BAGIAN 1

885 Kata
"Satu, dua, tiga, empat, lima! Dana umum, Yeay!" Erlangga berteriak girang sambil mengambil kartu berwarna hijau dari permainan monopoli yang sedang dimainkannya bersama dengan sang adik-Sabima. Sabima mengerucutkan bibirnya sebal, lagi-lagi Erlangga yang memimpin permainan mereka. "Kamu dapet apa, Mas?" Tanya Bima. Erlangga tersenyum, "Pasti hoki!" Katanya. Sabima mencibir sambil memainkan pengocok dadu di tangannya. Sementara Erlangga mengambil kartu tersebut dan membacanya, raut wajahnya yang senang berganti menjadi sebal ketika mendapati dirinya tidak hoki kali ini. "Dapet apa Mas?" Erlangga mendengus, "Aku nggak dapet apa-apa! Aku bayar denda!" Jawabnya kesal. Tawa Sabima muncul membuat wajah Erlangga terlipat sempurna. "EMANG ENAK KAMU MAS! Makanya jangan pamer sama aku!" "Ya ya, terserah kamu, deh." Jawab Erlangga. Sabima mendekati Erlangga yang terduduk lemas di atas karpet beludru di ruang keluarga rumah mereka. "Cie kalah cie!" "Apa sih, Bim!" Sabima semakin kuat menggoda Erlangga dengan mencolek-colek pipinya, "Ekhem cie-cieeeee kalaah!" Erlangga berdecak, tapi senyum tak urung terbit di wajahnya. "Kamu ngeledek aku terus, sih?" "Ya gantian dong. Mas kan sering ngeledekin aku! Jadi sekarang aku yang ledekin mas!" Erlangga menatap tajam adiknya yang tertawa di depannya, lalu sebuah ide jahil muncul dipikirannya. Dengan mengendap, Erlangga mendekati Sabima dan menggelitiknya. Membuat kedua anak laki-laki yang berbeda dua tahun itu tertawa kencang. •||• Safina Afriza Mas Revan Sudah makan? Mau Fina bawakan bekal nggak? Sent. Safina menaruh handphonenya di atas meja etalase kuenya. Hari ini toko kue sedang sepi, mungkin karena ini tanggal tua. Toko kue ini adalah toko pemberian dari Revan sebagai hadiah karena ia bersedia menerima Hasna sebagai madunya. Toko kue yang tidak hanya menjual cake sebagai dagangannya, tapi juga menjual coffee yang Safina racik sendiri. Meskipun coffee di tempat ini hanya ada satu minggu sekali, tapi peminatnya sangat banyak. "Kesambet setan lho mbak!" Safina mengerjapkan mata lalu menoleh menatap pegawai yang sudah ia anggap sebagai keluarga sendiri. "Ngaco kamu, Ta!" Kata Fina. "Lho iya mbak! Mbak Fina dari tadi saya perhatiin kok diem terus, kenapa mbak? Sama bos Revan ya?" "Ah? Nggak kok." Pita mencebikkan bibir, "Nggak salah lagi!" Jawabnya. Ia masuk ke dalam pantry dari pintu kecil di samping etalase berisi macam-macam cake. "Pasti karena bos Revan, kan?" "Bukan, Ta. Saya cuma mikirin anak-anak aja. Kira-kira udah pada lunch belum ya?" Tanyanya sendiri. "Lho tumben banget mbak Fina nggak galauin si bos!" "Capek ah galau-galau mah!" "Bisa capek juga mbak Fin?" "Ya bisa tho! Saya ini kan manusia, emangnya jenengan!" "Kok aku sih?" "Iya emang kamu! Mana pernah kamu capek? Disuruh nginep di sini aja pasti mau kan kamu?" Pita memberikan cengirannya kepada Safina. "Tau aja mbak Fin! Duh, bos paling pengertian deh mbak Fin itu!" Pita mendekat ke arah Safina lalu memeluknya. "Udah mbak Fin, nggak usah pikirin bos Revan lagi. Nanti juga di bos sadar kalau cinta mbak Fin lebih gede dari pada cintanya mbak Hasna!" "Apa sih, Ta!" Kata Fina. Ia tergelak. Susah sekali membohongi Pita. Drrrttt drtt Mas Revan Nggak usah Fin Mas lagi lunch sama Hasna di luar Anak-anak sudah kamu jemput? Safina membaca pesan di handphonenya dengan hati teriris. Bersama dengan mbak Hasna lagi? Bukankah kemarin Revan sudah bersama mbak Hasna? Safina buru-buru menggeleng kala ia ingat bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa di sini. Safina Afriza Oohh yaudah mas. Udah kok Tadi Fina belikan nasi dan ayam untuk makan siang mereka. Mas pulang jam berapa? Mas Revan Syukurlah Kemungkinan jam 8 malam Kenapa? Safina Afriza Nggak papa mas, Fina hanya tanya. Hati-hati mas pulangnya. •||• "Dari Fina ya?" Revan mengalihkan pandangannya dari handphone dan menatap Hasna. "Iya, cuma tanya soal anak-anak kok." Jawabnya. Revan menaruh handphone nya di atas meja mereka, lalu menatap Hasna kembali. "Kenapa emang?" "Nggak papa sih. Dia nggak marah kamu lunch sama aku lagi?" "Nggak lah, sejak kapan dia marah?" "Ya kan takutnya dia marah, Van. Aku nggak enak sama dia. Karena gimanapun dia istri kamu juga," Hasna memasukan potongan steak ke dalam mulutnya. Revan hanya diam, sambil tetap memakan makanannya. Sementara Hasna berdecak sebal. Merasa diabaikan oleh Revan begitu saja. "Van!" "Iya apa sayang?" "Kamu kok kacangin aku, sih?" "Aku nggak ngacangin kamu kok. Cuma males aja kalau kamu terus-terusan bahas dia." Hasna menutup mata, lalu menarik napas panjang setelahnya. "Okaay-okaay, aku nggak akan bahas dia lagi." Revan tersenyum lalu mengacak rambut Hasna dengan penuh cinta. "Setelah Bima ambil raport, liburan yuk?" Ajak Revan. "Liburan?" "Iyaa!" "Kemana?" "Ya terserah kamu, mau Malang, Jogja, Raja Ampat atau kemanapun ayo aja!" Hasna mengambil tissue, lalu mengelap bibirnya dengan benda itu. "Mmm jauh-jauh banget, Van. Yang deket-deket aja lah, kayak Bandung gitu misalnya." "Itumah bukan liburan, sayang! Tapi pulang kampung!" "Ya abis aku males deh kalau jauh-jauh. Mending deket aja. Kita bisa nginep di Villa punya kamu itu. Kan lebih hemat biaya. Gimana?" "Beneran pengen ke Bandung?" "Iya dong! Kan Erlangga seneng banget tuh sama udara dingin gitu," jawabnya. Revan menghentikan aksi memotong dagingnya setelah mendengar perkataan Hasna. "Erlangga?" "Iya Erlangga, kamu juga ajak dia dan Safina kan?" "Nggak, kata siapa aku ajak dia?" "Van!" "Aku cuma ngajak liburan kamu sama Sabima aja, sayang. Nggak dengan Erlangga apalagi Safina!" "Kamu nggak bisa gitu, Van. Dia istri kamu. Erlangga juga anak kamu! Kamu nggak bisa pilih kasih gitu aja!" "Ya aku nggak peduli. Pokoknya aku nggak ajak mereka!" Hasna membanting garpunya dengan pelan, membuat Revan terperanjat kaget. "Kalau Safina dan Erlangga nggak ikut, jangan harap aku dan Sabima mau mengikuti kamu!" ••••
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN