BAGIAN 13

1023 Kata
Happy reading! •||• Revan menarik napas guna menetralkan degup jantungnya yang menggila setelah ia melakukan aksi nekat mencium bibir istrinya sendiri. Masalahnya, baru kali ini Revan melakukan hal tersebut. Bahkan selama ia menikah-hampir 9 tahun pun, ia tidak pernah melakukannya kecuali hari ini. Revan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Mesin mobil masih menyala dan Erlangga pun masih dibiarkan tertidur di jok belakang. Kendati mereka sudah sampai dipekarangan rumah, tapi Revan maupun Safina belum mau beranjak dari sana. "Fin," panggil Revan. Spontan, Safina menoleh dan mengangkat alisnya bingung. "Iya mas?" Revan kembali menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dirinya benar-benar tidak menyangka jika bibir Safina bisa semanis itu. Bahkan, bibir Hasna pun kalah manisnya dengan bibir Safina. "Mas Revan kenapa?" Tangan Safina bergerak mengusap bahu Revan, membuat Revan menatapnya dengan pandangan terkejut. Lagi-lagi, Revan mengulum bibir. Ingin mengatakan maaf tapi bibirnya seolah dijepit dengan peniti. Tidak meminta maaf, Revan tidak enak. "Maaf." "Maaf untuk apa, Mas?" "Maaf untuk yang tadi." Untuk yang tadi? Blush. Pipi Safina memerah saking malunya. Ia menunduk dan tersenyum kecil. "Nggak papa, Mas. Aku istrimu, kan? Nggak ada kata haram diantara kita berdua." "Kamu nggak marah aku lancang mencium kamu?" "Untuk apa aku marah? Kamu suamiku. Kamu berhak ngelakuin itu." Revan tersenyum lembut. Ia menarik tangan Safina dan mengecupnya perlahan. "Terimakasih banyak," bisiknya. •||• Ada yang berbeda dari Revan malam ini. Ada sebuah kebahagian yang Hasna tidak mengerti dari mana asalnya. Suaminya datang-masuk ke dalam rumah dengan bergandengan tangan dengan madunya sendiri sambil menggendong anak mereka. Hati Hasna memanas. Ada sebagian dari dirinya yang tidak terima akan hal itu. "Baru pulang kamu, Van?" tanya Hasna. Dirinya berdiri di samping kulkas sambil memegang segelas air putih dingin. Revan yang baru saja ingin melangkah naik ke atas tangga-ke kamar sulungnya-pun berhenti. Pria itu menoleh dan terkejut mendapati istrinya berdiri di sana. Hasna mendekat ke arah mereka sambil tetap memegang gelas putih berisi air yang tadi di minumnya. "Kenapa? Kaget mergokin aku di sini?" "Kamu udah pulang?" tanya Revan. Hasna tertawa kecil. "As you can see," jawabnya. Safina mengangkat wajah dan mengulurkan tangan, ingin mengambil Erlangga dari gendongan Revan. Tapi Revan menolak sambil tersenyum lembut padanya. "Biar aku yang antar ke kamarnya." Kata Revan pada Safina. Hasna tersenyum sinis. "Aku ada di sini untuk bertanya sama kamu, buka untuk melihat pertunjukan menjijikan kalian berdua." "Mbak Hasna," panggil Fina. Dirinya merasa tidak enak kala mendengar Hasna berkata seperti itu. "Aku nggak bicara sama kamu, Fina. Aku bicara dengan suamiku." Revan menghela napas melihat keduanya. Pria itu mengalihkan tatapannya untuk menatap Hasna. "Aku antar Erlangga dulu, baru setelah itu kita bicara." Revan mengenggam tangan Safina dan beranjak dari hadapan Hasna detik itu juga. Membuat Hasna diam-diam menahan napas dengan rasa sakit bercokol di d**a. •||• Dengan perlahan, Revan menaruh Erlangga di atas tempat tidurnya. Sedangkan Safina mengambil setelan piyama untuk dipakaikan kepada Erlangga. Revan mengusap rambut ikal anaknya, mengecupnya dengan penuh rasa kasih sayang. "Mas," panggil Safina. Revan berdehem kecil untuk menjawab panggilan istrinya. Pria itu sama sekali tidak menghentikan kegiatannya-menciumi rambut Erlangga. Safina naik ke atas ranjang dengan setelan piyama Ben 10 dan duduk di samping Erlangga. "Mbak Hasna pasti cariin kamu. Kamu nggak buru-buru turun ke bawah?" "Nanti aja. Aku masih mau sama Langga." Revan menyingkirkan sedikit dari Erlangga uang sedang di gantikan baju oleh Fina. "Aku nggak enak sama mbak Hasna, Mas." "Nggak enak kenapa?" Safina mengancingi satu persatu piyama yang baru saja ia pasang ke tubuh anaknya. "Ya aku nggak enak. Gimanapun mbak Hasna itu istri kamu juga. Aku ngerasa nggak pantes aja kalau kamu genggam tanganku didepan dia tadi." "Memangnya ada yang salah dari itu?" tanya Revan sanksi. Setelah menyelesaikan apa yang dia lakukan, Safina menatap lurus ke arah mata Revan sambil menggenggam tangannya. "Aku ini perempuan. Jelas tahu rasanya saat aku lihat pria yang aku kasihi bersama dengan perempuan lain. Meskipun itu istrinya juga. Cemburu itu wajar, Mas. Aku udah puas ngerasain itu. Dan aku tahu rasanya. Jadi aku nggak mau mbak Hasna merasakan itu." Detik itu juga, Revan merasa bahwa keputusannya untuk mendua sembilan tahun yang lalu adalah keputusan terbodoh yang pernah ia ambil. Nyatanya. Safina-istri yang dipilih Papa adalah istri yang baik. Benar-benar berbeda dari Hasna. •||• "Hebat kamu, ya? Baru aku tinggal beberapa jam aja udah semesra itu sama Fina. Gimana kalau aku tinggal setahun?" Hasna mencecar Revan habis-habisan ketika pria itu membuka pintu kamar mereka. Revan menghela napas panjang. Ia membuka kaus yang di pakainya dan membawanya ke keranjang cucian. "Kamu cemburu?" "Ya jelas lah! Kamu pikir aku ini manusia yang nggak punya rasa cemburu apa?!" "Ya kan aku cuma tanya. Lagian juga, aku nggak ngapa-ngapain kok sama dia." Hasna membalikan tubuh menghadap Revan. Ditangannya masih ada kapas kecantikan yang ia gunakan untuk membersihkan bekas make-upnya. "Nggak ngapa-ngapain kamu bilang? Tadi kamu pegangan tangan sama dia itu apa?!" "Cuma pegangan tangan, Ma. Aku nggak ngapa-ngapain." Revan mendekati Hasna dan memeluknya. "Jangan cemburu gitu, sayang." "Gimana aku nggak cemburu, sih? Kamu aja semesra itu sama dia!" Cup "Nggak sayang. Aku biasa aja kok sama dia." "Termasuk perasaan kamu sama dia?" Hasna bertanya sambil menyandarkan kepalanya di d**a Revan yang hanya terbalut kaus singlet. Revan terdiam. Bibirnya ingin berkata tidak tapi berat. Tidak seperti biasanya. Dan Revan benar-benar tidak mengerti dirinya sendiri ketika tengah malam ia menyelinap masuk ke dalam kamar Safina dan tidur di sana. •||• " Mas Revan? Ngapain di sini, Mas?" Safina bertanya dengan nada terkejut ketika melihat Revan tertidur di sampingnya sambil memeluk pinggang rampingnya. Wajah Revan tertanam di ceruk lehernya sesekali menciuminya. Membuat Safina sedikit menahan napasnya. "Mas?" Revan tidak menjawab panggilan tersebut. Dirinya masih merasa nyaman tidur dengan keadaaan memeluk Safina. Kegiatan yang tidak pernah dilakukannya sejak dulu. Ia pun baru tahu jika memeluk Fina bisa menyebabkan kecanduan seperti ini. "Mas Revan? Bisa lepas dulu, nggak? Aku mau sholat sekalian siapin sarapan dan baju sekolahnya Langga." Revan akhirnya menjauhkan wajah dari ceruk leher Fina. Ia mengecup rambut Fina penuh kasih sayang. "Sholat bareng mau?" Safina terdiam beberapa detik. Sholat bareng yang ditawarkan Revan adalah ajakan sholat yang pertama. Demi apapun, Safina senang. "Mas mau?" "Mau." Safina tersenyum, lalu tanpa sadar mengusap punggung tangan Revan di atas perutnya. "Ayo Mas, kita sholat bareng." •••••
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN