti yang emak bilang. Jadi lelaki cukup perhatian dan tanggung jawab sama perempuan dan gak neko neko, pasti perempuan akan jatuh kasihan lalu berujung sayang. “Jadi gak apa eneng gak cinta abang, abang aja yang cinta eneng. Tapi sayang sama orang tua abang ya?” kataku padanya waktu itu. Sampai dia lebih menatapku lagi. Sampai aku ngeri dia tidak terima perkataanku dan mesti aku jelaskan. Takutnya dia berpikir aku nikahi hanya untuk mengurus orang tuaku. “Abang serius. Abang anak tengah sih, tapi anak lelaki paling gede, ade abang bontot laki juga. Kakak abang perempuan dan udah nikah. Itu yang buat mpo abang gak bisa lagi di tuntun untuk jagain orang tua kita, karena harus tunduk sama perintah suaminya. Kan kalo udah nikah, perempuan keluar rumah aja mesti izin, gak bisa sembarangan. Termasuk nengok orang tua. Dan orang tua abang gak mungkin juga tinggal sama mpo. Gimana pun, yang cari nafkah, laki mpo abang, bukan mpo abang, jadi kalo mau kasih atau bantu orang tua, ya mesti izin juga. Beda sama abang Neng, tanggung jawab abang sama emak sama babeh, sepanjang mereka hidup. Jadi abang mesti cari calon istri yang sayang sama orang tua abang, jadi gak akan protes kalo abang tetap bantu orang tua abang, sampai harus ikutan ngurus orang tua abang. Eneng yang abang pikir cocok, karena eneng sayang orang tua eneng” jelasku lagi. “Berati sebenarnya elo gak suka sama guekan?” tanyanya mematahkan penjelasanku. Ya aku jadi tertawa. “Kalo gak suka kenapa abang sampai nekat ngaku pacar eneng sama mpo eneng tadi” jawabku dan benar dong?. Malah dia cemberut. Lucu ya, laki jujur malah kesal. Emang perempuan sukanya di bohongin atau di baperin doang. “Somplak sih lo jadi laki” omelnya. Jadi terbahak akunya. Dan itu kata somplak pertama yang di ucapkan istriku, seterusnya bilang somplak terus. Padahal aku jelaskan kalo aku sudah berguru dari bang Andra yang sukses menaklukan perempuan jutek dan galak macam mpoku. “Jadi perempuan itu memang lebih cocok sejudes eneng, jadi punya harga diri” akhirnya aku bicara begitu. Dan sepertinya dia setuju, kalo langsung menegakkan bahunya. Tertawa lagi dong aku. Lalu obrolan kami mengalir dengan di selingi bercandaan. Hanya aku tertawa terus, dia bertahan galak dan jutek terus, padahal lucu sekali obrolan kami. Kok ya bisa tetap konsisten jutek dan galak??. Sampai kelakuan lelaki bersuku betawi yang suka nikah lagi atau poligami di bahas juga. Pinterkan istriku tuh, gak langsung iya aja. Tapi beneran aku di keletek banget. “Masa?, belum aja lihat yang jidatnya bening” ejeknya setelah aku sanggah perkataannya kalo tidak semua lelaki bersuku betawi suka poligami. Aku tertawa. “Jidat bening, emang tuh jidat di kacain?” gurauku Tapi dia jadi tertawa dan aku senyam senyum menatapnya. Dan beneran seperti menguji pemikiranku tentang sesuatu. Dan aku semakin suka, karena jadi berdaging obrolan kami, kalo tidak hanya berputar di latar belakang keluargaku yang punya babeh juragan kontrakan. Jadi bosan akunya kalo itu aja pokok pembicaraan kami kalo tidak buat cakrawala berpikirku seperti di situ situ aja. Lagian orang pacaran atau suami istri sekalipun, tidak hanya akan mesra mesraan ajakan??. Masa iya ciuman terus atau mesra mesraan terus?. Pasti ada ngobrolnya juga. Sharing tentang banyak hal dan buat soal perasaan doang. Baru hubungannya bisa di sebut berbobot kalo bahasannya banyak dan tidak terbatas. “Dih, gue gak ya” sanggahnya saat berujung dengan soal perempuan matre. Aku jadi tertawa. Ya aku juga tau dia tidak matre. “Tau, makanya abang demen sama eneng, di ajak makan aja, maunya makan bakso yang murah meriah, kenyang, bukan minta makan di mall. Padahal mall dekat sini, jaraknya kesandung doang udah sampe” balasnya. Lalu dia tertawa lagi. Sampai berujung dengan bahas pekerjaanku. Kalo dia mah gak usah di tanya, kalo aku sudah tau kalo dia pengangguran. Dan malah bagus. Jadi gak ribet kalo udah jadi istriku, langsung total bisa jadi ibu rumah tangga dan duduk manis di rumah. “Arsitek Neng, alhamdulilah” jawabku. “Serius?” tanyanya seperti tidak percaya. Aku mengangguk. “Gak guna juga abang bohong, akan ketahuan kalo nanti Neng jadi bini abang. Lagian apa yang kita dapat dari bohong, selain celaka, karena harus trus bohong untuk nutupin kebohongan sebelumnya” jawabku. Lalu dia diam. “Jadi maukan eneng jadi bini abang?” tanyaku menjeda diamnya. Dia lalu tertawa lagi. “Beneran ngebet nih bujang somplak” komennya dengan kata somplak kedua. “Abis enengnya juga nafsuin, jadi abang tegang” gurauku lagi. Pasti melototlah ke arahku, kan perawan ting ting. Ngapain aja pertama kali sama aku kok. Menang banyakkan aku?. Jadi gak rugi dong usaha segitunya untuk dapatkan dia jadi istri. Beneran gress masih plastikan macam barang baru, yang mungkin hanya berani di lihat orang, tapi di sentuh, orang gak akan berani, seingin apa pun tuh orang pegang. Yakan barang mahal, takut buat rusaklah, terus di suruh ganti. Iya kalo bisa ganti, kalo gak??, kelar hidup tuh orang. “Canda Neng, serius aja kaya guru Kimia sekolah yang mukanya kusut mulu, gara gara hafalin table unsur” gurauku lagi dan aku sesali kalo lalu dia kesal dan bangkit berdiri. “Sana bayar, gue mau pulang” omelnya galak lagi. Ampun dah neng…. “Astaga…judesnya udah taraf jutek, kalah dan mpo” keluhku lalu menyusulnya. “Mas yang bayar sama dia tuh!!, anak juragan kontrakan, mahalin mas, biar dia beramal” katanya pada mas yang duduk di meja kasir. Aku tertawa seperti masnya, lalu aku panik karena dia meninggalkanku, sampai aku buru buru bayar makanan kami. “Neng yaelah, cepat amat jalannya, kaya mau ambil gaji” kataku setelah berhasil menyusulnya. “Gue mau pulang, udan mau magrib. Sana pulang, trus usoli, atau kalo perlu tikung gue di sepertiga malam, supaya jadi jodoh elo” jawabnya dan buat aku tertawa lagi. Solehah istriku, walaupun dulu masih pakai celana dede gemes dan kaos ketat. Masih ingat usoli. “Kalo eneng yang kasih restu, buat abang sholat malam, baiklah. Kun Fayakun. Allah pastu restuin juga” kataku menanggapi. Memang senyum menanggapi kata kataku, tapi kok malah menuju motor maticnya, kan aku niat antar dia pulang. Gak enak aku, apa kata orang tuanya, kalo mungkin saja kakaknya mengadu soal aku. Masa iya aku ajak makan atau menghabiskan waktu denganku, lalu aku biarkan pulang sendiri, sekalipun dia belum jadi siapa siapa aku. “Neng, abang antar, udah mau magrib, nanti di culik wewe gombel, repot abang kalo eneng di kasih makan cacing” cegahku mencekal tangannya. “Dih, sana pulang masing masing” omelnya berusaha berontak. “Abang tapinya mau ketemu orang tua eneng. Ayo tinggal aja motornya di sini, biar pak OB berisin, ayo eneng ikut abang!!” kataku sampai bersikeras. “LEPAS!!, gak mau pulang sama elo” omelnya malah panik. “Gak neng” jawabku berusaha bersabar supaya dia menurut. “RISDA!!” suara jeritan. Kami kompak menoleh, lalu kami temukanlah, wajah sangar lelaki bertato yang buat aku jadi ngeri juga. Namanya gak kenal. Padahal aku pikir sekarang, mana ada ya preman yang bawa bawa anak, sekalipun wajah anaknya sama sangarnya seperti babehnya. Seperti aku bilang sebelumnya. Tapi besok lagi ya ceritanya soal abang abangan istriku yang mental preman abis, karena aku jadi harus menemuinya secara personal juga esok harinya. Untuk apa lagi, untuk di wawancara lagi tentunya. Tapi akhirnya aku tau, kalo dia bukan lelaki sembarangan, kalo akhirnya aku tau, kalo dia pemimpin jaringan Queen’s Hotel yang terkenal sebagai hotel bintang 5. Benar orang lagi ya, jangan menilai orang dari cover luar. Tampang boleh preman, tapi ternyata punya kwalitas yang gak kaleng kaleng, kalo semua pekerja di hotel itu terlihat respect sekali dengan keberadaannya yang bertampang sangar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN