12 | Mau Jadi Istri Orang Kaya Nggak?

2176 Kata
Lemon squash yang baru aku sedot sedikit, menyembur keluar sampai cipratannya mengenai wajah orang yang duduk di hadapanku. Bukan, bukan karena rasanya terlalu masam sehingga aku kaget. Yang bikin kaget adalah ucapan Pak Dirga barusan. "Bapak pasti udah gila." Pak Dirga meraih tisu dan membersihkan setitik semburanku di pipinya. "Saya lebih yakin kamu yang lebih gila karena berani-beraninya menyemburin minuman di wajah atasan kamu." Iya, kayaknya aku juga gila, makanya aku aku nggak menyesal telah menyembur Pak Dirga. Salah sendiri kenapa bicara nggak masuk akal, aku kan syok jadinya. Masa aku disuruh menggoda Pak Anggit. "Bapak, nih, becandanya bukannya bikin ketawa tapi bikin kaget. Masa saya disuruh godain Pak Anggit." "Katanya mau nikah sama orang kaya. Jadi, udah nggak pengen lagi?" "Ya, pengen, sih ...," aku menggaruk kepala bingung. "Tapi ya nggak Pak Anggit juga kali, Pak." "Emangnya Anggit kenapa? Dia masih muda, kaya, dan pastinya siap nikah siap membuahi rahim kamu." "Astagfirullah, Pak Dirga!" aku melirik sekitar coffee shop tempat kami duduk dengan resah, sementara Pak Dirga ketawa kencang menertawai ucapannya sendiri. Aku menggaruk rambut, benar-benar bingung. "Ini Bapak bercanda apa serius, sih?" tanyaku memastikan. Tidak ada yang bisa menebak pasti apa pikiran Pak Dirga, yang jelas, ini terasa aneh aja. Feeling-ku udah nggak enak saat Pak Dirga meneleponku dan menyuruhku menemuinya besok di sebuah kedai kopi depan kantor, karena ada hal pribadi yang mau dibicarakan. Aku sama sekali nggak kepikiran hal pribadi apa yang dimaksud, akrab sama Pak Dirga pun cuma karena Pak Dirganya yang ramah, makanya aku deg-degan. "Astaga Sonya, kamu kira saya senganggur itu sampai ngajak kamu ketemu cuma buat bercanda?" tanyanya retoris. "Ini tuh, menyangkut masa depan adik sepupu saya sendiri." "Tapi kenapa mesti saya, Pak?" ringisku masih sulit percaya. "Karena Anggit butuh calon yang seperti kamu." "Hah? Seperti saya?" Seketika aku coba-coba mengingat seperti apa aku. Cantik, bukan aku sendiri yang bilang itu. Tapi ya udah, selain itu aku nggak lihat ada hal lain dari diriku yang unggul. Maka wajar, jika aku berpikiran, "maaf nih, sebelumnya, Pak. Apa maksudnya biar memperbaiki keturunan?" Tawa Pak Dirga kembali meledak. "Sonya ..., Sonya ..., kamu ini terlalu ngeremehin Anggit. Kamu lupa, dia itu keluarga Hartawan. Sejelek-jeleknya Anggit, banyak yang mau sama dia." "Justru karena saya tahu itu, Pak, makanya saya heran. Kenapa saya? Kenapa perempuan seperti saya?" tanyaku lagi lebih menuntut, setengah kesal lebih tepatnya. "Lagian, bukannya Pak Anggit nggak suka dijodoh-jodohin? Dia ingin berhubungan secara natural." Kali ini giliran Pak Dirga yang melotot kaget. "Kok kamu bisa tahu?" "Saya pernah nggak sengaja dengar Pak Anggit ngomong begitu sama ibunya di telepon, sewaktu Pak Anggit kasih tebengan saya." Pak Dirga menjentikkan jari sambil mengangguk mantap. "Cocok. Berarti saya nggak salah pilihin calon. Sejak saya cium bau parfum kalian sama, saya udah tebak kalian pasti ada apa-apa." "Ada apa-apa gimana maksudnya, Pak? Itu karena saya pakai parfum nggak lihat-lihat, jadinya Pak Anggit nggak sengaja kena semprot." "Terus kemarin di kantin kalian kelihatan ngobrol." "Ya, sama karyawannya yang lain Pak Anggit juga sering ngobrol." Jika aku menceritakan detil, pasti Pak Dirga akan makin ngawur. "Pak, Bapak belum jawab, lho kenapa saya? Kan banyak cewek lain yang setara sama Pak Anggit, yang sama-sama dari keluarga tajir melintir." "Gini, Nya." Pak Dirga merubah posisi duduknya yang semula senderan santai, jadi lurus menghadap aku. "Oke, maaf, Sonya. Tadi saya sedikit bercanda dan kayaknya kamu panik. Sekarang, saya akan mulai bicara serius." "Maksudnya?!" pekikku lebih keget lagi. Apa-apaan ini? Bisa-bisanya aku tertipu, mengira Pak Dirga sungguhan ingin menjodohkan sepupu sekaligus CEO Nitiharta sama aku. "Sabar, Sonya ...." Aku lantas mengatupkan bibir rapat. "Sebenarnya ..., ini sedikit rahasia. Ah, engga. Sangat sangat rahasia, jadi kamu jangan bilang siapa-siapa, kalau mau berkarir lama di Nitiharta," peringat Pak Dirga, benar-benar tampak serius. Tanpa sadar, aku pun mengangguk dengan fokus. "Jadi, saya minta kamu buat menggoda Anggit, bukan buat menikah sama dia. Saya ingin kamu membuktikan kalau dia nggak belok." "Maksudnya?" "Dia selama ini sangat dingin sama cewek. Beberapa kali ibunya sempat jodohin dia, dan dua orang cewek itu bilang kayak Anggit kayaknya nggak suka cewek." "Maksudnya?" Pak Dirga memejam sesaat. "Daripada tanya maksudnya-maksudnya, kenapa nggak kamu ciba cerna baik-baik dulu, Sonya?" "Oh, maaf," aku mengerejap, tersadar dari kebingunganku. "Maksud Bapak, Pak Anggit itu gay?" "Stt ...." Pak Dirga memberi isyarat agar aku memelankan suaraku. Sekali lagi aku mengatupkan bibir rapat. "Ah, masa sih, Pak? Waktu peresmian showroom tempo hari saga lihat Pak Anggit jalan sama anak bungsunya Yeosman, tuh." "Nah, dia salah satu dari dua cewek yang bilang begitu." "Saya nggak percaya," gumamku masih nggak habis pikir. Dari modelan orangnya, Pak Anggit nggak kelihatan seperti gay yang selama ini aku tahu. Yaitu, antara macho atau nggak kemayu. Bukannya aku mengeneralisir, ya, hanya saja kebanyakan gay yang aku tahu seperti itu. Aku nggak mau terlalu yakin, mungkin saja mainku yang kurang jauh. "Itu tugas kamu buat membuktikan." "Caranya?" Sedetik kemudian, aku tersadar sesuatu. "Tunggu dulu, ini Bapak nggak nyuruh saya telanjang di depan Pak Anggit dan lihat anunya bisa berdiri atau enggak, kan?" "Astaga, tentu nggak sampai sejauh itu, Sonya. Tapi kalau kamu mau, ya terserah." Refleks, aku menyilangkan tangan di d**a. "Saya nggak semurahan itu ya, Pak!" Meskipun pernah telanjang bulat beberapa kali di depan Aldo, bukan berarti aku mau telanjang juga di depan laki-laki sembarangan. "Kan, saya bilang terserah, Sonya." Pal Dirga menghela napas, lalu berkata lagi, "intinya kamu mau apa enggak? Kalau kamu bisa bikin dia tertarik sama kamu, itu cukup buat membuktikan dia nggak gay tanpa perlu kamu buka baju di depan dua." "Kalau saya mau, saya dapat apa?" tantangku. Nggak mau merepotkan diri tanpa timbal balik. "Kamu tinggal sebut mau apa," jawab Pak Dirga enteng. "Waktu kamu dua bulan, gagal atau berhasil, kamu akan tetap mendapatkannya. Kalau menggoda kesannya negatif, kita ganti aja sebutannya. Selama dua bulan itu, jadilah teman Anggit. Dia di sini nggak punya banyak teman, ya kalaupun ada nggak ada pengaruhnya, kehidupan dia cuma bolak balik apartemen sama kantor. "Itulah alasan terbesar kenapa saya milih kamu, Nya, karena kamu cerewet, easy going, dan kalau pinjam bahasa Bu Elisia, kamu itu nggak tahu malu." "Yang saya dapat ini, berupa materi, Pak?" Pak Dirga mengangguk. "Iya, kamu mau apa? mobil, uang tunai, sebut aja, asal nilainya nggak lebih dari seratus juta. Sebenarnya, seandainya Anggit nggak gay, kamu akan dapat imbalan lebih besar." "Apa itu, Pak?" "Jadi istri Bos besar Nitiharta." Aku menelan ludah, tawaran Pak Dirga sangat menggiurkan, terlebih poin terakhir yang disebutkan. Tapi aku nggak boleh silau sama harta. Percobaan caper dan pencitraan beberapa waktu lalu saja gagal dan malah jadi boomerang yang bikin namaku tercemar bau terasi, aku nggak kebayang mesti menggoda Pak Anggit dan menjadi temannya buat melihat apakah dia tertarik sama wanita. Dengan karakter Pak Anggit, aku yakin itu akan sangat sulit. Lagipula, tampak rendahan sekali jika aku melakukannya dem materi. Namun, aku tidak bisa bohong kalau aku merasa ini bisa dicoba dengan bantuan Pak Dirga. "Hm ..., kalau imbalannya saya minta berupa promosi gimana, Pak?" Pak Dirga mengurut dagu, tampak mempertimbangkan. "Boleh," putusnya. "Tapi kamu nggak bisa mendapatkannya seketika waktu. Saya menjamin kamu akan dipromosikan selevel manajer dalam kurun waktu tiga tahun, ini demi kesiapan kamu dan menghindari anggapan nggak enak." Aku harus jawab apa? Mendekati Pak Anggit adalah pekerjaan sulit, tapi Pak Dirga menjanjikan imbalan yang menggiurkan. Lagipula, ini cuma dua bulan. "Gagal atau berhasil aku memastikan, imbalan saya nggak hangus kan, Pak?" aku memastikan lagi, takut-takut Pak Dirga akan lupa dengan janjinya sendiri. "Iya, Sonya ...." "Gimana cara saya ngedeketin Pak Anggitnya, Pak?" "Gampang. Lakukan aja kayak yang kemarin kamu lakukan." "Apa itu?" "Kucing." *** Hari mingguku yang sudah aku agendakan untuk maskeran dan rebahan seharian harus ditunda ke minggu depan lantaran hari ini aku harus memulai misi pertamaku dalam menggoda Pak Anggit. Benar kata Pak Dirga, untuk menyatukan orang orang yang nggak saling kenal adalah kesamaan minat atau hobi. Pak Anggit jelas tidak bisa aku ajak berkeliling drugstore untuk mencoba satu per satu lipstik tester atau membuay video Toktik yang seru. Bahkan, Pak Dirga sendiri nggak yakin selain pekerjaan Pak Anggit berminat ke hal apa. Satu-satunya yang dia tahu saat ini adalah Anggit sedang memelihara kucing. Meski aku nggak suka-suka banget sama kucing, terpaksa aku pura-pura suka. Menjelang siang tadi Pak Dirga mengirim pesan, menyuruhku datang ke sebuah alamat. Dan di sinilah aku sekarang, di sebuah kafe kucing yang lantai atasnya merupakan klinik dokter hewan. Kata Pak Dirga, siang nanti Pak Anggit akan ke sini untuk memeriksakan kucingnya. Aku sedang duduk sendirian sambil mangku satu kucing yang anteng banget aku elus-elus, manjanya bikin gemes. Aku sebenarnya sangat gugup, jangan sampai niat menarik perhatian Pak Anggit, malah aku kacaukan seperti sebelum-sebelumnya. Setiap dengar lonceng orang buka pintu, aku pasti noleh sampai leherku tegang. Hingga akhirnya yang kutunggu-tunggu akhirnya datang. Pak Anggit langsung melihat dan mengenali aku karena aku duduknya memang di dekat pintu. "Oh, Bapak ...," gumamku membuat mimik wajah kaget. Di SMA dulu aku sempat gabung ekskul teater, masalah akting dan berlakon, bisa lah sedikit-sedikit. "Kok Bapak bisa ada di sini?" kataku, merasa harus memulai percakapan. Karena karena kalau tidak, 100 persen aku yakin Pak Anggit hanya akan mengangguk kecil dan pergi gitu aja. Pak Anggit mengangkat sedikit pet carrier yang ditenteng tangan kirinya. "Oh, itu kucing Bapak? ya ampun lucu sekali." Aku membungkuk untuk mengintip isinya. Ada seekor kucing berbulu pendek warna cokelat keemasan yang meringkuk lemas di dalam carrier itu. "Sakit apa, Pak? Kasihan." "Kalau saya tahu dia sakit apa, saya nggak akan ke sini." "Oh, iya, ya," aku meringis merasa begitu konyol. "Ya udah, Pak, naik aja. Semoga nggak kenapa-kenapa kucingnya." Dan tanpa menunjukkan minat ingin berbasa basi, Pak Anggit langsung nyelonong pergi. Aku mendesah kembali duduk di kursiku. Semangat Sonya, sejak awal kamu tahu ini nggak akan mudah. Jangan dulu menyerah. *** Sekitar setengah jam kemudian, aku lihat Pak Anggit sudah turun. "Gimana kata dokternya, Kak?" tanyaku seolah benar-benar khawatir dengan keadaan si kucing. "Nggak ada masalah serius. Dia cuma belum terbiasa di tempat baru." "Oh, syukur lah," aku mendesah pura-pura lega. "Pasti dia masih terbiasa sama rumah Bapak yang lama, ya, Pak." "Dia baru saya adopsi." "Oh ...," aku pun manggut-manggut mengerti. "Di rumah ada kucing lain nggak, Pak? Kalau nggak ada, bisa jadi dia bosan di tinggal sendirian di rumah. Tuh, lihat, dia kayak penasaran pengen keluar." Pak Anggit ikut memperhatikan kucingnya, padahal aku cuma asal bicara. Memahami manusia saja susah, mana bisa aku mengerti psikologis kucing. "Apa boleh dilepas di sini?" tanya Pak Anggit sepertinya sepakat dengan cetusanku. Yes! "Coba saya tanya dulu ya, Pak." Aku lalu bertanya pada seorang waiters dan ternyata diizinkan. Barangkali karena ini bukan di kantor, Pak Anggit terlihat sedikiiit lebih santai. Dia duduk menikmati toast-nya di atas meja, selagi aku lesehan di lantai—sebelhm masuk kami dijawabkan buka sepatu dan pakai sandal khusus, aku memangku kucingnya, membantu dia bersosialisasi dengan kucing-kucing lainnya. Karena memang masih lemas, jadi dia nggak terlalu aktif. "Mana kucing kamu?" tanya Pak Anggit akhirnya bicara tanpa kutanya lebih dulu. "Kebetulan saya nggak punya kucing, Pak. Makanya saya suka ke kafe-kafe kucing begini," aku menjawab dengan jawaban yang sudah kupersiapkan, tapi nggak ini bukan sepenuhnya kebohongan. "Saya dari kecil sebenarnya suka kucing, tapi adik saya alergi bulu kucing, makanya saya nggak pernah punya kesempatan buat pelihara kucing di rumah. Bapak udah lama pelihara kucing?" "Baru beberapa hari ini." "Oh ya?" aku menoleh seolah nggak nyangka. "Saya kira Bapak udah lama pelihara kucing, karena saya lihat waktu itu Bapak kelihatan peduli banget sama kucing." "Sama kayak kamu, keluarga saya juga ada yang alergi bulu kucing, jadi saya nggak bisa bawa kucing ke rumah. Sekarang di sini saya tinggal sendiri, makanya bebas." "Oh ..., bisa sama gitu, ya, Pak." Maunya, kutambahin 'jangan-jangan kita jodoh' tapi kalau Pak Anggit ternyata beneran gay, ya, amit-amit lah. Bukannya aku menganggap kaum penyuka sesama jenis itu menjijikkan, hanya saja, sebagai perempuan dengan oriemtasi seksual lurus, tentu aku juga ingin mendapat laki-laki lurus. "Ngomong-mgomong kucingnya namanya siapa, Pak?" tanyaku, menyambung agar obrolan kami nggak putus. "Nggak saya kasih nama." "Kenapa gitu, Pak?" "Emang harus?" "Ya ..., enggak, sih. Tapi, kan, kalau manggil lebih enak itu ada namanya. Daripada Pus-Pus atau Meng-Meng." "Saya nggak ada masalah sama itu." Aku menghela napas, mulai bosan membangun percakapan sendirian. Aku memilih bermain-main dengan kucing malang ini, pantas saja dia mogok makan, dia pasti bosan karena majikannya tidak pernah mengajaknya mengobrol. Saat itulah aku sadar ada yang aneh dengan kaki belakanb kucing ini. "Kakinya memanh cacat," ujar Pak Anggit seolah tahu apa yang sedang kuperhatikan. "Kata orang di shelter tempat aku mengadopsi, dulunya dia korban tabrak lari." "Ya ampun, kasihan banget. Maaf kamu mesti mengalami itu ya, Cing." Aku beneran nggak kuat bayangin makhluk kecil dan kurus ini dulu kena musibah sampai bikin kakinya bengkok begini. Untungnya dia ketemu orang baik yang rawat, sayangnya sekarang dia kena apes lagi diadopsi oleh orang membosankan. Kuelus-elus bulu cokelat emasnya, dan aku cium-ciumi kepalanya sayang. Saat aku tanpa sengaja menoleh ke arah Pak Anggit, aku menangkat basah dia sedang ngelihatin aku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN