13. "Kau harus tidur bersamaku jika ingin tahu."

1580 Kata
Sunshine’s POV Hail-to-Lucifer is my roommate! Atau, aku harus mulai memanggilnya Lucas sekarang? Tidak, itu terdengar aneh. Lucas adalah nama yang terlalu baik untuk lelaki yang mempunyai kepribadian seperti iblis. Lucifer lebih cocok untuknya. Ngomong-ngomong, aku belum menemukan solusi yang tepat untuk membujuk Lucifer. Tapi hal itu akan segera kuselesaikan sore ini. Aku terjaga semalaman kemarin, memikirkan ide genius agar iblis di kamar sebelah bisa menyerah dan mau membantu hidupku. Aku bisa melihat Lucifer sedang membereskan barang-barang dari pintu kamar yang ia biarkan terbuka. Iblis itu mengenakan kaos rebel hitam yang tampak usang yang dipadupadan dengan ripped jeans hitam. Aku mengetuk daun pintu pelan, “Hi. Kau lagi apa?” Tanyaku, ketika dia menoleh. Pandangannya menelitiku dengan tatapan aneh. Aku menggunakan piyama pendek berwarna kuning pastel dengan gambar bunga daisy kecil di bagian kanan atas. Rambutku hanya kusanggul berantakan. Aku sudah ada di titik dimana aku tidak lagi ingin repot-repot berdandan rapi di depannya seperti saat pertama kali dia berada di apartemenku. Karena ternyata, lelaki ini adalah iblis. “Keliling ka’bah.” Timpalnya sarkas dengan ekspresi datar. Mengerti, kan, maksudku? Lucifer menghampiriku. Sebelah lengan menumpu di kusen pintu, menghalangi jalanku. “Apa yang kau inginkan, Sunshine?” Otakku berhenti bekerja seketika. Tatapanku jatuh ke sudut bibirnya yang berlumuran saos. Aku meneguk ludah, “Bibirmu…” Jemariku terulur hendak menyapu saos di bibirnya, tapi Lucifer menarik wajahnya menjauh. Menyapu sudut bibirnya dengan ibu jari, meliriknya sekilas, sebelum mengemut jarinya sendiri. “Kau terlihat seperti menginginkan ciuman ketiga. Tapi aku pasti salah, karena jelas-jelas kau melarangku untuk menciummu kemarin.” Iblis itu tersenyum licik, “Jadi, berhenti basa-basi dan cepat katakan apa yang kau inginkan, Sunshine?” Aku ingin marah. Tapi bagaimana aku bisa marah jika semua ucapan dari mulutnya adalah fakta? Bahkan tubuhku setuju dengan ucapannya. Pipiku memerah begitu iblis itu menyebutkan tentang ciuman kami kemarin. “Kulihat kau sedang beres-beres. Butuh bantuan?” “Tidak.” Aku sungguh tidak ingin memulai perang dengannya saat ini. Tapi iblis itu tampaknya sedang tidak dalam mood untuk gencatan senjata. “Tidak bisakah kau lebih ramah karena kita roommate sekarang?” Pintaku, dengan nada selembut mungkin. “Hm…” Lucifer mengetuk dagunya, memanyunkan bibirnya, seolah berpikir. Setelah agak lama, iblis itu menambahkan, “Males.” “Lucifeeer! Aku berjanji tidak akan mengganggumu. Biarkan aku masuk!” “Kau?” Sambil melipat tangannya, Lucifer mendekat selangkah hingga tingginya menjulangiku. “Ingin masuk ke kamarku? Aku mundur selangkah. Berada terlalu dekat dengannya sekarang setelah ciuman itu, menghantarkan sengatan aneh ke tubuhku. Dan aku tidak suka tersengat. “Aku janji tidak akan tidur di kasurmu lagi.” Aku memberanikan diri mendongak untuk menatapnya, “Aku punya penawaran bisnis.” Tambahku, memamerkan buku catatan yang kubawa. “Tidak tertarik.” Balasnya, jutek. “Kau tidak bisa terus mengacuhkanku, tahu.” Aku berusaha tersenyum, menahan amarah. “Kita tetap harus membicarakan peraturan selama tinggal bersama.” Lucifer menatapku sengit. Mata hitamnya meneliti dengan penuh kecurigaan. Lalu iblis itu mulai berjalan kembali ke kamarnya. Aku menganggap itu sebagai iya. Aku mengekor di belakang Lucifer. Pandanganku memendar, memperhatikan kamar Kaitlyn yang sangat berbeda karena sekarang. Dulunya, kasur Kaitlyn berwarna hijau pastel. Sekarang berubah menjadi midnight blue. Pot bunga di sepanjang rak, berganti jadi koleksi hot wheels. Tatapanku tertuju pada alat pemutar kaset piringan hitam yang berada di meja belajar, tepat di sebelah kardus dipenuhi album musik. Aku hendak mengambil salah satu koleksi kaset vintage itu, tapi lenganku dicengkram olehnya. “Aku mengizinkanmu berada di kamarku,” Katanya dingin, mencengkram tanganku sedikit terlalu kuat, “Bukan berarti kau dizinkan menyentuh barang-barangku.” “Maaf…” Aku meringis. Lucifer melepaskanku masih dengan tatapannya tajam. Dia berlalu ke arah koper yang terbuka di depan lemari. Sejak pertemuan kami, Lucifer hanya pernah menatapku seperti itu dua kali. Pertama, ketika aku membahas tentang musiknya di kamar hotel waktu itu. Dan, sekarang. Lucifer tidak ingin membahas musik bersamaku, got it. “Duduk.” Perintahnya, masih dengan nada dingin. Lucifer tidak melihatku saat mengatakan itu. Mengeluarkan pakaian dari koper dan menyusunnya dengan rapi di lemari. Aku duduk canggung di pinggir ranjangnya, meletakkan buku catatanku di samping. Ada sekotak pizza yang hanya tinggal dua potong dan beberapa botol bir di nakas. Setelah selesai, Lucifer memasukkan kopernya ke ruang kosong di lemari—tempat dimana Kaitlyn biasanya menyusun koleksi tasnya. Iblis itu berjalan ke arah ranjang dan berhenti di depan nakas. Ia mencomot sepotong pizza. Lalu duduk di lantai, bersandar pada nakas, dekat kakiku. “Jadi apa yang ingin kau bicarakan?” Tanyanya sebelum menggigit pizza. “Well, aku punya beberapa peraturan selama kita tinggal bersama.” Aku menarik kakiku, duduk bersila di tepi ranjangnya. “Peraturan pertama: aku sedikit ketat soal kebersihan. Karena kita akan berbagi sofa yang ada di ruang tengah, aku akan sangat menghargai jika kau… tidak bercinta di sana.” Lucifer tersedak pizza. Aku mengambil sebotol bir yang terbuka dari nakas dan menyerahkan padanya. “Aku tidak punya rencana untuk melakukan itu.” Katanya, setelah berhasil menelan pizzanya. "Tidak di sana." “Hanya berjaga-jaga,” Bisikku dengan pipi yang terasa panas, “Soalnya katamu, kau sering membawa pulang teman kencan.” “One night stand,” Balasnya, mengoreksi. “Kau tidak berkencan?” “Bukan prioritasku saat ini.” Dia meneguk bir lagi. “Aku tidak punya energi untuk melibatkan perasaan dengan perempuan. One night stand lebih mudah.” “Tidak heran kenapa dia langsung menciumku di kamar mandi waktu itu.” “Hey, kau yang mendorongku ke kamar mandi, Sunshine.” Mataku melotot lebar. Pipiku seketika bersemu merah menyadari kebodohanku, “Bukannya tadi aku ngomong dalam hati?” “Aku bisa mendengarmu. Seluruh warga Kota New York bisa mendengarmu.” Lucifer tersenyum miring, “Belum bisa melupakan, huh?” “Jangan gila!” Bantahku, nyaris menjerit. Aku mengalihkan tatapanku ke arah lain, kemana saja selain wajahnya yang tersenyum penuh kecurigaan padaku. “Ngomong-ngomong, peraturan selanjutnya...” Gumamku, mengalihkan topik. “Aku biasanya berbagi bahan makanan dengan Kaitlyn. Tapi jika kau ingin kita makan terpisah, aku tidak keberatan,” “Bagaimana jika kita patungan membeli bahan makanan,” Katanya, menyarankan. “Lebih hemat jika kita masak sendiri.” “Siapa yang memasak? Karena aku tidak bisa memasak.” “Sudah kutebak.” Tukasnya, penuh sindiran. “Memangnya kau bisa?” Balasku, sengit. “Tentu saja, Sunshine.” Dia mengatakan itu dengan senyum kebanggan. Oh. Lucifer: 1 Sunshine: 0 “Aku tidak keberatan jika kau ingin masak untukku.” “Hanya jika kau bersedia melakukan untukku sesuatu sebagai gantinya.” Aku menatapnya curiga, “Seperti?” “Membersihkan kamarku.” Sebelum aku membantah, dia menambahkan, “Aku tidak terlalu suka bersih-bersih. Tapi tampaknya, kau senang melakukan itu. Ketika kita akan berangkat kerja, aku akan berada di dapur membuat sarapan. Kau bisa membersihkan kamarku saat itu. It's a win-win siuation.” Ide yang tidak buruk. Terkadang, badanku jadi pegal jika aku tidak beres-beres satu hari saja. Membersihkan sesuatu seperti pengobatan bagiku. Tiba-tiba aku terpikir, “Bagaimana jika… ada gadis di kamarmu?” “Gadis-gadis itu biasanya sudah menghilang sebelum matahari terbit.” “Kau mengusir mereka?!” “Secara lembut.” “Bagaimana?!” “Rahasia.” Lucifer memiringkan kepala, mendongak padaku dengan senyum licik. “Kau harus tidur bersamaku jika ingin tahu.” Mulutku terbuka. Hendak memaki. Tapi pipiku terlalu panas untuk bisa berteriak. Sialan. Kekuatanku mulai hilang. Lucifer: 2 Me: 0 “Ngomong-ngomong,” Aku mencoba untuk tetap fokus, “Aku setuju.” “Tidur denganku?” “EW! BUKAN ITU!” Aku melempar Lucifer dengan bantal terdekat yang kutemukan di kasurnya, “Aku setuju untuk membersihkan kamarmu, iblis mata keranjang!” Lucifer hanya tertawa, “Tenang, Sunshine. Tidak perlu bermain kasar.” Aku ingin marah, tapi semua itu menguap hanya karena mendengarnya tertawa. Lucifer jarang sekali tersenyum tulus selain senyum menjengkelkan khasnya. Apalagi jika tertawa. Mungkin, ini pertama kali iblis itu tertawa sejak pertemuan pertama kami. Dan untuk sesaat, dia tidak terlihat seperti Iblis. Seperti malaikat malahan. Malaikat pencabut nyawa. “Apa kau punya peraturan yang ingin kau tambahkan, Luciter?” Aku bertanya. "Hanya satu." Mata hitam mengunci tatapanku, “Jangan pernah gigit bibirmu di depanku.” Aku tidak tahu apakah dia sengaja mengatakan itu untuk mengingatkanku pada ciuman kami kemarin—tapi jika iya, dia berhasil. Efeknya sangat cepat, menggelitiki perut dan seluruh tubuhku. “Kenapa?” Aku tidak tahu apa yang merasukiku. Aku harusnya hanya diam dan setuju. Tapi sisi gelapku ingin tahu kenapa dia begitu menentangnya. Mata hitam Lucifer semakin gelap. Mendadak, ia bergeser. Tidak lagi membelakangiku, tapi mulai menghadapku. Aku duduk bersiladi kasurnya. Sedangnya ia duduk di lantai, tepat di bawahku. Kedua lengannya kini berada begitu dekat dengan pahaku yang terbuka, aku bisa merasakan kehangatannya. “I hate it.” Desisnya, menatap bibirku begitu lekat. Nafasku tersenggal, “You hate my lips?” Jemarinya mulai mencengkram sprei, “Jangan menggodaku, Ruby.” Pertama kali Lucifer memanggil namaku, jantungku mulai berdebar. Aku adalah gadis yang baik. Selalu mengikuti aturan. Tapi mengapa, ketika mata hitam itu menatapku dengan tatapan membunuh dan rahang yang mengatup, aku justru ingin menantangnya? Ingin membuatnya marah, ingin mengigit bibirku. Oh, Tuhan. Panas sekali di sini. “Dimengerti.” Balasku, dengan suara yang gemetar. Aku bangkit dari kasurnya dengan cepat, menyambar buku catatanku. “Hanya itu yang ingin kusampaikan—“ “Kau tidak ingin membahas penawaran bisnismu, Sunshine?” Katanya, menyela ucapanku. “Kau mau mendengarkan penawaranku?!” “Hanya jika kau berjanji untuk tidak berteriak.” Alih-alih kembali duduk di ranjang, aku duduk bersila di lantai tepat di hadapannya. Membuka buku catatanku dengan semangat. “Deal.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN