Dulu dulu, sebelum aku ceritakan lebih lanjut usahaku untuk mendapatkan perawan keceh untuk jadi istriku sekarang, aku mesti skip dulu, karena orang tuaku semakin dekat untuk pulang ke tanah air setelah selesai menunaikan ibadah haji. Mendadak sibuk dong semua orang karena harus mempersiapkan kepulangan emak dan babeh dari Mekkah. Di mulai dari mpoku yang memastikan benar urusan makanan aman, karena pasti banyak orang yang datang di acara selamatan kepulangan emak dan babeh dari Mekkah. Di panggillah aku ke ruangan kerja abangku karena memang mpoku khusus datang untuk bertemu aku, sekalian datang menemui suaminya. Iwan adikku juga di panggil oleh mpo.
“Ini seriusan mau masak masak aja, gak catering aja, Mat?” tanya mpo yang pastinya sudah dapat laporan dari istriku.
Aku mengangguk.
“Emang ngapa mpo, kalo emang pada mau masak masak aja buat besek?, sama makan buat saudara saudara” kata Iwan yang menjawab.
“Gue takut bini elo berdua cape” jawab mpo.
“Pada maunya gitu, seru kali. Lagian kalo catering takut gak cukup. Elo kaya gak tau aja mpo, kalo ada orang ramean, mau sedakahan apa acara hajatan pasti ada aja orang yang rajin angkutin makanan dari dapur ke rumah” kata Iwan lagi.
Mpoku tertawa, karena tau soal tradisi ini. Mau larang atau cegah ya susah juga. Udah bagus banyak orang yang bersedia membantu masak masak untuk konsumsi banyak orang. Mau cegah juga ya sudah, karena mana mungkin focus dan konsen yang punya acara atau hajat pasti pada tamu yang datang. Jadi ya sudahlah, biar saja, tibang makanan doang, kalo memang masih ada dan cukup, ya gak apa juga kalo ada orang yang bantu bantu masak, lalu bawa pulang ke rumah lauk yang sudah matang. Soalnya kadang seharian juga mereka membantu, sekalipun ada grup ibu ibu tukang masak yang pasti di sewa.
“Okey, tapi emang elo berdua gak berat tanggung semua biayanya?” tanya mpo lagi padaku dan Iwan.
“Anak laki mpo, masa elo mulu yang keluar duit. Terus gue sama Iwan nanti makin keenakan. Elo kan udah beli oleh oleh khas orang naik haji di Tenabang. Belum lagi elo beli baju seragam juga buat kita semua. Udahlah cukup mpo” aku yang jawab dan di angguki Iwan.
Mpoku langsung menatap suaminya yang santai duduk menemani kami. Jadi mantu tertua dan paling banyak uang, buat abang iparku selalu menyerahkan segala urusan yang terkait keluarga kami pada mpoku. Kalo dia merasa perlu bicara, baru dia bicara, kalo tidak perlu ya sudah, dia diam menyimak.
“Gimana, Yang?” tanya mpoku pada suaminya.
“Ya sudah, hargai keinginan adik adikmu. Kalo mereka butuh bantuan, apa pun, yakan pasti kamu bantu juga” jawab suaminya.
“Makasih nih bang sebelumnya. Udah cukuplah abang sama mpo bantuin emak sama babeh terus, gantian gue sama bang Mamat dah sekarang. Ada kok duitnya, walaupun gak sebanyak elo yang big boss terus punya pohon duit di bank” kata Iwan.
Tertawalah abang iparku berdua mpoku.
“Ya udah, kalo itu mau elo berdua, tapi jangan terus baper, kalo gue sama laki gue juga anak anak gue, datangnya pas hari H. Anak anak gue udah bujang sama perawan, pasti ogah di ajak nginep di rumah emak sama babeh, kaya waktu mereka kecil” kata mpoku lagi.
“Selow” jawabku dan Iwan.
Memang tidak mungkin memaksa, namanya sudah punya anak perawan dan bujang, tentu akan mulai menolak ikut emak dan babehnya kemana mana, karena sudah punya urusan masing masing. Ben yang baru SD aja sudah mulai tidak mau kalo di ajak maminya pergi kondangan. Alasannya sudah besar dan ganti adiknya yang ikut maminya.
Lalu mulailah kesibukan kami tepat dua hari sebelum orang tua kami datang. Di mulai dari urusan emak emak tentunya, yang di ketuai istriku di bantu Neneng istri Iwan.
“Ayo apa bang pasang trepal buat ibu ibu masak!!. Sama bale babeh di pindah dulu dah ke tempat buat masak, biar cepat aku gerakin ibu ibu yang bakalan siangin sayuran sama ayam, juga ikan, bang” rengek istriku padaku yang baru bersantai setelah makan malam selesai.
Aku dan Iwan memang kompak mengambil cuti kerja selama 3 hari untuk mengurus dan mengatur kepulangan emak dan babeh.
“Iya mih, besok pagi juga bisa” jawabku karena terkendala Riri putriku yang masih nempel terus padaku.
“Ogah, mesti nih malam. Besok aku sibuk nerima peralatan masak sama pesta dari tukang tenda, belum abang yang mesti awasin sama temenin tukang masang tenda” tolaknya.
Hadeh…Tapi ya ada benarnya juga.
“Sama mami dulu, boto. Babeh pasang trepal dulu” kataku pada Riri yang masih menye menye tiduran di sofa dan berbantal pahaku.
“Ogah, mau ikut ebeh” jawabnya sudah lepas.
“Makanya jangan bikin Riri lulut beud sama abang, jadi susah gerakkan abangnya” omel istriku.
Tertawalah aku, lengket dan dekat denganku juga kenapa?, kan putriku.
“Beh, besok aku gak sekolahkan?” tanya Ben menjeda.
“Sekolahlah, emang kenapa libur?” jawab mamihnya.
“Yakan mau bantu babeh jaga kawasan” jawab Ben.
Sontak aku dan maminya tertawa.
“Buseng, ngapa kecil kecil udah ngerti beud kawasan” komen maminya.
“Lah, mih. Dimana mana kalo ada acara apa apa, pasti ada orang yang jago silat. Itu lagi jaga kawasan” sanggah Ben.
“Astaga….ngapa anak kita niat banget jadi centeng kecil kecil?” komen istriku setelah tertawa lagi.
Aku pun tertawa. Memang di mana mana terutama di acara hajatan di kampunganku, selalu terlihat orang orang berpakaian silat. Sudah budaya dan tradisi, dan bukan semata mata untuk menjaga kawasan seperti Ben bilang juga.
“Kamu besok tetap sekolah. Pas engkong sama nyai pulang aja, baru izin, kan mau ikut ebeh ke jemputkan?” jawabku.
“Yah…masa iya besok andelin Atta sama M’rin doang buat jaga kawasan sih beh?. Masih bocah kecit Ata tuh, trus M’brin masih anak bawang. Belum sejago aku silat mereka” keluh Ben.
“Gak ada tawar menawar, karena mami setuju sama babeh soal kamu besok harus tetap sekolah” jawab maminya.
Dan karena Ben sebenarnya anak penurut, jadi dia mengangguk juga., lalu melanjutkan pelajarannya. Dia memang selalu mengerjakan PR di malam hari, atau apa pun tugas sekolahnya. Kalo siang sudah sibuk mengaji dan menjaga adik adiknya main sepulang mengaji dan menemani babehku kalo babehku ada di rumah.
“Ikut ebeh….” rengek Riri melihatku bangkit berdiri.
Dan terpaksalah aku gendong untuk menuruti keinginan istriku untuk memasang trepal di depan kontrakan milikku sebagai dapur tempat masak untuk besek atau nasi kotak setelah selamatan dan makanan untuk keluarga kami.
“Ayo bangun kamunya, tapi jangan lari larian lagi ya” kataku pada Riri yang langsung bangkit berdiri di atas sofa lalu melompat ke gendonganku.
Sudah panjang kakinya, tapi karena selalu aku manjakan, terkadang masih harus di gendong gendong seperti ini.
“Ayo ebeh” rengeknya setelah aku berhasil gendong.
Aku mengangguk.
“Nanti bikini kopi Neng, kalo pada bantuin abang pasang trepal” pintaku pada istriku.
“Iya, udah buruan, keburu malam, bang” jawabnya.
Ujungnya tidak hanya Riri yang jadi lari larian dengan bocah anak penghuni kontrakanku, dan juga dua sepupu lelakinya, anak anak Iwan. Memang selalu jadi ramai kalo ada yang berniat melakukan sebuah hajatan. Enaknya tinggal di perkampungan ya seperti ini. Semua orang seperti merasa perlu untuk ikut turun tangan membantu, ya walaupun aku harus bersedia juga keluar uang untuk membeli rokok dan istriku membuatkan kopi. Tapi semua happy kok, istriku aja happy karena setelah membuatkan kopi, di asyik juga ngobrol dengan ibu ibu yang besok akan membantunya dan sebagain besar emak emak penghuni kontrakan kami sendiri. Gitu gitu, istriku termasuk di kenal sebagai ibu pemilik kontrakan yang baik hati. Soalnya sabar sekali menghadapi penghuni kontrakan yang telat membayar kontrakan, atau minta waktu dulu sampai punya uang. Aku juga tidak ambil pusing selama tidak ada laporan kerusakan atau apa gitu yang mengharuskan aku turun tangan.
Pernah ada yang nunggak sampai berbulan bulan sampai akhirnya menyerah untuk bertahan ngontrak karena suaminya terjerat pelakor lalu tidak pulang pulang, malah istriku beri uang dan sewakan mobil untuk membawa barang barangnya pulang kampung. Lalu ada yang suaminya di PHK dari pekerjaannya, malah dia jadikan tukang ojek Ben pulang sekolah, karena jadi beralih jadi tukang ojek online.
“Kasihanan bang…” selalu bilang gitu.
Tapi tidak lalu buat istriku suka bergibah dengan emak emak kontrakan. Dia terlalu sibuk mengurus Ben dan Riri juga mengurus rumah, jadi sekalipun pintu samping rumah kami selalu terbuka, ya tidak ada waktu untuknya sekedar duduk ngobrol dengan emak emak tadi. Kalo selesai aku jalan kerja, dia antar Riri sekolah dan dia tunggui sampai pulang di temani Atta putra adikku yang besar. Lalu pulang ke rumah langsung sibuk masak dengan Riri yang main di temani kedua ponakanku. Rapi masak dan makan dengan trio bocah, lalu dia tidur siang dengan Riri dan Ben yang pulang sekolah. Sorenya mengantar anak anak mengaji dekat rumah bersama istri Iwan, lalu berkumpul di rumah babeh dan emak sampai magrib datang dan aku pulang kerja. Ben yang kadang gantian di rumah orang tuaku menemani babeh dan emak, juga anak anak Iwan. Setelah Isya dengan babeh, baru Ben pulang untuk ikut makan malam denganku dan maminya. Jad termasuk padat jadwal istriku setiap harinya. Andai dia tidak sempat tidur siang karena ada acara kondangan, pasti setelah selesai makan malam sudah melehoy begitu juga anak anak yang ikutan tidak tidur siang
Untuk itu aku selalu melarangnya masak dan menemani anak anak kala weekend datang, kasihan karena setiap hari sudah cape. Dan aku selalu turuti kemauannya kemana pun kalo weekend tiba. Tidak masak jugakan di rumah, jadi kami bisa makan di luar bersama anak anak, atau ke rumah orang tuanya. Atau bertemu temannya, karena dia memang hanya punya satu sahabat karib semenjak SMP, Gladis namanya, putri seorang konglomerat yang sudah jadi ibu tiga anak. Aku jadi ikutan akrab dengan suaminya, dan anak anak kami juga jadi akrab, walaupun pada anak Gladis yang bungsu karena seumuran Ben. Kalo dua anaknya yang lain lelaki, sudah remaja, jadi tidak lagi mau ikutan mamanya, kalo sudah SMP dan SMA. Gladis itu menikah muda, jadi wajar kalo anaknya sudah besar besar.
Selesai urusan trepal untuk lokasi masak masak, dan membuat kami semua jadi tidur larut malam, besoknya di sibukkan dengan urusan tenda dan alat makan dan alat masak yang ikutan di sewa. Sibuklah istriku mengurus bagian dapur dan peralatan masak di bantu Neneng. Itu yang membuat emak dan mpoku akhirnya merasa terbantu kalo ada acara di rumah babeh dan emak yang juga rumah Iwan. Soalnya emak punya duet mantu yang bisa di andalkan. Mpoku juga girang karena dia tidak perlu khawatir emak kerepotan urus ini itu sendirian.Istriku dan istri Iwan termasuk yang cepat belajar dan beradaptasi dengan kebiasaan dan adat di perkampungan kami. Buat aku dan Iwan terbantu juga jadinya. Yang buat ribet ya siapa lagi kalo bukan bocah bocah kecit yang jadi anak Iwan. Ampun dah, ribet banget dan sok penting sekali. Riri malah anteng dengan mami dan cing Nenengnya mengurus urusan cewek cewek, karena terpaksa izin sekolah kalo maminya sibuk.
“Cang Mamat!!!” suara Atta menjeda fokusku mengawasi pemasangan tenda, karena Iwan sibuk angkut angkut minuman kemasan gelasan dan belanjaan dari warung sembako dekat rumah untuk kebutuhan masak masak, juga jadi tukang wara wiri kesana kemari menuruti perintah istriku atau Neneng istrinya.
Menolehlah aku lalu menemukan dua bocah berpakaian silat warna merah untuk Atta, dan Hijau untuk M’rin adiknya.
“Ngapa?” tanyaku.
“Amankan cang?. Bang Ben nanti tunggu laporan aku” kata Atta sok tua sekali.
Aku jadi tertawa melihat gayanya yang petantang petenteng, padahal apa aja takut. LIhat kecoa terbang takut, lihat tikus lewat jerit jerit, ampun banget nih bocah kecit. Sekarang di hadapanku dengan gaya sok jagoan dengan golok kayu di pinggangnya yang miring, dia sudah sok mengawasi sekeliling kami dengan mode serius.
“Aman…Ta” jawabku.
“Okey” jawabnya masih sok tua.
M’rin malah sudah garuk garuk karena sebenarnya bahan baju untuk silat itu buat gerah. Ikut ikutan abangnya aja dan Ben juga, jadi dia minta di belikan baju silat juga pada babehnya.
“Ngapa?” tanyaku sampai jongkok di depan M’rin.
“Gelah cang. Teyus cape…sama abang di ajak ngider” jawabnya lucu.
Tertawalah aku lalu membuka songko hitam yang dia pakai sebagai pelengkap baju silat yang dia pakai lalu aku usap rambutnya yang basah oleh keringat.
“Payah” ejek Atta.
Lalu cemberutlah M’rin. Aku yang tertawa lagi.
“Mau encang gendong?” tanyaku pada M’rin mumpung Riri bisa lepas dariku dulu.
Langsung mengangguk dong satu bocah kecit. Jadi aku langsung gendong.
“Jiah…jadi aku tugas sendiri dong cang Mamat?” tanya Atta tanpa perlu merasa iri.
Lagi lagi aku tertawa.
“Katanya jagoan, emang ngapa tugas sendiri” jawabku.
“Okeylah, nanti juga ada bang Ben” jawabnya.
Lagi lagi aku tertawa.
“Sana bantuin encang minta buatin kopi buat orang tenda ke mama kamu atau cang Ida” perintahku.
“SIAP!!!” jawabnya girang lalu secepat kilat berlari masuk bagian dalam rumah untuk menuruti perintahku.
Bahkan bocah sebesar ATTA yang belum berumur 5 tahun, sudah mengerti gimana caranya membantu. Jadi aku biarkan dia melakukan apa yang mau dia lakukan. Babeh bilang, kalo anak berniat melakukan sesuatu untuk membantu orang tuanya, jangan di larang. Biar dia melakukannya, walaupun berujung tetap orang tua yang menyelesaikan urusannya, karena anak kecil sebenarnya belum ngerti melakukan hal yang benar dan sempurna, tapi tetap harus di hargai.
“Pinter Atta” pujiku karena Atta berhasil melakukan perintahku untuk membuatkan kopi untuk petugas tenda.
“Apalagi cang?” tanyanya dan aku bertahan menggendong M’rin.
Memang sudah seperti terkonsep sendiri. Kalo aku yang akan menggantikan babeh sebagai kepala keluarga Rachiem kalo babeh tidak ada atau tidak sempat. Dan Iwan bagian wara wiri.
“Mintain makanannya juga buat teman ngopi” perintahku dan masih bertahan menggendong M’rin yang ribut cape.
“SIAP” jawab Atta dengan semangatnya membantu.
Lagi lagi aku tertawa, sampai terjeda oleh kedatangan seorang lelaki yang menyatakan dirinya juga abang istriku, sekalipun bukan abang kandung. Dan dia sebenarnya bagian dari masa lalu istriku. Dia orang yang dulu membuat istriku jatuh cinta, begitu juga sahabatnya Gladis semasa mereka remaja. Ya wajar sih, kalo memang keceh badai tanpa cela. Dari penampilannya yang selalu styles sekalipun dia sudah tidak muda lagi dan punya anak tiri yang sudah perawan, karena dia menikahi janda yang punya satu anak perempuan saat dia nikahi. Dan jandanya juga cantik sekali, jadi cocok sekali mereka tuh.
“ASALAMUALAIKUM!!!” sapanya saat mendekat padaku setelah keluar dari mobil mewahnya.
“WALAIKUMSALAM” jawabku lalu sampai merasa perlu menurunkan M’rin untuk menyambut jabatan tangan dan rangkulannya.
“Sehat Mat?” tanyanya ramah dan bersahabat.
Sejak dulu juga aku tidak pernah menganggapnya musuh sih. Sempat cemburu doang, tapi lalu aku tepis karena aku justru mendadak respect pada sikapnya yang justru mendorong istriku untuk menerimaku. Dan untuk apa juga cemburu kalo dia sendiri sudah menikah dan punya anak waktu itu. Istriku aja yang dulu masih gagal move on dari lelaki keceh badai layaknya model. Ya dia, Roland Rahardian, teman lain yang abang tatoan, bang Omen bilang yang juga memutuskan jad pengawal istriku dari lelaki yang berpotensi menyakitinya waktu masih gadis. Dan yang aku suka, dia menyadari betul kesalahannya sikapnya pada istriku di masa lalu, sampai buat istriku gagal move on.
“Alhamdulilah bang sehat. Ayo masuk dah, Risda di dalam” ajakku tanpa tau maksud tujuannya datang ke rumahku.
“Alhamdulilah. Anak Iwan ya?” tanya pada M’rin lalu gantian dia gendong.
“Iya bang, ayo bang, masuk bang” ulangku mengundangnya masuk ke rumah orang tuaku.
Mengangguklah dia lalu mengekorku sambil menggendong M’rin yang anteng di gendong. Anak kecil aja tau kalo dia orang baik.
“Bang Roland!!!” jerit istriku saat melihatnya lalu buru buru bangkit berdiri untuk mencium tangannya.
Tersenyumlah aku melihatnya. Terkadang mengikhlaskan sesuatu yang sempat kita perjuangkan dan kita sayang sebelumnya memang berat. Mau apa itu bentuknya. Mau barang atau orang sekalipun. Istriku ada berdarah darah dulu. Tapi saat berani mengambil langkah itu, jadi ringan untuk langkah kita ke depan. Jadi aku pun santai saat istriku memeluk lelaki yang dulu sangat dia sayang dan di puja.
“Masih sayang aja bini elo sama gue, Mat” ejeknya padaku.
Tertawalah aku dan istriku lalu dia lepaskan juga pelukannya di tubuh lelaki yang akhirnya dia anggap abang juga.
“Sayanglah, kan elo abang gue juga” jawab istriku.
Tertawalah bang Roland lalu terpaksa melepaskan M’rin yang berontak minta turun karena melihat Iwan babehnya datang dan turun dari motor.
“Ayo duduk bang, gue bikin minuman dulu ya” pamit istriku mempersilahkan duduk.
Jadi duduk berhadapan lagi aku dengan bang Roland. Seperti dejavu rasanya. Ingat dulu saat kami mengobrol serius antara sesama lelaki, dan membicarakan siapa lagi kalo bukan istriku dulu. Nanti aku cerita ya, aku temani dia ngobrol dulu.