Lucifer’s POV
“My name is Lucas Oliver.”
Aku memperkenalkan diri di hadapan pria yang memperhatikanku dari balik meja kerjanya. Dia menggunakan jaket kulit dan celana jeans saat berada di kantor. Rahangnya ditumbuhi bulu tipis yang tercukur tapi. Dari wajahnya, aku yakin usia kami tidak terpaut terlalu jauh.
Aku sendiri menggunakan kemeja flanel yang kubiarkan terbuka, memperlihatkan kaos hitam dengan gambar Nirvana. Duduk di hadapan pemilik perusahaan yang sedang mewawancaraiku untuk lowongan pekerjaan.
Awalnya, aku sedikit heran membaca persyaratan kerja yang kutemukan di i********:. Pertama-tama, postingannya typo—alih-alih bertuliskan: ‘We're hiring for afternoon shift’, mereka menulis: ‘We're hiring for afternoon s**t’—yang seketika menjadi viral. Kedua, aku mendapatkan undangan wawancara yang menyebutkan dress code: casual attire.
Aneh? Sedikit.
Tapi perusahaan Start-Up yang satu ini sudah terkenal dengan aturannya yang longgar dan menjadi salah satu alasan aku melamar—aku benci keformalan.
“Aku cukup tertarik dengan resume yang kau kirim, Lucas.” Jelas sang CEO, membaca dokumen di tangannya, “Kami sedang membutuhkan seseorang untuk mengisi posisi Head of Division untuk projek Podcast yang akan segera rilis. Di resume-mu, kau melampirkan pengalaman di dunia Broadcast Radio. Kenapa kau memutuskan untuk keluar dari sana?”
“Benar, Sir.” Sahutku, “Aku bekerja di stasiun radio selama empat tahun. Aku melakukannya sebagai pekerjaan sampingan ketika saat sedang mengejar gelap Bachelor. Dua tahun terakhir, aku dipromosikan untuk mengisi acara exlusive dengan penawaran kerja full-time setelah lulus. Namun, aku ingin melangkahkan sayap karirku lebih jauh. Maka dari itu, aku memutuskan untuk melamar di perusahaan Anda—yang setelah kugali lebih dalam, punya budaya perusahaan yang sangat dekat dengan pengalaman, keterampilan, dan kepribadianku. Aku percaya, aku bisa memberikan karya dan hasil terbaik apabila bisa diterima di perusahaan Anda, Sir.”
“Enzo, saja.” Ujarnya, mengoreksi. “Semua orang disini memanggilku Enzo.”
Oh. Aku menyukai perusahaan ini!
“Baiklah, Enzo.”
"Wow, impressive. But..." Lelaki—yang kutahu bernama panjang Lorenzo Gilbert—itu menegapkan tubuhnya, “Di dokumenmu, kau juga menuliskan alamat yang lama. Apa kau sudah menemukan tempat di New York, Lucas?”
Aku meringis, “Aku sedang mengusahakan itu.”
“Sangat disayangkan,” Enzo tersenyum ketir, menutup berkas di depannya, “Lucas, jujur saja, kau sangat cocok dengan kriteria yang aku inginkan. Tapi kau sepertinya belum sepenuhnya yakin untuk menetap di sini. Dan aku tidak bisa menggantungkan harapan pada sesuatu yang tidak pasti.”
“Enzo,” Aku menyela cepat, “Terus terang aku memang belum yakin untuk pindah ke kota ini. Tapi itu sebelum aku melakukan wawancara di perusahaanmu. Aku sangat menginginkan pekerjaan disini.”
Enzo mengangguk, “Baiklah, begini saja. Aku akan memberimu waktu untuk menemukan tempat tinggal. Kabari aku secepatnya jika kau sudah yakin dengan alamat baru di resume-mu dan kita akan membahas kontrak kerja.” Enzo menegakkan tubuhnya, meringis. “Aku benci harus mendesak sesuatu, tapi aku tidak bisa memberimu waktu terlalu lama. Postingan lowongan kerja itu viral karena typo dari tim Marketing kami. Karenanya, aku menerima ratusan pelamar setiap hari. Kau harus bergegas agar bisa bersaing dengan mereka.”
Mati saja aku.
Aku tidak pernah berpikir jika tidak memiliki apartemen akan menjadi bumerang bagiku.
Aku dan Enzo saling menjabat tangan, mengakhiri proses wawancara itu.
Hal pertama yang kulakukan setelah keluar dari ruang kerja Enzo adalah merogoh ponsel dari saku jeansku. Begitu pula secarik kertas yang sudah kubawa-bawa sejak kemarin.
Aku berjalan di koridor kubikle kantor sambil memasukkan angka yang tertera di kertas. Menghubungi seseorang yang kuhindari sejak pertemuan pertama kami.
Panggilan tersambung, bersamaan dengan bunyi nada dering yang melantun memenuhi ruangan. Aku menoleh ke arah sumber suara—berasal dari salah satu meja kerja.
Tatapanku jatuh pada seorang gadis yang menyandarkan kepala pada lipatan tangan di meja. Rambut pirangnya terurai berantakan menutupi wajahnya—tanpa perlu melihat pun, aku tahu jelas siapa gadis itu, gadis sinting itu.
Aku memutuskan sambungan telepon dan mendekat ke arahnya. Dia tidak bergerak dari posisinya, jelas sekali sedang tertidur nyenyak.
Sambil menahan senyum, aku menarik rambut pirangnya, sedikit terlalu keras.
“Motherfather!” Pekiknya, terhempas dari alam mimpi. Mata sayunya melebar ketika menyadari kehadiranku, seperti melihat sosok iblis. “Lucifer…”
Beberapa helai rambut menempel di sekitar pipi. Kantung matanya lebih hitam dari biasanya. Wajahnya basah karena keringat. Lipstik belepotan di punggung tangan. Ada bercak jam tangan yang membekas di dahinya. Lengkap dengan benjolan kecil di puncak hidungnya yang semakin memerah.
Oh, perutku sakit karena menahan tawa.
“Apa kau selalu tidur di sembarang tempat seperti ini, Sunshine?”
“Tidak!”
Mata birunya melotot penuh kebencian, langsung mengerti jika aku menyindirnya perihal dia tidur di kamarku tiga hari yang lalu.
“Kau terlihat menjijikkan, ngomong-ngomong.”
“Ya, tuhan!” Gadis sinting itu memaki pelan ketika melihat bayangannya dari cermin kecil di meja kerja. Ia mulai merapikan rambutnya, “Apa yang kau lakukan di kantorku, Lucifer?”
Aku memperhatikan papan nama yang menggantung di lehernya, “Kau bekerja di sini?”
"Menurutmu?!” Ketusnya, mendelik sebal.
Oh, good God. Dari semua tempat di muka bumi New York, kenapa gadis sinting ini harus bekerja di sini?
Mata birunya mandelik tajam, “Apa kau mengikutiku, Lucifer?”
“Aku bukan kau, Sunshine.” Sindirku. Sialan, bagaimana caranya aku menjelaskan ini. “Aku baru selesai wawancara kerja di sini.”
“Serius?!" Mata birunya berbinar, "Kau akan bekerja di kantorku?!” Lalu gadis sinting itu mulai berteriak, yang seketika membuat kami menjadi pusat perhatian.
Aku memelototinya dan dia tersenyum kikuk.
Gadis itu menambahkan dengan suara yang lebih pelan, “Maksudku, syukurlah kau bekerja di tempatku. Setidaknya aku bisa menghubungimu tanpa harus tinggal bersama.”
"Tentang itu…” Aku meringis, menyisir rambutku dengan jari, “Apa tawaran tinggal denganmu masih berlaku?”
Mulutnya menga-nga lebar yang cepat-cepat ia tutup dengan tangan. Gadis itu bangkit berdiri, menggamit jemariku dan menarikku berjalan bersamanya tanpa aba-aba.
Dia berhenti setelah memasuki pintu yang mengarah ke tangga darurat. Baru saat itu dia melepaskan tangannya.
“Ini bukan mimpi, kan?” Dia menepuk-nepuk pipinya, “Aku tidak sedang berhalusinasi, kan?”
Kenapa gadis sinting ini bisa sangat aneh dan sangat menggemaskan dalam waktu yang sama?
“Tidak, sunshine.” Aku menahan senyum, “Aku nyata.”
Gadis itu mendekat padaku. Dia meneliti dengan mata birunya. Ketika berhenti di depanku, gadis itu berjinjit. Kedua tangannya mendarat di wajahku, meraba pipiku.
“Kau lagi ngapain, sih?!”
Tubuhnya berada begitu dekat hingga aku bisa mencium aroma kelapa dari rambut pirangnya. Ia mendongak dan aku menunduk padanya, membuat hidung kami nyaris bersentuhan.
“Hanya memastikan.” Katanya, dengan bibir manyun. “Tidak mungkin kau—“
Bibir itu. Aku tidak bisa mendengar kelanjutan ucapannya karena betapa bibirnya sangat mengganggu konsentrasi.
Aku tahu rasanya.
Sialan, aku ingin merasakannya lagi.
“Aku tidak bisa percaya pada diriku sendiri saat ini. Karena aku baru tidur 2 jam setelah terjaga selama dua hari—“
Oh, persetan.
Aku manangkup lehernya, manarik wajahnya, dan sebelum aku bisa berpikir, aku mencium bibir itu, lagi.