Cemburu

2094 Kata
Apa yang bakal kalian lakukan saat mantan mengundang kalian untuk datang ke pernikahannya. Bagi Fani sang primadona yang mempunyai segudang mantan dan pernah membuat luka di hati pria sesukanya. Diundang mantan sama saja ajang pamer bahwa dia bisa bahagia dengan pria pilihannya saat ini. Dan hal itu benar-benar berbanding terbalik dengan keadaan rumah tangga Fani dan Yoga. Fani mencuri pandang pada Yoga yang tengah sibuk menonton televisi di ruang tengah sendirian, gadis itu cepat duduk di samping Yoga dengan posisi mepet. Beneran mepet sampai Yoga terpojok di sofa. "Heh, sofa segede gini kenapa milih mepet kesini sih?" ketus Yoga langsung buat Fani cemberut. "Yakan aku pengen duduk mojok Ga," balas Fani manja. Mendengar jawaban dari mulut Fani, Yoga bangkit dan pindah ke sofa sebelah. Fani mendelik, dasar Kuman! "Kok pindah sih?" tanya Fani kesal. Yoga melirik sekilas sebelum fokus kembali pada televisi. "Kamu pengen duduk mojok di situ kan? ya udah aku kasih space kosong, biar kamu leluasa duduk di pojok kanan apa kiri," jawabnya logis. Fani kehabisan akal untuk membuat Yoga bisa duduk di sampingnya, akhirnya dia menghampiri Yoga dan terang-terangan mengatakan, "Aku pengen duduk di samping kamu ih." Yoga melengos, pria itu kemudian bangkit dan masuk ke dalam kamar. Fani segera membuntuti Yoga masuk ke kamar dan menemukan Yoga duduk di sofa tunggal, seolah tahu Fani tidak akan nekat meminta duduk di sampingnya lagi atau parahnya sampai meminta pangku. Gadis itu berdiri di ambang pintu dan terdiam sejenak. Kemudian pikiran nakal muncul dalam benaknya, ia masuk dan mengunci kamar itu. Yoga kelabakan melihat Fani menutup pintu kamar. "Heh, ngapain kamu ngunci pintu segala? jangan macem-macem yaa," ujarnya gugup. Fani tersenyum geli. "Mau sampai kapan Ga, kamu bakal nggak nyentuh aku?" gadis itu duduk di ranjang dan mengelus sprei putih di sana. "Aku bilang pernikahan kita atas dasar perjodohan, kamu jangan lupa kalo aku masih proses mencintaimu." Fani mengedikkan bahunya sambil tersenyum menggoda. "Aku bakal bantu kamu buat mencintai aku Ga. Dengan syarat kamu juga bantu aku," tawar Fani. "A-apa? bakal aku bantu kamu asal tidak bermain di ...." Yoga meneguk ludahnya sembari melirik ranjang. Fani tertawa renyah. "Ampun deh Ga, aku jadi sangsi kamu beneran cowok apa enggak. Mana kejantananmu kalo liat aku di kasur aja kamu beneran takut." "Gue takut kalo lo minta gue puasin lo di ranjang dan kita ngabisin seharian buat enaena, g****k!" batin Yoga panas. "Heh, kalo ngomong dijaga ya, aku cowok normal. Nyatanya aku bisa suka sama Helena," bantah Yoga geram. "Tapi kalo liat aku kayak gini kenapa kamu nggak tergoda?" Fani melepas ikat rambutnya, sengaja mengurainya, ia tersenyum dan duduk di ranjang itu. Fani duduk di ranjang dengan gerakan erotis, menggoyangkan badannya hingga membuat kasur bergoyang. Yoga mendelik. "Heh, kamu ngapain?" Fani melirik Yoga yang panik di sofa, wajahnya gelisah melihat Fani melakukan gerakan erotis. Anggap saja itu senam erotis. "Aku cuma bayangin aja kalo lagi enaena." Bocah edan! Yoga tidak tahu harus bagaimana lagi menyikapi Fani. Diam dia bakal dikerjain, tapi bicara justru membuat Fani semakin semangat mengerjainya. Apalagi Fani benar-benar terlihat panas siang ini. "Aku cuma pengen liat, apakah kamu cowok tulen atau udah nggak ada syahwat buat nyentuh cewek setelah patah hati abis dijodohin sama aku?" "9 dari 10 cowok di Indonesia, bakal terangsang pas liat cewek udah buka baju sama telentang kayak gini, kalo kamu nggak terangsang dan tegang," Fani menggantungkan ucapannya, "berarti kamu impoten atau ... kelainan, homo misalnya." Fani tertawa keras. Bangsat! Yoga bangkit dan menghampiri Fani dengan langkah panjang, ucapan Fani memancing amarahnya. Siapapun cowok tidak akan terima saat kelakiannya dipertanyakan. "Kamu pengen aku mulai dari mana?" Fani tertegun. Yoga terkekeh melihat Fani mematung tegang saat ia mulai membuka satu kancing kemejanya. Batin Fani menjerit. Ia hanya menggoda Yoga saja. "Oke, kita mulai dari sini." Yoga memagut bibir Fani yang sejak tadi terbuka, membungkamnya dengan satu lumatan penuh yang tak terburu-buru. Merasakan bibir Fani yang penuh dan manis, Fani seolah meledak. Dengan gerakan lembut, pria itu memaksa bibir Fani terbuka memberikan akses untuk lidahnya bertaut, mengabsen setiap inchi dari mulut Fani. "Yogaa," desah Fani, gadis itu hanya bisa menutup matanya dan mengalungkan kedua lengannya di leher Yoga, kakinya sudah seperti jelly. Yoga memperdalam ciumannya sampai membuat Fani terbuai. Yoga kemudian menarik paksa bibirnya dari Fani yang saat itu langsung mencebik. "Kenapa, heh?" "Jadi, yang nggak jago di sini, yang lebih hebat di ciuman kita siapa?" Yoga mengusap bibirnya yang basah. Fani melengos. "Tapi, kejantanan kamu masih belum teruji kan?" Yoga mendelik gemas. Ingin rasanya ia memukul gadis itu dengan apapun agar membuat otak mesumnya hilang. "Yang penting aku udah buktiin. Dan sekarang kamu kudu percaya." Yoga teringat sesuatu. "Kamu mau minta tolong apa?" Mendengar pertanyaan Yoga, Fani melirik undangan di atas nakas, gadis itu mnegambil dan menyerahkannya pada Yoga. "Aku butuh bantuan kamu, kamu inget kan, kalo Dimas itu mantan paling songong yang aku punya. Aku harap kamu mau pergi bareng aku malam nanti." Yoga terdiam. "Pergi aja sendiri." Fani mencebik. "Gaaa, aku nggak mungkin pergi sendiri padahal punya suami." "Nggak tertulis di sana kudu pamer pasangan kan?" serang Yoga balik. Bukan Yoga namanya kalau dia sampai kalah lebih awal dari Fani. "Gaaa, tapi ini malam banget acaranya, aku nggak yakin pulang sendiri, mana Sheryl bareng suaminya lagi," rengek Fani manja. "Kerjaanku banyak Faaan, udahan ah, nggak usah ganggu." Yoga menghalau Fani dari depannya saat pria itu ingin keluar dari kamar. "Mana kunci kamarnya?" paksa Yoga. Fani menggeleng dengan wajah menantang. "Siniin nggak?!" gertak Yoga. Fani masih bergeming, tidak memberikan kunci itu meski Yoga mulai berjalan mendekatinya. "Jangan main-main sama gue, gue bilang siniin!" "Mau kemana kamu? Mau ketemu Helena di luar padahal kamu udah punya istri di rumah?" tuduh Fani langsung. Yoga terdiam sejenak, awalnya dia ingin mengajak Helena keluar, namun ajakan yang selalu ditolak membuat Yoga harus berpikir dua kali untuk mengajak gadis itu. Pria itu menatap Fani dan merasakan perutnya yang melilit. "Gue mau beli bakso." Mata Fani menemukan cahayanya lagi. "Ikuuuuutt!" Kacau! *** "Sshh ... aaahh! hemh, aahh." Fani membuka satu kancing bajunya teratas, keringat bercucuran di wajahnya, tapi bukan itu yang membuat Yoga terdiam tegang sejak tadi. Suara Fani membuat orang-orang di warung bakso spontan menoleh ke arah mereka. Suara seksi itu bisa jadi disalahartikan oleh banyak pendengar. "Kamu bisa nggak berhenti buat suara-suara desahan kayak gitu?" tegur Yoga melirihkan suaranya. Tapi, laknatnya Fani, dia justru berteriak keras menjawab ucapan Yoga. "Apaa?! nggak denger aku," seru Fani. Yoga menepuk jidatnya mulai paham akal-akalan Fani. "Oke, berhenti bikin heboh kayak gini ... aku nggak pengen orang lain mendengar kamu mendesah kayak gini, berasa aku lagi anu sama kamu di tempat rame kek gini," papar Yoga sebal. "Mau kamu apa sih?" Jengah dengan kelakuan Fani, akhirnya Yoga bertanya yang langsung dibalas dengan senyuman geli Fani. "Aku pengen kamu dateng bareng sama aku ke resepsinya Dimas," paksa Fani. Astaga! Yoga bisa-bisa bunuh diri saking tidak kuatnya menghadapi tingkah konyol Fani. Tidak ada perubahan dalam diri Fani. Masih saja nyusahin, bikin sebel. "Aku tuh punya riwayat darah rendah, tapi bisa jadi darah tinggi kalo udah berurusan sama kamu, Fan," sindir Yoga. Fani terkekeh. "Jadi gimana? masih nggak mau nerima tawaranku?" Yoga melengos sebal. "Aku terima." Mata Fani berbinar. "Beneran Ga?" "Inget! Ter-pak-sa!" Fani melahap baksonya tanpa mendengar ucapan Yoga lagi. *** Menjadi suami Fani adalah idaman bagi semua orang. Cantik, pintar, periang, supel, dan tentunya menggairahkan. Siapapun pasti mengidamkan cewek sempurna macam Fani, Yoga adalah cowok tergoblok yang pernah Fani temui. Disaat ia mencintai Yoga sampai mampus, cowok itu sama sekali memiliki rasa seperti Fani. Apa kurangnya dari seorang Fani sampai Yoga tak pernah berusaha untuk mencintainya atau sekadar mencoba untuk tertarik pada Fani. Malam ini Yoga kembali menjalani tugasnya untuk menjadi suami romantis yang bakal bikin mantan Fani mikir kalau Fani dan Yoga adalah perfect couple, no debat! "Hey, Boy ... happy wedding ya, jaga cewek kamu baik-baik, jangan bikon dia ngamuk, jangan buat dia sedih, pokoknya don't making her cry and regret having married you," pesan Fani sembari menepuk pundak cowok itu. Yoga tertampar dengan ucapan gadis itu dengan mulut terkatup sangat rapat. Dimas terkekeh. "I do, Fanii, anyway, makasih banget loh udah mau dateng ke pernikahan kami," balas Dimas balik menepuk pundak Fani. Dimas dengan terang-terangan menatap Yoga dan mengatakan. "Ini pacar kamu?" Fani menatap Yoga, "Ah, dia itu-" "Yoga, suami Fani," serobot Yoga cepat. Ada nada posesif yang ditangkap Dimas dalam ucapan Yoga. "Yaelah Fan, aku pikir kamu masih koleksi cowok kayak dulu," ceplos Dimas minta ditabok. Fani tertawa. Berulangkali Yoga melihat adegan ini setiap ia bersama Fani. Fani dan cowok-cowok fantastisnya. Namun, tidak pernah dia merasakan hal aneh seperti ini. "Ekhem," dehem Yoga untuk mengingatkan bahwa kehadirannya di sama tidak sebuah manekin. "Kayaknya kita mau muter-muter dulu deh, sekalian ketemu sama temen SMP lainnya. Iya kan, Fan?" tanya Yoga diikuti remasannya di genggaman tangan mereka. Yoga memaksa! Fani hanya bisa mengangguk konyol di depan Dimas. Yoga menggamit gadis itu lebih jauh dari Dimas lalu melepaskan genggaman mereka. "Faaaan!" seru Yoga tertahan. Fani diam mematung dengan ekspresi tidak mengerti. "Kenapa?" Yoga menatap gadis itu seolah ingin menelan bulat-bulat Fani yang melemparkan tatapan polos. Tidak mengerti. "Kamu nggak perlu sok asyik sama temen kamu lagi, bercanda lah, ketawa lah, asyik sendiri lah, aku gak suka!" ketus Yoga. Menyadari nada ucapannya mirip orang yang cemburu, lekas ia menambahkan, "Aku capek nunggunya, paham?!" Fani mengangguk lamat-lamat, mencerna ucapan Yoga yang terdengar posesif. Detik kemudian Fani tersenyum geli, Yoga mendelik saat Fani menatapnya dengan tawa tertahan di matanya. "Ngapain? Nggak usah senyum-senyum." Fani mengangkat bahunya. "Gaa, aku mau ketemu temen bentar deh, mau ikut?" tawar Fani yang langsung ditolak Yoga. Soalnya, pria itu mencium aroma peristiwa, di mana Fani bakal memperkenalkan dia pada teman-temannya itu seolah sedang pamer pasangan. "Tau aja kamu kalo mau aku pamerin ke temen," celetuknya sambil ketawa. Tuh, kan! "Lagu lamaa," sewot Yoga. Pria itu memilih makan cake dan es krim di ujung sana sambil menunggu Fani selesai menyapa teman. "Eh, kalian pada tau nggak, gue tadi papasan sama siapa?" Satu suara di samping Yoga berseru tertahan pada dua cowok di meja tamu. "Selena?" "No, no, no, tebak lagi." "Wendaaa nih." "Big no, anjriitt! Gue ketemu Fani dong." Nada suaranya bangga sekali seperti bertemu dengan Tzuyu Twice. "Buseett, itu anak makin keren aja dan lo tau?" Angga meliukkan tangannya menggambar lekukan tubuh,"uuuh! makin tokcer deh," jelas cowok bernama Rangga. "Anjiir! gue jadi inget ciumannya, pacaran sama Fani bawaannya pengen gue bawa ke ranjang mulu, gue desahin aja di sana," sahut cowok lainnya. "Inget Yan, Lo tuh cuma mantan yang dilepeh gara-gara ada Reynald," kekeh Edgar menepuk pundak cowok bernama Ryan. Mendengar satu per satu percakapan mereka membuat Yoga ingin meledak. Mereka tidak tahu saja sejak tadi Yoga sudah mendidih, panas sekali mendengar nama Fani disebut mereka dengan ketertarikan yang terlihat. Pria itu menyesal karena tidak ikut Fani bertemu dengan temannya, biarpun dipamerin, setidaknya Yoga bisa menggertak cowok yang genit dengan Fani. Mengapa ia harus sepeduli ini pada Fani? Mungkin karena Fani adalah sahabatnya sejak dulu, wajar jika jiwa solidaritasnya tergugah mendengar nama Fani disebut cowok lain, di masa lalu istrinya itu. Yoga menangkap pergerakan Fani yang melambai ke arahnya, ia tersenyum manis ke arah Fani. Satu pikiran muncul dengan nakalnya di benak Yoga. Akan ada pertunjukan untuk semua tamu undangan! "Maaf sayang, tadi aku lama ya? kamu pasti udah nunggu lama sekali eh—" Yoga meraih wajah Fani, memagut bibirnya dengan cepat. Gadis itu seperti tersengat listrik. Gerakan tiba-tiba ini melumpuhkan segalanya, ia hanya bisa mengalungkan kedua lengannya di leher Yoga, memejamkan matanya mengikuti permainan ini. Lidah mereka saling bertaut, Yoga membiarkan Fani sejenak menguasai ciuman mereka sebelum Yoga merapatkan badannya ke Fani lalu meremas b****g gadis itu. Membiarkan erangan Fani teredam dengan ciuman mereka. "Anjir, siapa dia?" tanya Ryan shock. "Gue rasa itu cowoknya, deh, Yan," sahut Edgar yang ikutan melongo melihat mereka. Semua tamu undangan tahu adegan mesra ini. Dan Yoga sengaja melakukannya untuk Fani, juga untuknya, untuk hatinya yang merasakan cemburu. "Anjing, perasaan yang nikah hari ini bukan mereka, kenapa mereka yang mesra-mesraan?" sewot Ryan tak terima. "Udalaaah, lo tuh cuma mantan yang di lepeh dan dicampakkan kayak tai," kekeh Rangga mengompori. "Bangsaat lo berdua!" Yoga menjauhkan wajahnya saat Fani kehabisan napas. "So? apa aku masih keliatan kayak cowok impoten dengan ciuman sepanas itu, Fan?" kekeh Yoga. Masih ada kilat aneh di mata pria itu. Fani mengusap bibirnya yang basah, ia hanya bisa menutup wajahnya di balik jas yang dikenakan Yoga. Malu. "Kamu kenapa tiba-tiba kayak gini?" tanya Fani panik. Yoga tersenyum, dengan gerakan posesif dia merangkul pinggang Fani. Dan mencium pundaknya. "Cause, you're mine fine. Gak boleh ada yang nyentuh kamu selain aku." Fani nggak salah dengar, kan? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN