Pendekatan & Perpisahan

2696 Kata
Kedua bahu Norika langsung merosot lemas saat ia baru saja membuka ponselnya di kantor dan melihat postingan terbaru i********: Railyn. Wanita itu mengunggah foto Gyan yang memberikkan kejutan dinner romantis di salah satu restoran yang memperlihatkan sky view kota Jakarta dan juga memberikan buket bunga besar yang berisi seratus bunga mawar untuk Railyn. Betapa romantisnya Gyan dan sayangnya Norika hanya mampu menelan kecewa. Mungkin ia wanita paling bodoh di bumi ini. Ia menyukai Gyan, sangat. Tapi ia juga sukses membantu Gyan untuk berpacaran dengan Railyn. Dan anehnya, kini Norika malah tersenyum ketika memandangi foto itu lagi. Entahlah, ia juga tidak paham dengan perasaannya sendiri. Apakah benar ia menyukai Gyan atau tidak. “Gimana? Romantis banget kan saya?” Suara berat Gyan sontak mengejutkan Norika dan membuat wanita ia mendongakkan kepalanya dengan cepat. “Pak?! Ngagetin aja!” Protesnya. Gyan terkekeh dan kemudian ikut duduk di bangku taman kantor bersama Norika. “Nih, buat kamu.” Norika hanya diam saja melihat sebatang cokelat dari Gyan. “Buat dititipin ke Mbak Railyn?” Norika lalu berdecak. “Astaga, Pak, padahal juga udah jadian. Ngasih sendiri lah, ngapain masih nitipin ke saya?” “Kamu denger nggak sih barusan saya bilang apa?” Gyan menghela napas, berusaha sabar. “Ini cokelatnya buat kamu.” Ia menyodorkan cokelat itu lagi, tapi Norika masih belum mau menerima. “Iya, buat di titipin ke Mbak Railyn, kan?” “Astaga!” Gyan sampai rasanya ingin meloncat ke air mancur dibelakangnya karena Norika tak kunjung paham. “Ini cokelatnya buat kamu, Norika Adina! Khusus buat ka-mu. Railyn sudah saya kasih sendiri. Puas?!” Norika mengerjap sesaat, lalu menerimanya dengan lemas. “Oh… kirain.” “Kok nggak seneng gitu mukanya?” Ya saya kira karena khusus buat saya, jadi nggak ada orang lain yang dapat cokelat juga. Tapi saya lupa Pak Gyan udah punya pacar. “Cokelat doang nih?” Gyan seketika lupa kalau Norika adalah gadis yang berbadan kecil tapi doyan makan. “Yaudah, mau makan apa lagi?” “Steak.” Ucap Norika mendadak riang. Akankah ini jadi kesempatannya makan berdua bersama Gyan lagi? “Giliran ditawarin makan aja riang.” Gyan menahan senyumnya, kemudian berdiri dari duduknya. “Yaudah nanti pulangnya kita makan bareng.” “Mbak Railyn gimana?” Pancing Norika. “Ya ikutlah. Makan bertiga.” Ucap Gyan dan kemudian meninggalkan Norika begitu saja, meninggalkannya dengan cokelat ditangan yang kini hanya bisa ditatap Norika dengan sedih. *** “Jadi tuh itu bunganya kan seratus tangkai ya, Ka, nah Gyan tuh nggak nyangka kalau buket seratus tangkai seberat itu!” Railyn sedang bercerita tentang bagaimana Gyan menyatakan cinta padanya saat mereka makan steak bertiga di salah satu restoran mewah sepulang dari kantor. “Karena Gyan keberatan bawa buketnya, jadi dia alesannya capek dan minta pelayan buat masukin buket itu ke mobil!” Tawa mereka bertiga pecah, tentu saja Norika mencoba mengikuti cerita mereka dan tawanya mengalir begitu saja. “Aku nggak alesan ya.” Ucap Gyan sambil menggenggam tangan Railyn yang bebas diatas meja. “Bilang aja kamu nggak mau bawa buketnya pulang karena mau pegang tangan aku.” “Nah, itu tau.” Norika tersenyum saat melihat kemesraan Gyan dengan Railyn dihadapannya. Gyan adalah pria tampan berumur tiga puluh tahun dengan tubuh atletis, tinggi, berkulit cerah, rambutnya tebal dan hitam, hidungnya mancung, matanya tajam dengan iris mata cokelat muda karena Gyan adalah blasteran Belanda dari ibunya yang berkebangsaan Belanda. Walaupun gen bule Gyan tidak terlalu mencolok pada tubuhnya, tapi postur tubuh Gyan dan garis wajahnya seperti orang barat. Kecuali rambut dan bentuk matanya yang seperti orang asia seperti ayahnya. Fisik, keramahan dan kecerdasan Gyan yang membuatnya disukai banyak orang sampai dikagumi oleh banyak wanita—seperti Norika. Norika mungkin hanya bagaikan butiran debu jika disandingkan dengan Railyn yang merupakan lulusan S2 Ilmu Komunikasi di salah satu Universitas ternama di Indonesia. Tidak hanya pintar, namun fisik Railyn juga mendukung. Kulitnya cerah, tubuhnya indah dan menggoda seperti jam pasir yang berisi di titik yang tepat, tutur katanya baik dan rambut pendek sebahu Railyn seolah menambah kesan seksinya hingga membuat Gyan terpikat. Dan Norika hanya wanita yang beruntung bisa dekat dengan Gyan—itu juga karena Gyan mendekati Railyn dari Norika yang merupakan anak buah Railyn. “Ngomong-ngomong aku seneng deh kita bisa makan bertiga gini.” Ucap Railyn yang membuat Norika dan Gyan jadi saling pandang. “Kapan-kapan pergi lagi yuk bertiga?” “Boleh.” Jawab Gyan tanpa ragu. Lalu melirik Norika. “Nori juga asik anaknya.” “Nori?” Railyn tertawa kecil. Gyan hanya mengedikkan bahunya. “Kepanjangan sih namanya.” “Norika. Saya nggak suka dipanggil Nori. Kayak makanan aja.” Tolak Norika. “Iya, iya.” Gyan tertawa lagi, ia memang banyak tertawa di dekat Norika yang gampang ngambek ini. “Tapi kalau saya sama kalian terus, nanti jadi nyamuk dong saya.” Celetuk Norika. “Emang kamu ngerasa jadi nyamuk sekarang?” Tanya Gyan. Norika langsung terdiam dan kemudian menggelengkan kepalanya. “Ya enggak sih, kalian ngajak saya ngobrol daritadi.” “Nah makannya, kita sering-sering ya main bertiga!” Ucap Railyn sambil merangkul Norika. “Nanti kalau Norika udah punya pacar, mainnya jadi berempat. Oke?!” “Mau saya kenalin saya temen saya nggak, Ka?” Tawar Gyan. Norika mencebikkan bibirnya dan menggelengkan kepala. “Saya lagi mau fokus kerja dulu, pacaran ribet.” Ucapnya sambil menghela napas kemudian dan menatap Gyan yang balas menatapnya. Norika tidak mau dikenalkan oleh teman Gyan atau pria siapapun itu. Karena hati Norika masih terpikat pada Gyan, bukan pada pria lain. *** Dua tahun kemudian… Gyan tak bisa berhenti mencium bibir wanita yang kini berbaring dibawahnya. Wanita paling cantik yang pernah ia kenal, yang menemani hidupnya kini dan tinggal bersamanya di apartemen selama dua tahun ini. Railyn kemudian mengalungkan lengannya pada tengkuk Gyan, membalas ciuman Gyan sama dalamnya. Bibir mereka saling mencecap rasa satu sama lain dan tak pernah bosan melakukan hubungan intim ini. Apalagi sepulang bekerja seperti ini. Dengan tubuh yang segar kembali setelah mandi, mereka membutuhkan keintiman dan kehangatan di ranjang setelah seharian berkutat dengan pekerjaan yang memforsis tenaga serta pikiran mereka, apalagi dengan jabatan mereka kini. “Ahh!” Railyn mendesah saat bibir basah Gyan mencium tengkuknya dan tangannya bergerak nakal meremas gundukan kembar Railyn yang masih terbalut dalam lingerie-nya. Bibir Gyan sudah bergerak menciumi hingga belahan d**a Railyn, namun wanita itu tiba-tiba saja membalik badannya, mengubah posisi dan naik keatas perut Gyan. Railyn membantu Gyan melepaskan celananya yang langsung menunjukkan milik Gyan yang sudah menegang. Siapa yang tak tegang jika melihat wanita cantik nan seksi berambut pendek sebahu yang memakai lingerie? Railyn menurunkan tali lingerie pada bahunya, membuatnya memperlihatkan pemandangan bagian depannya yang indah pada Gyan. Gyan menelan salivanya saat Railyn dengan sengaja menurunkan tubuhnya, menggesekkan milik Gyan dengan bagian bawah tubuhnya yang tak terlapis apapun. “Gyan… ahh…” Railyn sengaja menggodanya, bergerak diatas Gyan tanpa memasukkannya sambil meremas dadanya sendiri. Gyan tak sabar lagi. Ia menyingkirkan tangan Railyn yang menutupi dadanya itu dan langsung meraupnya, mengulum kuat ujungnya dan meremasnya secara bergantian. Membuat Railyn mendesah nikmat dan semakin menekan bagian bawah milik Gyan. Railyn kemudian mendorong Gyan agar berbaring lagi, lalu benar-benar melepaskan lingerienya hingga tubuhnya sama polosnya dengan Gyan sekarang. Perlahan tapi pasti, Raily meletakkan tangannya di d**a bidang Gyan, menurunkan pinggulnya perlahan dan membiarkan milik Gyan memasuki inti tubuhnya. Desahan keduanya memenuhi kamar apartemen Gyan saat penyatuan keduanya terjadi. Namun mereka sudah biasa melakukan kenikmatan ini. Railyn bergerak diatas tubuh Gyan, memompa tubuhnya sendiri, membiarkan milik Gyan bergerak keluar-masuk menghujam miliknya dari bawah. Sedangkan tangan Gyan tak bisa diam bermain di d**a Railyn, sesekali mengulum ujungnya dan Railyn menurunkan tubuhnya, mencium bibir Gyan. Saat Railyn berada diatasnya seperti ini, Gyan benar-benar tak bisa berhenti memandangi ciptaan terindah Tuhan dihadapannya yang sedang memberikannya kenikmatan. Gyan menjadi pria paling beruntung yang mendapatkan Railyn yang cantik, pintar dan memiliki tubuh yang bagus. Hingga desakan keduanya tak tertahankan lagi, Railyn yang melambatkan tempo gerakannya dari atas membuat Gyan menghujamnya dari bawah. Membuat Railyn mendesah tak karuan, menyandarkan dahinya pada bahu Gyan dan tubuh rampingnya dipeluk oleh Gyan. “Ahh, eungh… Gyan, ahh!” “Railyn, ahh… arghh!” Pelepasan mereka lagi-lagi meledak bersamaan, menyatukan kehangatan diantara keduanya dan meleburkan debaran d**a mereka berdua menjadi satu. Seperti biasa, percintaan mereka selalu menajubkan. Suasana hening sesaat, hanya deru napas mereka dan suara pendingin ruangan. Railyn menempelkan pipinya pada d**a bidang Gyan, mendengarkan debaran jantung Gyan yang masih berdebar sama kencangnya dengan percintaan pertama mereka dua tahun yang lalu. Walaupun Gyan bukan yang pertama untuknya, namun Gyan adalah pria terbaik baginya. “Gyan?” “Hm?” jemari tangan Gyan bergerak naik-turun pada garis punggung Railyn. Railyn lalu mengangkat wajahnya, menatap Gyan yang terlihat mengantuk. Railyn lalu mengusap rahangnya dan tersenyum kecil. “Ada yang harus aku omongin sama kamu.” “Tentang apa, Railyn?” Tanya Gyan sambil memejamkan matanya sesaat, lalu terbuka lagi. “Aku di mutasi, Gyan.” “Hah?!” “Ke Belanda. Aku berangkat minggu depan.” “Railyn, ini nggak lucu.” Gyan langsung berusaha untuk duduk dan Railyn menyingkir, wanita itu duduk di sampign Gyan sambil menarik selimut untuk menutupi dadanya. “Siapa yang kasih surat perintah mutasi?” Masih dengan senyumnya, Railyn menjawab, “ayah kamu.” Revano—Direksi Utama PT. Bina Property merupakan ayah kandung Gyan Revano. “Jangan bilang ayah minta kamu pegang perusahaan di Belanda?” “Aku harus, Gyan.” Railyn berusaha menyentuh pipi Gyan namun Gyan menepisnya. “Aku akan bilang ayah besok untuk pembatalan mutasi kamu.” “Gyan, nggak perlu!” “Kamu nggak mau di mutasi, kan?” Gyan langsung memegang kedua bahu Railyn. Ia berusaha menatap mata Railyn namun kekasihnya itu menghindari tatapan matanya. “Iya kan, Rai?” “Aku harus…” Akhirnya Railyn menjawab, dengan lirih. Ia mendekati Gyan dan mengusap lengannya, lalu memeluknya. “Perusahaan di Belanda menjadi pembuktian bagi aku bahwa aku bisa memimpin perusahaan dan bersanding dengan kamu, Gyan. Selama ini orangtua kamu selalu meragukan aku, kan? Bahkan orang-orang diluar sana bilang aku penjilat karena berpacaran dengan anak direksi utama kantor.” “Kamu serius?” Gyan melepaskan pelukannya, berusaha menatap tepat pada mata Railyn. “Railyn yang aku kenal tidak pernah memperdulikan ucapan orang lain.” Namun Railyn hanya diam dan mengalihkan tatapannya. “Banyak ucapan orang lain yang berusaha menjatuhkan kita, Rai.” “Kamu takut ldr, Gyan?” Tanya Railyn tepat sasaran. “Aku—” tenggorokan Gyan sampai terasa tercekat. “Aku nggak tahu. Bahkan rasanya aku nggak bisa hidup jauh dari kamu. Selama pacaran kita selalu bareng, Rai. Dan kamu mau kita pisah gitu aja?” “Berpisah negara, Gyan. Bukan berpisahnya hubungan kita.” Railyn meyakinkan sambil mengusap kedua pipi Gyan, kemudian mencium bibirnya dengan lembut. “Aku bakal setia disana, Gyan. Begitu juga dengan kamu. Kita akan baik-baik saja.” Itu janji yang diberikan Railyn. Sampai enam bulan kemudian, setelah Railyn di Belanda dan Gyan tetap di Jakarta, hubungan mereka merenggang. Railyn jadi sulit dihubungi, bahkan Gyan mendapatkan info dari rekan kerja Ayahnya disana jika ada seorang pegawai yang mendekati Railyn dan Railyn juga meresponnya. Mereka jadi sering bertengkar dan pertengkaran itu berakhir dengan Gyan yang minta maaf bahkan tidak ingin putus walaupun kini sudah sering mengucapkan kata putus. Gyan selalu mengabarinya lewat chat, namun Railyn tidak meresponnya dan membalas chat-nya tiga hari sekali, atau seminggu sekali. Gyan berusaha tidak memikirkannya, namun sialnya cinta membuatnya bodoh dan mengabaikan kesehatannya. Hingga Gyan jatuh sakit dan tidak bisa bekerja di kantor. *** “Pak Gyan minta kamu ke apartemennya. Dia lagi sakit. Jadi nggak kuat buka laptop dan tanda tangan berkas secara online. Jadi satu-satunya jalan, kamu ke apartemennya dan biarkan Pak Gyan tanda tangan berkasnya hari ini juga. Oke? Proyek sudah menunggu, Norika!” Norika yang kini jabatannya masih sama—yaitu sebagai pegawai bagian pemasaran hanya bisa pasrah saat atasannya memintanya ke apartemen Gyan Revano. Ia memencet bel intercom beberapa kali, hingga suara serak menyapanya. “Siapa?” “Pak Gyan, ini saya Norika.” “Hm?” “Norika!” “Sebentar…” “En-o-r-i-ka—” klik! Pintu kemudian terbuka dan Gyan yang membuka pintu menatapnya dengan lemas. “Saya sudah bilang ‘sebentar’.” Ucapnya menahan kesal. “Masuk.” “Hehe, maaf, Pak.” Sambil memeluk berkasnya, Norika mengikuti langkah Gyan yang masuk ke apartemen mewahnya yang sempat membuat wanita itu terkagum-kagum untuk sesaat. “Mana berkasnya?” Tanya Gyan sambil duduk di sofa. Norika menunduk, menatap berkas dihadapan Gyan yang jarak duduknya lebih rendah dari Norika. Sialnya, blouse berkerah v yang Norika pakai memperlihatkan belahan d**a Norika, membaut Gyan langsung mengernyit dan mengalihkan tatapannya. “Besok lagi jangan pakai baju seperti itu.” Ucap Gyan. “Kenapa emangnya, Pak? Saya suka baju ini. Bahkan saya mau beli lagi yang kaya gini.” Gyan sontak langsung menatap Norika kembali, tapi tatapannya malah menyasar ke belahan d**a Norika lagi yang entah kenapa terlihat… menarik? Gyan langsung berdeham sambil mengusap dahinya. Sial, demam membuat pikirannya jadi kemana-mana. “Pokoknya jangan pakai baju kaya gitu lagi kalau ketemu saya!” Norika hanya mengernyit dan kembali berdiri tegap. Memperhatikan Gyan yang menarik berkasnya dan mulai membacanya dengan kepala yang disangga menggunakan tangannya. “Pak Gyan sakit?” Pertanyaan pertama dari Norika. “Hm.” “Sakit apa?” Pertanyaan kedua. “Demam.” Jawabnya. “Radang juga mungkin?” Hening sejenak, Norika melihat keseluruhan apartemen Gyan yang sepi dan minim cahaya ini karena tirainya tertutup. “Pak Gyan tinggal sendirian?” “Heem.” “Pak Gyan—” “Norika?” Gyan langsung meletakkan berkasnya. “Iya, Pak?” Tanya Norika polos sambil mengerjapkan mata. Gyan menghela napas, lalu menggelengkan kepalanya. “Jangan banyak tanya. Saya harus memahami berkas ini dan tanda tangan.” “Bapak mau saya terangin isi berkasnya?” “Nggak, makasih.” Jawab Gyan cepat. “Bahkan suara kamu bikin saya pusing.” Mendengar itu, Norika sontak mengerucutkan bibirnya. Ia diam dan berdiri sejenak, sampai akhirnya bersuara lagi dan nyaris membuat Gyan mematahkan bolpoinnya. “Saya boleh ke dapur nggak, Pak?” “Silahkan!” Bentak Gyan pada akhirnya karena sangat emosi. Tidak ada jawaban dari Norika setelahnya. Karena wanita itu melenggang ke dapur. Gyan masih fokus pada berkasnya sampai sepuluh menit kemudian dan kepalanya terasa sangat pening, bahkan berdenyut. Pada akhirnya Gyan menyerah dan memilih merebahkan tubuhnya pada sofa. Sebelum matanya benar-benar terpejam, ia melihat satu pesan dari Railyn yang langsung ia baca. Railyn: aku benar-benar sudah nggak bisa melanjutkan hubungan ini, Gyan. Hubungan kita terasa membosankan. Kita putus aja. Tolong jangan menyiksa diri kamu maupun aku. Aku disini juga tertekan karena kamu nggak mau kita putus. Apalagi yang mau dipertahankan dari hubungan yang sudah tidak sehat ini, Gyan? Tidak sanggup lagi, Gyan mengunci layar ponselnya dan menjatuhkannya begitu saja di lantai. Hingga akhirnya ia memejamkan matanya. Sampai entah beberapa saat kemudian, Gyan merasakan ada sebuah kain hangat di dahinya. Gyan membuka mata dan menoleh ke kiri saat lengannya di genggam oleh seorang wanita cantik berambut panjang. Norika mensejajarkan wajahnya pada Gyan, menatapnya khawatir. “Saya sudah panggil dokter kok, Pak. Sebentar lagi dokternya datang.” Gyan hanya mengerjap, hanya diam merasakan tangannya di genggam oleh tangan Norika yang terasa dingin dan… nyaman. Entah sudah berapa lama rasanya tidak ada wanita yang memperhatikannya sampai seperti ini. Hidupnya terlalu bergantung pada Railyn dan kini hidupnya hancur karena telah mencintai terlalu dalam. “Saya kompres kainnya lagi ya, Pak? Badan Pak Gyan panas banget.” Norika sedikit memajukan badannya dan mendekatkan wajahnya pada wajah Gyan yang lemas. Pada saat itu, entah kenapa Gyan menjadi melihat Railyn dihadapannya. Melihat wajah cantik Railyn yang menatapnya dengan khawatir. Tanpa sadar Gyan menarik tengkuk Norika dengan lembut dan membuat bibir Norika menyentuh bibirnya. Tubuh wanita itu kaku, terlalu terkejut karena bibir Gyan mulai bergerak diatas bibirnya. Pada akhirnya Norika memejamkan matanya, menangkup pipi Gyan dan membalas ciumannya. Setelah dua tahun ia merelakan Gyan dengan wanita lain, Norika kira cintanya pudar. Nyatanya tidak, cintanya pada Gyan masih utuh. Sampai kemudian ciuman mereka berakhir, Gyan melepaskan tautan bibirnya yang kini basah dan mencecap rasa manis bibir Norika. Namun bayangan Railyn masih dihadapannya. Norika diam saat Gyan mengusap pipinya dengan lembut dan berbisik, “disini saja, Railyn…”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN