Yang namanya cinta emang nggak bisa dipaksa, susah diatur, mau dimatiin juga terkadang berdampak pada stress.
And, why can i fall in love at first with you, Ga? batin Fani sambil tertawa.
Fani tak pernah tahu mengapa ia sampai mencintai Yoga sedalam ini padahal masa lalunya bejibun cowok yang rela mengantri demi bisa berpacaran dengannya atau sekadar dinner dengannya?
Why?
Fani juga tidak bisa menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Sheryl setiap kali ia menanyakan kenapa bisa sekonyol ini kisah cintanya?
Sang Primadona menikah dengan sahabatnya? Fani yang takluk pada Yoga? atau parahnya dijodohkan?
Hidup bebasnya terpenggal di kisah perjodohannya?
"Lo beneran hoki kalo nikah sama Yoga, tapi gue liat lo yang sekarang like a pathetic b***h," ujar Sheryl minta ditabok.
Fani tertawa hambar. "b*****t lo emang nggak ilang-ilang ya?"
Sheryl menganggukkan kepalanya. "Whatever deh Fan, tapi gue liatnya kayak lo tertekan banget di pernikahan ini. Cerita sama gue coba, what happen?"
Disaat pertanyaan yang paling ditakuti Fani meluncur dari orang yang paling mengerti dia, gadis itu hanya bisa berdecak dan salah tingkah. Malam ini, di Pacific Place seperti dua lesbi yang dimabuk cinta dengan dua red wine, fettucine marinara, di depan Fani dan sepiring cake boba di depan Sheryl. Meluncurlah sebuah cerita.
"Anjir, gilaaa! Tuh kaaann, insting gue nggak pernah salah emang. Terus, kenapa lo masih bertahan sama cowok yang udah keliatan bangsatnya sih Fan?"
Fani menertawakan kebodohannya. Ia juga tidak tahu mengapa masih bertahan dengan Yoga yang berkali-kali membuatnya menangis nyaris empat bulan ini.
"I dont know, b***h. I'm just ... i really love him."
Sheryl geleng-geleng kepala di depan Fani ikut prihatin. "Gue nggak habis fikir aja sama lo. Dengan treck record cowok lo yang bejibun dan fantastis itu, lo lebih milih cowok ... kaku?"
"Eh, Nyet! gue cuma bisa ngasih dua kesimpulan sama lo malam ini." Sheryl menyesap wine-nya sebentar. "Bisa jadi lo kena santetnya Yoga atau lo emang gobloknya laduni."
Fani ngakak. "Segitunya ya? tapi gue cinta banget sama dia. Lo tau gimana rasanya, kan, Sher. Lo juga insap di tangan laki lo itu."
Sheryl langsung nanjak. "Laki gue alim, gue jelas kudu tobat. Tapi, laki gue nggak b*****t kayak laki lo itu. Dia asli nggak main cewek. Nikah sama gue ya dia beneran putus dari semua hal berbau cewek atau dia milih lehernya gue putus kalo sampe berani main cewek."
Fani juga tidak tahu mengapa ia lebih memilih bertahan dengan Yoga padahal jelas sekali pria itu tidak mencintainya, ia bisa saja menolak perjodohan itu dengan memberi cowok lain pada orangtuanya, cowok yang mencintainya. Tapi, Fani cukup g****k dengan mencintai Yoga tanpa alasan.
"Kenapa lo nggak balikan aja sama Michael? Daren? Ezra? dari semua cowok yang pernah lo ceritain ke gue, tipenya persis semua. Kenapa sekarang lo meleset jauh dari tipe lo?"
Fani menerawang sebentar. "Mungkin karena semua tipe gue itu b*****t semua."
Sheryl menoyor kepala Fani tak tanggung-tanggung. "g****k! Justru laki lo tuh yang b*****t! Kalo udah bobrok kenapa kudu sok suci nggak kenal sama cewek? nggak main ke kelab? Najis!"
Itulah, Fani juga tidak tahu kenapa ia masih bisa bertahan dengan Yoga padahal ia sangat lelah.
Malam itu semua yang dirasakan Fani terluapkan, ia yang lelah terhadap sikap berubah-ubah yang kadang manis dan dingin tanpa bisa menerka apakah pria itu mulai mencintai Fani atau hanya sebuah tindakan spontan yang dilakukan tanpa hati?
Meraba hati Yoga itu mirip main poker. Kadang beruntung, tapi lebih seringnya buntung. Bukan berarti karena Yoga manis seharian ini, Fani bisa seenaknya menyatakan pria itu taubat dengan kelakuannya.
"Tell me, what are you gonna do now?" tanya Sheryl tajam.
Fani gelagapan. "A-apa? gue tetep bertahan kayak gini sampe dia tau gue cinta mampus sama dia."
"Mampus aja dah lo kecebur ke jahannam!" seru Sheryl ketus. Sheryl menandaskan sisa wine nya dengan sekali tegukan.
"Cowok yang cinta sama lo bakal buat jiwa raga lo awet muda, sedap dipandang, bikin psikologis lo nggak keganggu, dan pernikahan lo aman."
"Dari semua cowok masa lalu lo dengan ciumannya yang hot, pelukan, kehebatannya di ranjang. Kenapa lo malah lebih milih banci kayak dia sih? Give me a reason, Njing."
Fani mengurut pangkal hidungnya pasrah. "Di sini gue korban cinta dan nggak tau mau berkutik kayak apa. Jujur gue nggak mau ninggalin Yoga. Pasti ada jalan lain, but, i dont know what that."
Sheryl memicingkan matanya. "Kalo boleh gue tau apa yang melatar belakangi lo sampe lebih milih bertahan di posisi lo ini?"
"Gue sayang banget sama orangtua Yoga. Kita udah deket banget sejak masih sahabatan. Gue takut ngecewain mereka."
Sheryl menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. "Emang ya, wajah doang yang kriminal, hati lo original," keluh Sheryl.
Fani kembali dibuat tertawa dengan ucapan Sheryl. "Sialan lo!"
Malam itu berakhir tanpa ada keputusan dan solusi apapun dari Sheryl. Masalahnya ya itu tadi, Sheryl tidak bisa membujuk Fani untuk minta cerai dari Yoga kalau dia saja tidak mau menyakiti hati mertuanya.
Sesimpel itu membuat Sheryl melambaikan tangannya sebelum mereka berpisah di pintu restoran.
Kata terakhir Sheryl yang terus terngiang di benak Fani membuat gadis itu tidak bisa fokus pada jalanan.
"Gue harap lo cepet-cepet sadar diri buat milih keputusan mana yang baik. Apa baiknya lo ngomong langsung sama laki lo, atau cara ekstrem dengan melabrak cewek ular itu."
Sikap manis Yoga kemarin bukan berarti pria itu insaf terus bakalan menyadari cinta Fani yang gede. Kalau di kehidupan sinetron, justru sikap manis itu adalah bentuk manipulasi cowok buat menutupi aksi perselingkuhannya.
Apalagi dengan ide konyol Sheryl. Melabrak Helena? Bisa hilang nyawa Fani kalau sampai Yoga tahu apa yang diperbuatnya.
Tapi, Fani tidak bisa membohongi bahwa alasan Yoga untuk bertemu klien kemarin adalah salah satu aksi manipulasi Yoga untuk bisa bertemu Helena.
Yoga salah kalau mengira Fani tidak tahu dengan aksi yang dibuatnya, cuma saja Fani itu mau tau sampai kapan Yoga akan bermain di belakang Fani?
Fani turun dari sedannya dengan lesu. Rumahnya sudah mirip rumah kosong tanpa pencahayaan satu pun.
Yoga belum pulang?
Gadis itu membuka ponselnya dan menemukan pesan singkat dari Yoga.
Yoga: Kayaknya aku bakal pulang larut. Kerja di kantor lagi numpuk.
18.15
Me: Kirim bukti!
Yoga online. Jawaban menyusul datang dari Yoga dengan cepat.
Sebuah foto meeting di kantor Yoga. Fani mengamati dengan cermat. Belum puas dengan foto, Yoga juga mengirimkan sebuah video pendek saat pria itu meeting bersama karyawan malam itu.
Napas Fani terhenti saat menemukan Helena duduk tak jauh dari tempat Yoga menyorot kamera.
Yoga: Masih mau cemburu? aku nggak sedang main-main sama cewek lain, Fan.
Cukup dengan begitu saja Fani merasakan lega. Apa emang cinta bisa membuat Fani sebodoh ini?
Dengan emoticon love Fani membalas pesan terakhir Yoga, kemudian mematikan ponselnya dan beranjak tidur.
Tidak tahu di kantor sana Yoga tengah tersenyum dengan Helena.
Pengkhianatan ini resmi dimulai.
***
Kantor sudah sepi saat semua karyawan keluar dari ruang meeting dengan wajah lelah. Semua orang berlomba-lomba mengemudikan kendaraannya dengan cepat. Tak sabaran ingin cepat pulang.
Besok mereka akan kembali bekerja di jam yang sama.
Dua orang di dalam Land Rover terbaru, tersenyum menang.
"Mau langsung pulang?" tanya Yoga.
Helena menggeleng. "Gimana kalo kita makan sushi dulu?" Bukan pertanyaan namun sebuah ajakan yang tidak bisa dibantah oleh Yoga.
Pria itu membelokkan mobilnya ke arah resto jepang. Bukan baru kali ini Yoga memasuki resto jepang. Namun, tetap saja dia merasa risih terhadap dua orang di depan meja mereka yang mabuk. p*****r di samping pria itu meraba saku si pria sembari terus mengucapkan ucapan tak senonoh. Merayu, meraba, dan menggugah gairah pria mabuk itu.
Helena mengamati ekspresi Yoga yang terlihat tak nyaman. Gadis itu tahu apa yang tengah diamati Yoga dan merasa tidak enak sendiri.
Nasib pacaran sama cowok polosan ya gitu. Helena menuangkan sake di gelas Yoga.
"Minum deh Ga. Kamu pasti suka kalo udah nyoba." Yoga menerima, langsung meneguk dan mengernyit saat menyadari itu adalah 'minuman'.
"Kamu biasa kayak gini Len?" tanya Yoga sambil menunjuk sake dengan dagunya.
Helena terkekeh. "Enggaklah Ga. Aku mah jarang banget kesini. Cuma kalo lagi pusing suka aja wine-wine solution di kelab."
Yoga nyaris tersedak. Ia tidak percaya dengan kenyataan baru yang menghantamnya. Helena dan kelab?
Seperti dua hal yang tidak mungkin bersatu, tetapi malam ini Helena menyatukannya di depan Yoga dan cukup membuat lelaki itu terhuyung.
Malam itu di bayangan Yoga adalah Fani dan masa lalunya. Keluar masuk kelab, mabok, dan pulang malam.
Kenyataan kali ini juga mempunyai efek yang sama saat melihat Helena mulai memberinya minuman b*****t itu lagi.
Helena tidak jauh dari Fani. Namun, mengapa ia tak bisa membenci Helena meski sudah tahu mereka adalah dua orang yang serupa. Sama bangsatnya gitu.
Yoga semakin tidak bisa berpikir lagi saat Helena mendekatkan wajahnya ke arah pria itu. Menggoda Yoga dengan bibirnya yang basah.
Helena menghapus jarak diantara bibirnya dan Yoga. "Cium aku, Ga!"
Dan pria itu tahu bahwa itu adalah titah yang tidak boleh dibantah. Yoga menangkap tengkuk Helena, mendekatkan wajahnya dan memagut bibir Helena dengan lembut, pria itu memperdalam ciumannya, terlalu melenakan bagi Yoga hingga dosa itu membuat pria sepolos dirinya harus menginginkan lebih.
Stop it, Ga!
Kayaknya Yoga bakalan kehilangan akal kalau sampai melakukan hal keji lebih dari ciuman. Dan ini jelas sebuah pengkhianatan pada sebentuk cincin emas yang melingkar di jari manisnya.
Peduli apa dengan pernikahan dan Fani? Mereka dijodohkan. Dan malam ini— bukankah ini yang dinamakan malam penuh cinta? Ironisnya, meski penuh cinta, malam ini justru bertabur dosa.
Sesaat kemudian, Helena menjauhkan wajahnya, tersenyum puas pada pria di depannya. Sedangkan bau sake yang menguat terasa mencekik indera perasa pria itu.
"Kamu udah buat aku merasakan indahnya dosa, Len," lirih Yoga.
"Akan kutunjukkan banyak hal. Bahwa, ada dosa terindah yang belom pernah kamu jamah."
Sementara Fani terlelap di kamar seperti tersirep oleh kepercayaan Yoga. Larut malam, Yoga mengendap-endap membuka pintu pria itu pulang tanpa suara, lekas mengganti pakaiannya dan tidur meyusul Fani masih dengan kehangatan bibir Helena malam itu.
Tidur dalam rapalan mantra manis Helena.
"Hanya aku yang kamu cintai Yoga, malam ini kamu mendapatkan satu. Bibirku. Tunggu bagian selanjutnya."
***
Helena sudah ingin cepat-cepat mengempaskan tubuhnya di kamar. Sebelum seseorang menabraknya di depan lift.
"s**t!"
Seseorang itu terkejut melihat Helena pulang dengan kondisi mabuk. "Loh, Helena?"
Gadis itu menatap pria di depannya dan menyeringai saat menemukan cowok yang berdiri tak jauh di depannya. Radit.
"Halo, tetangga, udah minggir aku mau balik. Capek." Helena menabrak bahu Radit begitu saja, membuat naluri pria itu menangkap tubuh Helena dan menuntun gadis itu sampai ke apartemennya.
"Mau ngapain elo elah," ketus Helena. Radit berdecak malas.
"Lo mabok. Gue nggak mau besok lo ditemuin tidur di lantai sama orang lain. Malu-maluin."
Helena menampar pipi Radit, pria itu mengumpat.
"Mabok aja masih nyusahin ya."
Helena mendadak berhenti membuat Radit ikut mengerem langkahnya dan menatap gadis yang saat ini memutar tubuhnya kemudian mengalungkan lengannya di leher Radit.
"Lo tau nggak, tadi gue ciuman sama dia kayak gini." Helena berjinjit mendekatkan wajahnya ke Radit.
Pria itu panik, spontan mendorong wajah Helena menjauh. Helena menggertakkan giginya kesal.
"Lo nolak gue? b*****t lo ya! Nggak ada yang bisa nolak pesona gue," teriak Helena.
Radit mengelus dadanya jijik. "Amit-amit, gue nggak bakal kemakan pesona lo."
"Lo tau dari Sabang sampe Merauke, coba tanyain ke cowok setiap daerah. Pasti mereka mengenal Helena Putri Atmadja. Dari keluarga Atmadja yang g****k! keluarga penggoda!" racau Helena.
"Berisik! bisa diem nggak lu?!"
Radit menutup mulut Helena dengan tangannya. Gadis itu berontak di pelukan Radit, sampai akhirnya Helena tak berontak sedikitpun, tubuhnya memberat di pelukan Radit. Pria itu melirik sebentar, lalu mendecakkan lidahnya.
"Tidur lagi ni bocah. Enak banget tidur di pelukan gue," gumam Radit. Gantian Radit mengangkat tubuh Helena dan mengerang sebentar.
"Cewek body-nya aja yang keliatan kecil. Kalo udah digendong. Sama aja. Berat," gerutunya.
Begitu sampai di depan kamar Helena, Radit melepas Helena, membiarkan ia terlelap di sofa masih dengan pakaian kerjanya. Membiarkan dengkuran halus memenuhi kamar gadis itu, Radit melepas sepatu Helena dan ikut mengempaskan tubuhnya sebentar, melepas penatnya di sofa samping Helena.
Pria itu menatap lekat Helena yang terlelap di bawah pengaruh alkohol. Menatap wajah Helena sedangkan pikirannya berkecamuk akan satu hal, satu rahasia baru yang di dapatkannya barusan saat Helena tidak sadarkan diri.
Lelah dengan segala dugaan tak pasti, Radit memilih untuk bangkit. Detik kemudian menutup pintu apartemen dengan satu hal yang membuatnya tak bisa tidur semalaman.
Keluarga Penggoda?