07 - Seorang Dark Witch?

1742 Kata
        Setelah sampai di sana, ternyata bukan pertunjukan atau apalah itu yang membutuhkan efek cahaya warna warni. Aku melihat Michiru dengan tampang yang sangat serius, menembakkan kekuatan sihir pada seseorang yang menggunakan jubah berwarna hitam yang menutupi seluruh tubuhnya.         Yang lebih mengejutkannya lagi, orang yang menggunakan jubah itu juga menggunakan sihir untuk menangkis serangan Michiru.         Terlihat jelas ia seorang penyihir sama seperti Michiru, tetapi kenapa mereka berdua bertarung?         Awalnya kukira dia teman Michiru yang datang membantunya untuk mengumpulkan benda-benda yang terlempar ke bumi setelah mendapat kutukan dari iblis yang melambangkan tujuh dosa besar manusia. Tetapi, jika mereka bertarung apakah penyihir itu musuh Michiru?         Tunggu … apa jangan-jangan orang itu salah satu dari Dark Witch yang disebut Michiru sebelumnya? Setelah diperhatikan, aura yang bisa kurasakan dari penyihir yang pertama kali kulihat ini terasa sangat berat. Tubuhnya dikelilingi oleh petir berwarna hitam … ?         Ah, bagaimana ini? Aku tidak pernah mengira kalau Michiru akan bertarung dengan pengguna sihir lain. Apa aku hanya akan mengganggunya? Sebaiknya aku pura-pura tidak tahu dan perlahan-lahan pergi dari sini … ‘kan?         Dari pada menjadi sandera Dark Witch itu, sebaiknya aku pergi secepatnya! … itu yang kuharapkan. Tapi rencana itu akhirnya tidak kujalankan karena kekuatan sihir yang dikeluarkan oleh mereka berdua menjadi lebih membabi buta dari pada sebelumnya! Aku hanya bisa bersembunyi di belakang pohon yang sedikit jauh dari mereka.         Aku ingat kalau Michiru pernah ‘mengaku’ sebagai penyihir handal termuda di negeri sihirnya. Tapi … melihat keadaan di depanku saat ini, bukankah terlihat jelas kalau Michiru sedikit terpojok?         Apa karena Michiru sedikit tertekan khawatir dengan keadaan di sekitarnya akan rusak jika menggunakan sihir yang terlalu kuat? Lihatlah sekelilingmu, Michiru! Taman ini sudah sangat berantakan bagai kapal pecah karena serangan yang diakibatkan oleh Dark Witch itu! Kau tidak perlu menahan diriii!         Tentu saja aku tidak bisa melakukan telepati, kata-kata itu tidak akan tersampaikan padanya. Namun, serangan dari Dark Witch itu semakin berbahaya. Bahkan sejauh ini aku bisa merasakan panas dari sihirnya itu.         Jika seperti ini … tidak lama lagi Michiru akan benar-benar terpojok. Setidaknya aku harus membantunya untuk mengalihkan perhatian Dark Witch itu.         Masih berjongkok di balik pohon, aku mencari sesuatu untuk membantu Michiru, dan melihat batu yang sangat pas di genggamanku. Hmmm … apa aku bisa melempar batu ini sampai mengenai Dark Witch itu?         Dengan meniru gaya pelempar bola pemain Softball, aku melempar batu itu sekuat tenaga ke arah Dark Witch yang masih belum sadar dengan rencanaku itu.         Entah dengan keajaiban apa, batu yang kulempar berhasil mengenai kepala Dark Witch itu! Ia memegang bagian kepalanya yang terkena batu itu, dan mengikuti arah dari mana batu itu berasal. Dengan cepat aku kembali bersembunyi di balik pohon, semoga ia tidak melihatku …         Tiba-tiba sesuatu yang berwarna merah terang seperti bola api melesat tidak jauh di sampingku. Dengan mata yang terbuka lebar aku melihat bola api itu mengenai semak-semak yang ada di sana dan mulai membakar sekitarnya.         Hmm … Akari, entah kenapa kau lupa dengan ajaran orang tuamu, ya? Pikirkan sebab akibat sebelum kau bertindak …         Dengan cepat aku pergi dari sana sebelum api yang mulai membakar semak-semak di dekatku terbakar lebih besar. Aku mengangkat wajahku menatap Dark Witch itu, tetapi yang pertama kali menarik perhatianku adalah sebelah wajahnya seperti hangus terbakar, matanya yang berwarna merah bersinar penuh dengan kebencian.         “Akari?” aku mendengar suara Michiru yang memanggilku. Aku membalas tatapan dari Michiru yang wajahnya terlihat bingung sekaligus tidak percaya.         Dark Witch itu mendecakkan lidahnya, kemudian menciptakan petir berwarna hitam untuk menyerang ke arahku. Tiba-tiba sebuah kristal es yang sangat tebal muncul di depanku, menangkis serangan listrik itu.         Dengan cepat aku berlari ke arah sebaliknya, yang ternyata adalah pilihan yang salah. Hal yang pertama kali kulihat adalah mata berwarna merah menyala, kemudian bola api yang sangat besar yang semakin lama mendekat ke arahku. Selanjutnya, rambut berwarna pirang menghalangi seluruh pandanganku, dan teriak kesakitan terdengar selanjutnya.         “Kenapa kau ada di sini!?” sahutnya terdengar panik. Wajahnya terlihat sangat mengerikan, tidak seperti biasanya.         “Aku … aku tidak tahu jika keadaannya seperti ini!” jawabku.         Michiru mengusap wajahnya kesal. Kemudian mengeluarkan papan luncur yang biasa ia gunakan untuk terbang. Seperti mengangkat anak kucing dari atas tanah, Michiru menggendongku dan langsung terbang menjauh dari taman yang sudah hancur lebur itu.         Entah bagaimana caranya, ketika aku sadar aku sudah kembali di depan minimarket bersama Michiru. Wajahnya masih terlihat mengerikan. Keningnya berkerut sangat dalam, kemudian ia berkata, “Tolong jangan buat aku lebih khawatir dari pada ini …”         “Aku khawatir kalau kamu tersesat …” kataku semakin pelan. Tanganku bergetar kencang karena kejadian yang tiba-tiba itu.         Michiru tertawa pelan, kemudian menggenggam kedua tanganku dengan lembut. “Aku harus kembali ke tempat sebelumnya. Percayalah padaku dan pulang terlebih dahulu, ya?”         Ah … tentu saja Michiru harus mengalahkan penyihir jahat itu sebelum melukai lebih banyak orang ‘kan? Aku hanya bisa menganggukkan kepala untuk membalas perkataannya.         “Tolong buat makanan yang enak, ya? Aku lapar sekaliii …” katanya dengan suara rengekkannya yang seperti biasa.         Aku mengepalkan tanganku mencoba untuk meredakan rasa panikku. Setelah tanganku berhenti bergetar, aku berkata, “Baiklah. Jangan pulang terlambat, ya?”         Akhirnya, Michiru tersenyum. “Tentu. Aku akan kembali secepatnya,” katanya sambil berlari ke arah gang sempit yang sangat gelap.         Aku tidak melihat Michiru yang terbang menggunakan papan luncurnya. Setidaknya untuk saat ini aku hanya bisa memasak makan malam dan menunggunya kembali, ‘kan?         Akhirnya aku kembali ke minimarket itu dan mengambil belanjaanku yang kutitipkan sebelumnya. Dengan langkah cepat aku kembali ke rumah untuk memasak makan malam.         .         .         Beberapa kali aku melirik jam dinding yang ada di ruang makan. Sudah jam delapan malam dan Michiru belum kembali juga. Makanan yang dari satu setengah jam lalu sudah selesai kumasak sudah dingin semuanya. Setelah melihat kejadian tadi, mana mungkin perutku masih lapar?         Tiga puluh menit berlalu dengan cepat, tetapi Michiru belum pulang juga. Akhirnya aku memilih untuk memanaskan makan malam dan menunggunya sebentar lagi. Saat itu, aku mendengar suara pintu depan yang terbuka. Dengan cepat aku meletakkan piring dan langsung berlari ke sana.         “Aku pulaaang~” katanya dengan nada suaranya yang seperti biasa.         Langkahku terhenti karena melihat wajahnya penuh dengan luka goresan, pakaiannya juga sudah berantakan dan penuh lubang. Tetapi selain itu semua, lukanya tidak terlalu parah seperti yang kubayangkan.         Dengan cepat aku menariknya masuk, memaksanya untuk duduk di ruang tengah dan langsung mengambil kotak P3K. Dalam diam aku membersihkan dan mengobati luka pada wajahnya terlebih dahulu.         Michiru hanya tersenyum lembut sambil melihatku yang tidak bicara apa pun sambil mengobati lukanya. Setelahnya aku mengobati tangannya. Untuk luka di bagian lainnya … biarkan dia yang mengobatinya sendiri.         “Aku lapaaar,” kata Michiru dengan suara yang menyebalkan seperti biasanya.         Mendengarnya, aku menarik Michiru ke ruang makan. “Ini … kau belum makan? Hagh! Jangan-jangan kamu nunggu aku pulang? Awww soooo sweeet,” katanya dengan nada sok imut.         Aku memberinya satu porsi nasi yang sangat besar. Memberinya potongan daging paling besar, dan sup pada mangkuk yang besar juga.         Semakin lama wajah Michiru semakin kesulitan. Akhirnya ia berkata, “Maaf, kau pasti khawatir, ya?”         Kata-kata itu akhirnya membuat tubuhku terasa sangat lelah. Wajah tanpa ekspresi yang biasanya kupasang untuk menyembunyikan rasa sedih ketika kedua orangtuaku memilih pekerjaannya mulai hancur berkeping-keping.         Michiru langsung berdiri dari duduknya, melihat air mata yang mulai mengalir di pipiku. Dengan gerakan panik ia berlari kecil ke sebelahku. “Maaf Akari … lain kali aku akan memberi tahumu terlebih dahulu. Aku tidak akan membuatmu khawatir lagi. Jadi … jangan menangis lagi, ya?” katanya dengan suara yang lembut. Tetapi entah kenapa hal itu malah membuatku semakin ingin menangis … “Sudah, sudah. Kau lihat aku baik-baik saja, ‘kan? Lain kali tidak akan seperti ini lagi,” tambahnya.         “Mmm,” balasku singkat.         Akhirnya wajah panik Michiru menghilang. “Ayo kita makan terlebih dahulu. Aku laparrrr laparrrr. Rasanya terakhir kali aku makan saat umurku tiga tahun—”         Aku mencubit tangannya untuk menghentikan ucapan omong kosongnya itu lagi. Dengan terkekeh pelan, akhirnya Michiru kembali duduk di kursinya, dan kami pun makan tanpa berbicara apa pun.         .         .         Keesokan paginya, mataku terasa sangat sembab karena habis menangis semalam. Dengan cepat aku mengganti pakaian untuk siap-siap pergi ke sekolah dan membuat sarapan terlebih dahulu … Mungkin lain kali aku juga harus membuat bekal makan siang.         Yang membuatku terkejut adalah Michiru sudah bangun dan duduk di kursi meja makan. Satu piring hotcakes dan s**u hangat sudah tertata rapi di atas meja makan.         “Kau … ini kau yang masak?” tanyaku. Ternyata suaraku juga sangat serak. Aku berdeham beberapa kali membuat tenggorokkanku lebih nyaman.         “Fufu, kalau aku punya niat, aku juga bisa masak full course masakan barat. Tinggal sebut saja! Pelayanmu yang baik hati, tidak sombong dan rajin menabung ini akan melayanimu sampai kau merasa puas,” katanya sambil membungkuk hormat seperti butler yang beberapa kali pernah kulihat di TV.         Aku menatapnya dengan menyipitkan kedua mataku. Michiru hanya terkekeh pelan dan menjentikkan sihirnya,  membuat kursi yang biasa kududuki saat makan bergerak sendiri seperti ada seseorang yang menariknya. Meski sedikit terkejut, aku tetap duduk di kursi itu. Jentikkan selanjutnya sebuah serbet mendarat rapi di pangkuanku.         “Selamat makan, nyonya,” kata Michiru.         “Ha …” tawa pelan akhirnya keluar dari mulutku. Sedikit geli dengan tingkah Michiru ini.         “Akhirnya kau tertawa juga,” kata Michiru. “Wajahmu yang cemberut itu sangat jelek! Lebih manis jika tertawa seperti ini!”         Apa maksudnya!? Apa itu sebuah pujian atau bukan!? Aku melempar garpu ke arah Michiru, yang tentu saja garpu itu berhenti di udara dan kembali ke tanganku dengan lembut.         “Ckckck, seorang gadis tidak boleh melempar alat makannya,” kata Michiru sambil menggelengkan kepalanya.         Aku hanya mendesah panjang, memakan masakan buatan Michiru yang ternyata tidak buruk juga. Bukankah seharusnya dia yang masak saja? Atau … kenapa tidak semua pekerjaan rumah ia kerjakan!? Sebaiknya aku membicarakan hal ini selanjutnya …         “Oh, bagaimana dengan … dengan penyihir itu?” kataku akhirnya tidak bisa lebih khawatir dari ini.         “Tidak perlu khawatir, aku sudah melemparnya ke dimensi lain pakai kame*amehuy!” jawab Michiru sambil menggerakkan kedua tangannya membuat lingkaran.         “Kame … ternyata kau tahu hal itu juga, ya?” tanyaku.         “Kuanggap itu pujian, nyonya,” kata Michiru entah kenapa terlihat bangga.         Awalnya kuingin membalasnya, tetapi pandanganku langsung tertuju pada jam dinding. Dengan cepat aku menghabiskan sarapan yang dibuat Michiru ini karena sepuluh menit lagi bel sekolah berbunyi! Kenapa aku tidak sadar kalau sudah sesiang ini!?         Michiru memiringkan kepalanya bingung karena melihatku yang makan terburu-buru. “Apa masakanku sangat enak sampai napsu makanmu sebesar itu, nyonya?”         Aku hanya membalas perkataannya dengan menunjuk jam dinding. Michiru meliriknya sebentar, kemudian meminum s**u pada gelasnya dengan santai. “Masih ada sepuluh menit. Kita masih bisa tepat waktu.”         “Tepat waktu apanya!?” kataku yang akhirnya selesai mengunyak makanan itu.         Michiru tersenyum tipis sambil mengeluarkan bola dari sakunya. “Tinggal pakai ini, ‘kan?”         Oh … Baiklah …  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN