•||•
Hari ulangan pertama sudah dilewati begitu saja oleh Erlangga dan juga Sabima. Mata pelajaran yang diujikan hari ini pun berupa Matematika dan IPA. Sabima melakukannya dengan baik. Berbanding terbalik dengan Erlangga yang melakukannya dengan buruk. Ujiannya kacau hari ini. Ia badmood setengah mati karena ulangannya tidak seperti harapannya. Ia gagal.
"Mas, udahlah, jangan sedih! Toh Mas udah ngelakuin yang terbaik, yang bisa Mas lakuin!" Ucap Sabima sambil menepuk-nepuk bahu Erlangga. Erlangga hanya diam. Pikirannya mendadak blank. Apalagi setelah mengingat percakapan antara dirinya dan Papa minggu lalu.
"Pa," panggil Erlangga kepada Revan yang sedang berkutat dengan MacBooknya di ruang keluarga.
"Apa sayang?"
Perlahan namun pasti, Erlangga mendekat ke arah sang Papa lalu duduk di sofa yang sama dengannya. "Papa bener mau ajak aku sama Ibu jalan-jalan ke Bandung?" Tanya El hati-hati.
Revan terdiam. Ia memikirkan jawaban yang paling tepat sasaran untuk anak pertamanya. Erlangga bukanlah anak yang gampang di bodoh oleh orang lain. Pun dengan dirinya sendiri.
"Iya." Jawab Revan. Untuk sejenak Revan menghentikan pekerjaannya demi menatap Erlangga. "Papa ajak kamu sama Ibu."
"Beneran, Pa?"
"Iya, tapi ada syaratnya."
Erlangga mengerutkan keningnya. "Syarat apa, Pa?"
"Kalau kamu bisa dapat good grades di math and science. Kamu bisa ikut sama Papa dan Mama Hasna."
"Aku gagal, Bim."
"Gapapa, Mas. You have doin' something great!"
"Nggak, Bim. Aku nggak ngelakuin itu. Aku takut.."
"Mas!" Sabima menarik bahu Erlangga dan menghadapkan kakaknya pada dirinya sendiri. Sabima menatap wajah tampan kakaknya lamat-lamat. Sedang tangannya mencengkram bahu Erlangga---berusaha menguatkan. "Kamu udah hebat, Mas! Aku lihat usaha kamu tadi malam! Kalau kamu takut Papa marah, dan nggak ngajak kamu sama Ibu Fina, aku yang bakalan bilang sama Papa kalau kamu berhak ikut di holiday kita kali ini!"
"No, Bima. No. Aku nggak berhak dapet itu. Nyatanya nilaiku nggak jauh dari 40!" Erlangga menunduk. Ia menatap ujung sepatu Converse orangenya dengan pandangan mengabur. Air matanya menggenang dan siap untuk tumpah. "Aku nggak pernah bisa di pelajaran math, Bima. Aku bodoh!"
"Stop, Mas! Stop! Kamu nggak bodoh! Jangan bilang kayak gitu!"
"Kenyataannya aku bodoh, Bima! Aku nggak akan pernah bisa bikin Papa bangga kayak Papa bangga sama kamu! Kamu pintar math! Kamu pintar science! Kamu pintar bahasa! Apa yang nggak kamu bisa, Bima?! Aku hanya bisa menggambar! Dan Papa nggak suka itu!" Teriakan Erlangga membuat Sabima mengendurkan cengkeraman di bahunya. Sabima mundur selangkah.
"Mas---"
Erlangga menarik napas dan menghapus air matanya perlahan. "Leave me alone."
"Mas---"
"LEAVE ME ALONE, Sabima Arsyad!"
Setelah Sabima pergi meninggalkan Erlangga--meski dengan berat hati, Erlangga menunduk dan menangis lagi di atas bangku di taman sekolahnya.
•||•
Sesampainya di rumah, Erlangga langsung melenggang masuk ke dalam kamarnya sendiri. Tentunya setelah mencium punggung tangan Ibu dan juga Mama Hasna yang kebetulan hari ini sedang berada di rumah. Erlangga menghempaskan tubuhnya yang masih terbalut seragam sekolah ke atas kasur empuk dengan seprai motif astronomi di kamarnya. Ia menarik napas panjang. Ia sudah berlaku yang tidak pantas kepada adiknya. Erlangga merasa bersalah. Ini bukan salah Sabima. Ini adalah salahnya. Salahnya yang kurang belajar malam tadi.
"Aku takut Papa marah kalau sampai tahu nilaiku 40, aku juga takut Papa marah karena aku bentak Bima," kata Erlangga lirih.
Tangannya menarik guling disisi kirinya. Ia memeluk guling itu erat-erat. "Guling, aku salah nggak tadi bentak Bima? Aku nggak sengaja kok. Aku khilaf. Aku kebawa emosi. Aku---"
"Aku takut Papa marah.." cicitnya pelan. Wajahnya ia tenggelamkan di atas guling itu. Dan perlahan namun pasti, air mata mengucur dari kelopak matanya yang cokelat.
Ceklek
"El?"
Erlangga terdiam. Tidak menoleh juga tidak menjawab. Ia tahu betul suara Ibunya. Derap langkah kaki seseorang sudah menandakan bahwa Ibunya akan menghampiri dirinya dan menanyakan perihal apa yang sudah menganggu pikirannya sejak tadi. Dan benar saja. Tak selang lima menit, rambut Erlangga sudah diusap oleh tangan yang selalu Erlangga sukai.
"What happened, honey?"
Erlangga menggeleng.
"Hm?" Safina mengusap rambut Erlangga sambil sesekali menciuminya. "Ibu yang lahirin El, lho. Jadi ibu tahu betul apa yang lagi El lakuin. Nutupin masalah dari orang tua itu nggak baik, sayang."
"El mau cerita atau mau nangis dulu?"
"El nggak nangis," jawabnya serak.
Safina tersenyum. "Itu suaranya serak, lho. Kalau mau nangis, nangis aja sayang. Nggak ada larangan untuk menangis bagi laki-laki."
•||•
"Erlangga kenapa Fin?"
Safina menoleh dan tersenyum kecil ke arah Hasna yang sedang memasukan loyang kue ke dalam pemanggang. Ia menarik kursi dan duduk di sana. "Biasa, Mbak. Masalah kecil di sekolahnya." Jawab Safina.
"Sama Sabima?" Tanya Hasna lagi.
"Bukan, kok. Bukan sama Sabima. Erlangga sedih aja lihat hasil ulangannya." Jawab Safina sedikit berbohong.
Hei, bagaimanapun Hasna adalah Ibunya Sabima. Dan Safina paham, bahwa tidak memberitahukan yang sebenarnya adalah hal yang baik.
"Oalah, aku kira karena Sabima. Soalnya tadi mereka diem-dieman."
"Bukan kok, Mbak. Biasalah kalau diem-dieman. Namanya juga adik kakak," Safina tertawa kecil di akhir kalimat.
Hasna ikut tertawa setelah melihat Safina tertawa. Ia duduk di kursi makan yang berhadapan langsung dengan Safina.
"Fin, Mbak sama Mas Revan mau ajak kamu sama Bima ke Bandung tahun ini."
"Bandung?"
"Iya. Kita liburan di sana. Kayanya selama 7 tahun kita jadi istrinya Mas Revan, kita belum pernah liburan bareng." Kata Hasna.
Iyalah mbak, mas Revan nggak pernah ajak aku sama Erlangga.
"Makanya aku ajak kamu sama Erlangga untuk ikut ke Bandung. Kamu mau kan, Fin?"
"Aku---"
"Kata Papa, Papa akan ajak aku sama Ibu kalau nilai math sama science aku bagus. Tapi aku gagal, Bu. Nilaiku buruk. Dan kita nggak bisa ikut ke sana."
"Kamu mau kan, Fin?" Tanya Hasna lagi.
"Aku nggak tahu, Mbak. Kayanya Ibuku tahun ini minta aku buat liburan di sana. Kayanya beliau udah kangen banget sama Erlangga."
Hasna tersenyum kecut. "Gabisa, ya?"
"Iya Mbak. Kayanya aku nggak bisa."
"Kamu nggak berusaha buat ikut, Fin? Lumayan, lho. Bandung itu dingin. Kamu bisa manfaatin waktu buat berduaan sama mas Revan. Aku yakin banget mas Revan nggak akan mungkin tahan. Kamu bisa pakai waktu berdua, kan?"
Safina menunduk. Hanya pemuas nafsu batinnya.
"Aku nggak tahu, Mbak. Nanti aku pikirin, ya."
•||•
"Jadi siapa yang dapat nilai 100 di ujian hari ini?" Tanya Revan pada kedua anaknya.
Erlangga dan Sabima sama-sama menunduk. Yang satu tidak berani menatap wajah Papanya karena takut akan dimarahi, yang satu lagi tidak berani bicara jujur karena takut Masnya dimarahi.
"Sabima?" Panggil Revan.
Sabima mendongak, menatap Revan polos. "Kenapa, Pa?"
"Kamu dapat nilai berapa hari ini?"
Sabima melirik Erlangga sekilas. Lalu menjawab pelan. "100, Pa."
"Waw! Great!" Puji Revan. Ia menarik kepala Sabima dan mencium keningnya. Erlangga semakin menuduk. Tidak berani menatap apa yang sedang Revan lakukan. "Erlangga dapat berapa?" Tanya Revan.
Erlangga menunduk. Benar-benar tidak berani jujur pada Papanya.
"Erlangga?"
"..."
"Langga?"
Anak itu memejamkan mata. Meresapi kalimat yang dibilang Ibu sore tadi.
"Jujur aja sayang. Nggak papa. Ibu akan lebih menghargai kejujuran dibanding kebohongan. Jujur itu sulit. Dan kamu udah berani jujur sama Ibu. Dan hal yang harus lakuin selanjutnya adalah jujur ke Papa."
"Langga? Nilai kamu pasti bagus, kan?"
Erlangga menggelengkan kepala. "Nggak, Pa. Erlangga dapat 40 di math 55 di science."
Dan Revan tidak bisa untuk tidak memarahi Erlangga detik itu juga.
•••••