PROLOG
Keputusan Anggi 3 bulan lalu menerima lamaran Aditya dan menikahi pria itu tampaknya adalah keputusan yang tak akan pernah ia sesali. Membina rumah tangga dengan Aditya menjadi satu alasannya bahagia sampai detik ini. Hingga hari ini, Anggi tengah menatap dua buah benda yang sangat membuatnya senang pagi-pagi. Rasa bahagia menyelimutinya bahkan ia tak sabar untuk memberitahu suaminya. Ia keluar dari kamar mandinya dan segera menuju ke arah Aditya yang tengah merapikan kemejanya di depan cermin. Namun, bukannya langsung memberitahu, Anggi terdiam di belakang tubuh suaminya sambil tersenyum.
"Sayang, kenapa kamu di situ?" tanya Aditya yang melihat Anggi dari kaca cerminnya.
"Mas, aku punya kabar baik." Anggi mulai bersuara dan menunggu Aditya menatap ke arahnya.
Aditya mulai menatap ke arah Anggi yang justru menatapnya dengan mata bebinar. Sedangkan, Aditya tengah mengernyitkan alisnya pada sang istri.
"Kamu kenapa sih? Senyam-senyum dari tadi?" tanya Aditya penasaran.
Anggi langsung menarik tangannya yang sedari tadi ke di sembunyikan di belakang punggungnya ke arah Aditya. Mata itu tetao berbinar sampai Aditya menatap dua benda di hadapannya. Pria itu mengambil salah satunya dan membalikkan benda itu. Dua buah garis berwarna merah terang tercetak jelas di alat tersebut, membuat mata Aditya membulat dan sesekali melirik ke arah istrinya.
"Ini ... ini beneran, Sayang? Kamu hamil?"
Anggi menganggukkan kepalanya debgan sebyum yang masih menempel di bibirnya. Detik pertama Aditya masih mengamati benda itu dengan lekat, detik kedua ada senyum tercetak di bibir tipisnya dan detik ketiga ia langsung memeluk tubuh istrinya dan mengangkatnya. Rasa bahagia mengisi relung hati Aditya. Ia senang mendengar istri yang ia cintai tengah mengandung calon penerusnya.
"Mulai hari ini, kamu gak boleh aktifitas yang berat-berat. Kamu gak boleh makan sembarangan dan kamu gak boleh jalan-jalan sendirian. Paham?" ucap Aditya mulai posesif.
"Astaga, Mas. Banyak banget peraturannya. Kalo aku bosen gimana?"
Aditya sedikit menimang. "Emm, ya sudah biar saya saja yang ijin gak ke kantor buat nemenin kamu dan calon anak kita."
"Ihh jangan kayak gitu, Mas gak boleh gitu. Urusan kantor Mas itu lebih penting." Anggi membeo dengan cepat karena ia paham bahwa pekerjaan Aditya juga tidak bisa sesederhana itu. Apalagi saat ini pekerjaan Aditya semakin padat.
Aditya lantas menangkup kedua pipi itu dan menatap mata Anggi dengan tatapan lembut. Seolah mata itu ikut tersenyum bersama tarikan di bibir Aditya yang terselung ke atas.
"Kamu lebih penting dari segalanya, Sayang. Gak ada yang lebih berharga dari kamu dan ... calon anak kita." Aditya mulai berlutu dan mencium perut istrinya.
Anggi tersenyum mendapati sikap Aditya atas kehamilannya. Ia memang tak salah memilih Aditya sebagai suaminya. Rasa cinta yang tercurah begitu saja selalu ia dapatkan, segala bentuk perhatian selalu ia rasakan. Walaupun sesibuk apa pun Aditya, pria itu selalu saja berhasil menepati janjinya.