CHAPTER 03

3991 Kata
Setelah mengantarnya ke apartemen Lizzy semalam, pagi Ini Jungkook tak bisa menemukan San sehingga dia berteriak di lorong dorm, suaranya akan mampu membangunkan member lain yang masih terlelap di alam mimpi. Jungkook berdecak saat melihat pintu menuju balkon terbuka sedikit dan ada asap yang mengganggu penglihatannya. Sudah dipastikan ada orang merokok dan Jungkook bisa menebaknya.             “San!” Jungkook membuka pintu lebih lebar, menemukan manajernya sedang menikmati pagi dengan secangkir kopi dan rokok yang terselip di antara telunjuk dan jari tengahnya.             “Apa?” jawab San santai, seperti biasa. “Pagi-pagi sudah membuat keributan.”             “Aku lapar, ayo beli sarapan di tempat biasa saat aku masih jadi trainee.”             “Mau membuat masalah sepagi ini?”             “Apa perut laparku adalah masalah?” tanya Jungkook, skeptis.             “Tentu saja tidak. Yang jadi masalah adalah kau ingin keluar seenaknya. Jangan lupakan status idol di belakang namamu. Biar aku saja yang beli makanan. Malas jika nanti di jalan bertemu fans dan mereka berteriak karena melihatmu.” San mematikan rokoknya pada asbak, lalu menaikkan sleting jaket yang dia pakai dan hendak pergi namun Jungkook menahan lengannya.             “Aku ikut,” kata Jungkook, “mau makan di sana.”             San melepaskan tangan Jungkook darinya untuk melirik benda penghitung waktu yang berada di pergelangan kiri. “Jam delapan nanti kau ada latihan menari. Jangan lebih dari satu jam ya sarapannya.”             Senyum Jungkook mengembang, menunjukkan giginya yang mirip kelinci. Dia segera berbalik untuk jalan di depan San dan gadis itu mengikuti sang maknae keluar dari dorm. Supir ternyata sudah siap mengantar mereka berdua ke restoran yang Jungkook minta sehingga San yakin bahwa Jungkook benar-benar ingin sarapan di sana.             “Aku akan makan sepuasnya dan nanti aku akan bungkus juga untuk sarapan hyungs.”             San hanya mengangguk mendengar ocehan Jungkook saat mereka berdua sudah memasuki restoran yang buka 24 jam ini. Suasana khas Korea langsung menyambut. Jungkook memilih meja yang berada paling pojok, tak peduli meski ada beberapa pelanggan yang melirik-lirik. Mereka pasti sadar bahwa orang yang memakai jaket hitam tanpa make up di wajahnya adalah Kim Jungkook..             “Tenang saja, San. Aku cuma mau sarapan,” kata Jungkook pada San yang menatapnya judes.             Pesanan Jungkook sudah datang, dia mulai menikmati sarapannya namun beberapa menit kemudian ada seorang gadis manis dengan seragam sekolah menghampiri Jungkook. Malu-malu berkata, “Jungkookie-oppa, boleh aku minta foto? Oppa tampan sekali.”             “Tidak bisa, Jungkook sedang makan.” San langsung membuka suara. Ditambah, prosedur member TTS memang sudah seketat itu. Mereka tidak boleh dimintai foto.             Jungkook melirik San seolah memberi kode agar San jangan marah-marah dan langsung mencoretkan tanda tangannya pada sebuah kertas agar penggemar tidak terlalu kecewa.             Setelah gadis itu pergi dan mengatakan beribu pujian pada Jungkook, masalah yang San selalu takuti akhirnya terjadi. Pengunjung yang lain sekarang berbondong-bondong mendekati meja Jungkook.             San sedikit menjauhkan orang-orang yang mengerumuni Jungkook, mencoba memberi jarak agar sang idol tidak terganggu. Sekarang suasana jadi ramai sekali, yang tidak makan di restoran saja mendadak masuk karena ingin melihat Jungkook. “Tolong ya, mundur.” San masih meminta dengan nada baik-baik.             Karena San seorang diri dan penggemar yang datang semakin banyak, tubuh mungilnya jadi terdorong-dorong—kesulitan menjaga Jungkook yang sekarang sudah berdiri dari duduknya. Tak bisa makan dengan tenang.             Jungkook menarik lengan San, keluar dari kerumunan menuju pintu dapur setelah dibantu pegawai restoran untuk melarikan diri.             Biasanya fans menghargai privasi Jungkook jika sedang makan, berbelanja atau apa pun di luar jadwal keartisannya. Mereka akan mengambil gambar diam-diam, tidak rusuh seperti kali ini.             Sekarang mungkin hanya hari sialnya San sebagai manajer idol—yang sedang digilai semua orang.   (*)               Sebuah botol minum dengan uap yang menunjukkan bahwa baru keluar dari kulkas menyambut San yang sedari tadi menepuk-nepuk punggungnya.             “Kau lelah sekali sepertinya, San.” Jimmy, sang pemberi botol minum itu duduk di sebelah sang manajer—bisa menebak meski San tidak mengeluh.             San menjawab, “Padahal aku hanya duduk di sini menunggu kalian berlatih menari tapi badanku sakit.”             “Istirahat saja sebentar jika kau merasa tak enak badan.”             “Aku sudah beristirahat lama maka dari itu badanku jadi sakit. Yang lain sudah selesai? Kalian butuh apa?”             Jimmy langsung menarik pergelangan tangan San yang berniat berdiri, agar duduk kembali.             “Aku mau menemui Jungkook takut dia mencariku,” kata San.             “Dia baik-baik saja. Jungkook pergi menelepon Lizzy.”             San tidak berbicara lagi. Jika begitu keadaannya—dia yakin Jungkook memang baik-baik saja.             “Jimmy, boleh aku minta kau pasangkan koyo pada punggungku?” San akhirnya benar-benar merasa tidak enak badan. Setidaknya, mungkin dengan koyo dia bisa merasa lumayan baikan. “Di Indonesia, aku selalu memakai koyo jika pegal sedikit dan biasanya langsung sembuh.”             Jimmy mengangguk dengan ekspresi lembutnya, mengambil koyo yang diberikan San lalu gadis itu duduk memunggunginya. “Aku akan pasangkan koyo saja, kau percaya padaku, kan?” tanya Jimmy merasa tidak enak karena San menaikkan belakang kaus sehingga menunjukkan kulit yang putih.             San mengangguk, merasa sakit dan pegal di punggungnya makin berdenyut.             “Selesai,” ujar Jimmy saat dia berhasil memakaikan beberapa koyo pada punggung San. Gadis itu mengucapkan terima kasih karena Jimmy mau membantunya. “San, aku akan menemui Yuga-hyung, tak apa aku tinggal?”             San mengangguk saat melihat raut khawatir Jimmy. “Aku baik-baik saja, sana temui Yuga. Ajak dia makan sekalian. Setelah latihan pasti dia langsung tidur dan perutnya kosong.”             “Oke. Kau istirahat jika lelah. Jangan memaksakan diri.”             “Aku mengerti, Tuan Park Jimmy yang sangat perhatian.”             Jimmy hanya terkekeh dan akhirnya meninggalkan San yang sedang minum air dalam kemasan. Jimmy keluar dari tempat latihan menari dan menemukan maknae TTS memasang wajah cerah.             “Kau dan San pergi ke mana tadi pagi sehingga punggungnya jadi sakit?” tanya Jimmy pada Jungkook. “Tadi sudah aku pakaikan koyo, semoga saja sekarang baikan. San tampak lelah.”             Ekspresi Jungkook berubah tak secerah beberapa saat lalu. Tanyanya, “Koyo? Mengapa hyung tidak memberitahuku jika punggung San sakit? Aku bisa memasangkan koyo untuknya.”             “Bukannya kau pergi untuk menelepon pacar?” kata Jimmy mempertegas apa yang baru saja dilakukan Jungkook. “Lagi pula, memangnya kau bisa batal menelepon Lizzy dan lebih memilih memasangkan koyo untuk San?”             “Tentu, hyung,” jawab Jungkook. “Jika San sakit, aku bisa meninggalkan apa pun untuknya.”             “Nyatanya, kau tidak bisa dan San akan semakin sakit jika menunggumu bisa.”   (*)               San mengerutkan dahi saat melihat Jungkook berada di kamarnya dengan segelas s**u dan roti yang dia yakini dipanggang oleh Seokjun.             “Punggungmu masih sakit? Jimmy-hyung berkata tadi kau pakai koyo,” kata Jungkook bersamaan dengan dirinya menaruh makan malam San di meja nakas sebelah tempat tidur.             San bergerak untuk mengangkat punggungnya menjadi bersandar pada pembatas tempat tidur. Menarik selimut sampai perutnya. “Aku baik-baik saja.”             “Apa karena kejadian tadi pagi di restoran? Punggungmu sakit karena didorong fans-ku?”             “Aku OK, Kim.”             Jungkook duduk di sisi tempat tidur, menyentuh lengan San kemudian bergerak menuju punggung gadis itu. “Sini aku lihat, takutnya Jimmy-hyung tidak memasang koyonya dengan benar.”             San menepuk tangan Jungkook lalu berkata, “Yaaa! Aku baik-baik saja. Ini sudah malam, aku mau istirahat karena besok harus mengantar kalian ke acara musik. Kau juga istirahat.”             Jungkook malah menatap San, mencari pembenaran dari kalimat ‘baik-baik saja’ milik gadis itu.”Istirahatlah dan makan roti yang dipanggang oleh Jun-hyung,” kata Jungkook melirik piring di nakas.              “Nanti aku habiskan. Lebih baik sekarang kau tidur.”             “Aku akan menunggu kau menghabiskan rotinya.”             “C’mon, Kim Jungkook....” San jengah jika Jungkook sudah mulai keras kepala.             Jungkook tak mendengarkan usiran halus San. Dia malah mengambil piring dan menaruhnya di atas selimut. Menyuruh gadis itu segera menggigit rotinya.             “Besok kalian debut menyanyikan lagu Fake Love di Korea setelah tampil di panggung Billboard.” San mengatakan itu sambil mengunyah pelan-pelan. “Abs-mu masih keren, kan?”             Jungkook mengangguk, matanya tak lepas dari pergerakan yang dilakukan San.             “Kau akan menunjukkan abs-mu besok?”             “Ya.”             “Kau jadi senang pamer ya sekarang,” sindir San dengan dengusan.             “Aku mau latihan sambil menunggumu makan. Sebentar.” Jungkook bangkit dari duduknya menuju meja yang dia ketahui sering San pakai menaruh berkas-berkas penting dan Jungkook menemukkan beberapa kertas berisi lirik lagu dari album TTS terbaru.             “Aku akan menyanyikan lagu Magic Shop. Koreksi jika ada lirik yang salah.” Jungkook memberikan kertasnya pada San. “Kau sambil makan saja.”             “Oke.” San siap mendengarkan. Jika suara Jungkook jelek, mungkin dia akan kesal karena jam sebelas malam harus berurusan dengan orang bernyanyi. Untung saja Jungkook punya suara merdu. “Mulai dari bagian mana, Jungkook-ah?”             “Dari bagian Jun-hyung sebelum reff. Tapi aku butuh bantuanmu.”             “Seperti lagu 2!3! yang bersahutan dengan fans? Aku mengerti, kebetulan aku juga suka lagu Magic Shop.”             “Iya, seperti itu,” balas Jungkook pelan. lalu mulai bernyanyi.  Suara khas Jungkook mendominasi ruangan berbentuk kubus itu. San mendengarkan sambil menatap kertas berisi lirik, tak tahu bahwa Jungkook menyanyikannya dengan mata tertutup.             “So show me....” Nada Jungkook berhenti di sana, membuka mata dan menemukan San yang juga sedang menatapnya.             “I’ll show you....” balas San dengan nada ragu-ragu karena tidak percaya pada suaranya sendiri.             “So show me...” Jungkook masih bernyanyi dengan suara lembutnya. “I’ll show you... show you... show you....”             Setelah Jungkook menyanyikan bait yang lain, suasana jadi hening. San tak tahu harus melakukan apa, hanya melihat Jungkook yang perlahan membuka matanya karena bernyanyi dengan penuh penghayatan. Ya, San tahu jika Jungkook akan memakai perasaannya saat latihan atau bernyanyi live. Jungkook itu sangat profesional.             “Aku harus ikut bernyanyi lagi? Lirikmu tidak ada yang salah,” kata San sambil membolak-balik kertas. “Suaramu juga sangat bagus.”             Jungkook menyunggingkan senyum sebentar lantas kembali bernyanyi sambil menatap San, “Love you so bad... Love you so bad....”             “Jungkook, itu lirik Fake Love!” San segera mengkoreksi.             “Ah, benarkah?”             “Kau mengantuk? Istirahat sana jika sudah lelah. Besok saat live, jangan sampai salah lirik!”             “Ya, kau benar,” pemuda itu mengangguk pelan, “sepertinya aku sangat lelah sampai lirik saja tertukar.”   (*)               Jungkook mendengar suara berisik dari tempat member memakai make up. Banyak sekali tawa dan juga kalimat-kalimat menyenangkan sedangkan Jungkook di sini harus terjebak karena sedang berpakaian.             "Joonie-ah, benar akan ada For One juga?" San begitu antusias. Hanya terdengar dari suaranya saja orang lain akan langsung tahu. "Kalau begitu aku akan bertemu dengan Hoonie. Aku harus pakai minyak wangi!"             "Kau genit sekali!" Jungkook tiba-tiba datang, membuat San yang sedang berbicara dengan Joonie langsung meliriknya galak.             "Joonie, bilang pada maknae kalian tolong jangan repot dengan urusanku!" San sengaja menyindir, malas berbicara dengan Jungkook.             "Hei! Aku ada di hadapanmu, Sanayya!" Jungkook kesal.             San mendengus, pergi dari sana karena malas bertemu Jungkook. Lagi pula dia harus mengatur apa saja yang diperlukan. TTS sebentar lagi akan tampil di salah satu acara musik dan lagu terbaru mereka masuk nominasi. Semoga saja menang agar comeback mereka sukses.             "San, apa rambutku keren?" Vantae yang San temui di luar ruang make up  menunjukan rambut mullet miliknya.             San langsung mengangguk. "Keren, Tae!" lalu tiba-tiba ingat sesuatu dan bertanya pada Vantae, "Kau berteman dengan Hoonie, kan?"             "Iya, kenapa?"             "Aku ingin kenal Hoonie tapi jangan sampai Jungkook tahu. Dia rewel," ujar San dengan suara kecil.             “Hoonie dan grupnya hari ini hadir. Kau kenalan saja nanti aku bantu. Hoonie baik, kok."             Mereka tersenyum, lalu gadis itu pamit menemui manajer Sejun yang melambaikan tangan. Tanda bahwa San harus segera menghampirinya. Sejun berkata bahwa kali ini biar San istirahat saja di backstage, tidak perlu terlalu mengawasi TTS karena Sejun tahu dari Jimmy bahwa punggungnya sakit. Gadis itu menurut untuk duduk di backstage tanpa mengomeli make up artist atau coordi noona. Membiarkan ketujuh member naik panggung tanpa dia dampingi. Merasa tenang selagi ada Sejun.             San sedang melihat e-mail untuk mengecek jadwal TTS, fokusnya teralih saat suara yang akhir-akhir ini dia dengarkan lewat lagu menyapa telinganya.             Hoonie dan grupnya baru saja tiba!             San mendadak gugup meski ini bukan kesempatan pertama bertemu dengan Hoonie. Banyak acara musik yang dapat mempertemukan San dengan Hoonie tapi tak pernah sempat berkenalan resmi karena Jungkook selalu mengawasinya dan mengancam akan memotong gaji San jika berani menyapa Hoonie. Namun kali ini Jungkook tidak ada dan peluang emas seperti sekarang tak akan San dapatkan lagi sehingga dia berpikir bahwa inilah saatnya.             Tinggal sapa saja, San! Ayo, jangan buang kesempatan!             San memasukan ponselnya pada tas kecil, lalu melangkah dengan perlahan menuju Hoonie yang sedang mengobrol dengan member grupnya.             “Hai!” San akhirnya berhasil menyapa. Dari dekat, laki-laki cute ini begitu wangi.             God! Sekarang kau seperti fangirl kebanyakan, San! Gugup saat bertemu idola!             Hoonie membalikan tubuhnya, sedikit menaikkan sebelah alis karena ada seorang gadis yang tersenyum kaku ke arahnya. Ingin bertanya mengapa fans bisa masuk ke backstage tapi saat melihat dengan teliti siapa orang di hadapannya, Hoonie malah tersenyum. “Annyeonghaseyo,” sapanya balik.             Sekarang San merasa gagap. “Ummm, tanda tangan?” hanya itu yang terlintas di pikirannya dan merasa tidak profesional.             Hoonie mengangguk, mengambil selembar kertas dan bolpoin yang disodorkan San. Membuat coretan tangannya di sana, plus kalimat dengan icon heart.             “Terima kasih, Hoonie. Senang bertemu denganmu,” ujar San masih belum bisa stabil dalam memposisikan dirinya sendiri. Sekarang San mengerti mengapa ARMY bisa sangat heboh bahkan menangis saat bertemu Joonie dkk di acara fan meet atau konser. San merasakannya.              Hoonie mengangguk lagi, dengan senyum lebar. “Senang bertemu denganmu juga, Sanayya-noona.”             “Kau tahu namaku?” San yakin kedua bola matanya sekarang pasti sangat bulat.             “Tentu. Siapa yang tidak tahu manajer TTS-sunbaenim?”             Sekarang San malah senyum-senyum tidak jelas. Memalukan—namun dirinya sendiri bingung harus bereaksI bagaimana. “Terima kasih tanda tangannya, ya,” katanya.             “Sama-sama. Sampaikan salamku pada V-sunbaenim.”             “Pasti akan aku sampaikan!” San membungkuk sebentar tanda bahwa dia harus pamit. Hoonie ikut membungkuk, bahkan sempat melambaikan tangan membuat San semakin gugup. Gadis itu pergi dengan selembar kertas bertanda tangan Hoonie dan senyumnya terus mengembang.             “Tae, Hoonie menitipkan salam!” San menepuk lengan Vantae ketika semua member TTS selesai tampil sehingga pemuda itu menyahuti, “Oh, ya? Kau sudah bertemu dengannya?”             “Iya, tadi di backstage! Aku dapat tanda tangannya Hoonie! Oh, satu lagi, dia tahu namaku! Daebak!” San melompat sedikit, itu sebuah hal baru karena San tak pernah seantusias ini pada sesuatu. Gadis itu terbilang sangat cuek—kadang untuk tersenyum saja sulit.             Dan Kim Jungkook terus memperhatikan tanpa berkomentar.   (*)               “AKU MENAAAANG!” Stick PS itu sengaja sedikit dilemparkan oleh Vantae sebagai tanda bahwa setelah ini dirinya harus ditraktir ayam.             “Kau baru menang satu kali, aku sudah dua ratus kali, hyung,” sindir Jungkook saat melihat Vantae berjoget ria setelah mengalahkannya pada game yang seharusnya sangat mudah bagi Jungkook. “Pesan saja makanannya, aku yang bayar.”             “Memang seharusnya kau yang bayar, KooKoo!” Vantae melangkah mendekati adiknya, memajukan wajah pada Jungkook sehingga kepala sang maknae mundur dengan reflek. Vantae menggigit telinga kanan Jungkook—pemiliknya mengaduh, lalu Vantae pergi dari sana sambil terus bernyanyi bahwa dia akan makan ayam sepuasnya.             Jungkook mengusap telinganya yang beberapa saat lalu jadi korban keanehan Vantae lalu mematikan PS. Hari ini dia sedang tidak ada mood untuk main game, maka dari itu kalah dari Vantae.             Suara manajernya yang sedang bersenandung bagai di pantai membuat Jungkook melirik. Dia memanggil San, namun gadis itu tidak menghiraukan. Akhirnya memotong langkah San yang hendak pergi ke dapur, memandang dengan penuh selidik.     “Kenapa kau happy sekali?” tanya Jungkook.             “Bukan urusanmu, Tuan Maknae.” San mencibir, lanjut bernyanyi dan selembar kertas di tangan kanannya membuat Jungkook penasaran. Hanya kurang dari sedetik, kertas itu sudah berpindah tangan.             “Tanda tangan Hoonie?” Jungkook mengeja kalimat yang tertulis pada kertas berharga San. “Apa-apaan kau ini? Hanya karena tanda tangan berubah menjadi gila?”             “Kau yang gila!” bentak San.             Jungkook tak membalas, malah sengaja semakin menjauhkan kertas itu dari San.             “Jungkook, kau sialan sekali!” San akhirnya mendorong d**a Jungkook, saking kesalnya. “Berikan kertasnya!”             “Kau tidak pernah minta tanda tanganku.” Jungkook heran, dan masih tak ingin mengembalikan kertas San.             “Aku tidak nge-fans padamu, bodoh! Buat apa tanda tanganmu?!”             “Tapi aku kan tampan.”             Narsis. “Kau mau menjadi Kim Seokjun kedua?!”             Jungkook malah membawa kertas itu ke kamar pribadinya sehingga dengan segera San mengejar sambil terus berteriak dan menarik ujung kaos putih polos yang dipakai Jungkook supaya lelaki menyebalkan itu berhenti merecoki urusannya. Jungkook mengambil sebuah bolpoin lalu mencoretkan tanda tangannya tepat di sebelah paraf Hoonie, pada kertas San.             “Ini.” Jungkook mengembalikan kertas itu dengan senyum meledek.             San seketika berteriak, “KAU APAKAN KERTASKU, BUNNY BODOH?!”             “Seharusnya kau bersyukur. Sekarang kau punya dua tanda tangan. Selamat mimpi indah, Sanayya,” jawab Jungkook semakin meledek. Menepuk kepala San dengan sengaja, padahal umurnya dua tahun di bawah gadis itu.             San semakin meledak. “Dasar baJungan kau, Kim Jungkook!”   (*)               “Joonie? Boleh aku masuk?” Ketukan San pada pintu studio milik Kim Joonie itu terdengar. San datang membawakan makanan karena sang leader belum keluar dari ruang pribadinya sejak masuk jam sebelas malam dan sekarang waktu menunjukkan pukul tiga pagi.             “San, kenapa belum tidur?” Joonie membuka pintu studionya, menemukan San dengan wajah sayu.             “Aku terbangun,” jawab gadis itu, “pasti belum ada yang memberikanmu makanan, kan?”             Joonie terkekeh, mengambil nampan berisi sup hangat yang dibawakan San, membiarkan manajernya masuk.             “Joonie, bekerja sewajarnya saja.” San khawatir melihat leader TTS mencoba menahan kantuk dengan layar komputer yang masih menyala. “Kau butuh istirahat. Sebelumnya kau sudah bekerja keras untuk memproduksi lagu di album Tear.”             “Iya, aku tahu, San. Hanya saja aku ingin membuat musik yang lebih bagus lagi,” jawab Joonie sambil meniup sup, siap makan.             “ARMY menyukai semua lagu yang kau tulis, jangan khawatir.” San menghela napas, duduk di sebelah Joonie. “Kau melihat komentar-komentar jahat di sosial media, ya?”             Joonie tersenyum sedikit sehingga dimple miliknya terlihat. “Bukan aku saja yang sangat menyukai komentar baik tentang TTS. Seratus, seribu, bahkan jutaan komentar baik akan membuat kami merasa bahagia. Tapi kami juga bisa selalu mengingat komentar jahat. Tidak hilang dalam otak selama tujuh menit, tujuh jam, tujuh hari, tujuh minggu, tujuh bulan, bahkan mungkin tujuh tahun. Maka dari itu kami selalu ingin bekerja keras untuk orang-orang yang percaya pada kami dan untuk membuktikan kepada para pembenci bahwa kami ini layak.”             “Kau dan TTS layak mendapatkan semua ini. Kalian benar-benar sudah bekerja keras, Joonie-ah.”             “Terima kasih, San.”             San menyunggingkan senyum, memperhatikan keseluruhan studio Joonie saat pemiliknya menikmati makan malam yang sebenarnya sudah telat.             “Kau tahu, Sanayya? Jungkook sangat bekerja keras untuk menggarap lagu Magic Shop. Sepertinya dia menumpahkan seluruh perasaannya pada lagu itu,” kata Joonie disela-sela menyantap makanan. “Mungkin hanya lewat lagu Jungkook bisa menyampaikan apa yang dia rasakan.”             “Terdengar dari liriknya. Lagu untuk fans memang selalu menyentuh hati.” San mengangguk setuju.             “Tidak aku pungkiri bahwa Jungkook selalu memperlihatkan sisi baik-baiknya. Jungkook tidak ingin semua hyung-nya khawatir sampai aku berpikir bahwa dia akan selalu oke karena jarang mengeluh.” Joonie menyampaikan apa yang dia lihat. “Tapi sepertinya aku salah. Jungkook sama sepertiku—sama seperti member yang lain. Pasti dia juga sangat lelah, terkadang putus asa dan ingin menangis. Aku ingin tahu apa yang Jungkook pikirkan dan rasakan agar dia tidak menahannya sendirian.”             San diam memperhatikan ucapan Joonie.             “Jungkook itu complicated dengan caranya sendiri ya, San? Misterius, namun hangat. Tak mudah tergapai, tapi dekat.”             San menemukan kalimatnya, “Mengapa kau membicarakan Jungkook padaku?”             “Tidak pa-pa,” Joonie tersenyum sambil menggedikkan bahu. “Hanya ingin mengatakan itu saja.”  Sebelum istirahat dan pergi melakukan syuting terakhir RUN, jadwal penutup TTS pada comeback kali ini adalah menjadi bintang tamu pada acara Lotte Family Party. Mereka menyanyikan dua lagu andalan pada acara itu dan harus bertemu dengan AURORA.             Jungkook sempat berbalas pesan dengan Lizzy bahwa mereka harus bertemu di backstage. Jungkook ingin menemui kekasihnya sebelum sibuk karena jadwal ke depan akan full. Jungkook harus menggarap album baru bahkan menyiapkan world tour.             TTS sudah tampil, sedang istirahat karena tak bisa lama-lama. Mereka akan pergi setelah perform dan di atas panggung AURORA sedang tampil; namun ada sebuah insiden yaitu perform mereka dihentikan begitu saja. Member AURORA digiring staff untuk turun panggung. Tentu saja itu membuat mereka kebingungan dan tidak mengerti pada waktu yang bersamaan.             “Ada apa? Mereka tidak jadi perform?” tanya Hoobi heran saat melihat member AURORA ditemani manajer mereka pergi ke ruang tunggu.             Jimmy menimpali, “Mungkin kesalahan teknis? Mereka terlihat sangat kebingungan.”             Jungkook mendengar pembicaraan para Hyung sehingga reflek mencari ponselnya yang dipegang oleh San.             “Berikan ponselku,” ujar Jungkook dengan nada mendesak. San memberikannya tanpa banyak bertanya. Di antara member yang lain, hanya Jungkook yang tidak bisa menyimpan ponselnya sendiri dan bagi San itu merepotkan karena dia yang harus bertanggung jawab.             “Lima belas menit lagi kita pulang, Jungkook,” kata San saat pemuda itu melangkah keluar ruangan. Jungkook hanya mengangguk dan San tak mau ambil pusing.             “Kau di mana?” Jungkook langsung bertanya setelah Lizzy mengangkat telepon. Langkahnya terburu-buru mencari ruangan khusus AURORA             “Ada apa?” Lizzy balik bertanya dan Jungkook menghela napas saat melihat sang kekasih berada beberapa meter di hadapannya. Lizzy baru saja keluar dari toilet.             Jungkook masih menempelkan ponsel pada telinganya sambil berjalan menghampiri Lizzy. Membawa tangan gadis itu untuk masuk ke toilet lagi setelah tadi keluar.             “Kau tidak apa-apa? Penampilanmu tadi dihentikan.” Jungkook menaruh kedua tangannya pada bahu Lizzy, mengecek keadaan kekasihnya tapi gadis itu malah terkekeh melihat ekspresi Jungkook.             “Aku baik-baik saja.” Jemarinya merapikan baju yang dipakai Jungkook lalu melanjutkan, “Jangan membuatku khawatir karena menelepon dengan nada seperti itu, Kookie.”             Jungkook menurunkan tangannya untuk beralih merengkuh tubuh Lizzy. Ia peluk gadis itu dengan perlahan dan Lizzy mengusap punggung Jungkook dengan lembut.             “Aku akan sibuk sekali tapi aku janji akan tetap mengabarimu,” lirih Jungkook disela-sela pelukannya.             “Aku juga akan sangat sibuk. Kita bisa jalani ini seperti hari-hari kemarin, Kook.”             Jungkook melepas pelukannya dan mereka berdua tersenyum satu sama lain. “Tunjukkan sesuatu bahwa kau milikku,” katanya, serius.             Lizzy terkekeh, mendekatkan wajahnya lalu mengecup pipi kiri Jungkook—yang tidak disia-siakan oleh pemuda itu karena sekarang dia malah mencium Lizzy tepat di bibir.             “Aku akan sangat rindu padamu.” Jungkook memasang wajah lesu, membuat Lizzy gemas. Gadis itu berjanji bahwa mereka berdua akan tetap dekat meski sama-sama sibuk.             “Ternyata panggilannya masih tersambung.” Jungkook tersadar saat melihat layar ponselnya.             Mendengar itu, Lizzy malah menempelkan ponselnya pada telinga kanan lalu berkata, “Oke, Golden Maknae. Sampai bertemu lagi.”             Padahal mereka berhadapan, tapi Jungkook melakukan hal yang sama seperti Lizzy; menempelkan ponsel pada telinga kiri dan tersenyum kecil. “Sampai bertemu lagi, Queen Lizzy.”             Jungkook membiarkan pacarnya keluar duluan dari toilet dan dia baru sadar bahwa sedari tadi berada di toilet khusus perempuan. Meski sedikit aneh karena tidak ada yang masuk, namun Jungkook merasa tenang.             Sebelum keluar, Jungkook mencuci tangan dan sempat berkaca sebentar lalu ada panggilan masuk dari San.             “Aku di toilet, janji segera kembali,” kata Jungkook dengan langkah yang terburu-buru sambil memasukan ponsel ke kantung celana. Jungkook membayangkan bahwa San pasti sedang marah-marah di ruang tunggu karena dia pergi lama.             Tapi saat Jungkook membuka pintu toilet, gadis itu ada di sana. Berdiri, dengan kedua tangan terlipat di depan d**a. Ekspresinya datar.             “San, aku tadi bertemu Lizzy sebentar.” Jungkook tidak mau kena omel meski sadar bahwa hal yang dia lakukan beberapa saat lalu sangat berisiko. San hanya mengangguk lalu memberikan selembar tisu pada Jungkook.             Pemuda itu bertanya, “Untuk apa?”             “Ada lipstik di pipi dan sudut bibirmu. Bersihkan—dan ayo pergi,” ujar San singkat lalu melangkah dari sana meninggalkan Jungkook dan selembar tisu di tangannya.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN