Ribut dari dulu

2033 Kata
Sepeninggal menidurkan kembali Fani, Yoga duduk melamun di sofa, menatap wajah terlelap Fani yang damai di depannya. Katakan ia plin-plan, pengecut, b******k— ia membenci Fani, tapi tidak juga merelakan Fani menangis karena Yoga. Rasa bersalah itu membuat Yoga terjaga menatap Fani semalaman bersama kenangan dengan gadis itu. "Heh! lo apaan dah? gangguin tidur gue aja lo ah," gerutu Yoga saat ia terbangun karena telfon dari Fani tengah malam buta. "Gaaa, aku lapeeer. Cari makan yuk?" ajak Fani seenak jidat. Yoga melirik jam dinding di kamarnya dan mendelik saat ia sadar Fani membangunkannya di pagi buta hanya untuk cari makan? Hebat emang. "Lo tau ini jam berapa?" Fani terdiam di sana. "Jam berapa? jam tiga, kan?" tanyanya polos. Seseorang tolong untuk menabok wajah Fani saat itu juga. "Jam tiga, Njir. Dan lo minta makan jam segini, mana ada warung yang buka kalo nggak warung pinggir jalan itu." Fani di sana ribut nyari jaket tebalnya. "Terserah apa aja deh. Yang penting porsinya niat aja. Lo tau kan gue melihara anaconda di perut gue?" teriak Fani. Yoga menjauhkan ponselnya, saat suara Fani melengking tajam. "Ogah! gue mau balik tidur." Fani tersenyum saat jaketnya ketemu. "Ayo Ga, gue dah siap nih. Lima menit nggak pake lama." Sambungan terputus. Yoga mengerang sebentar sebelum pria itu bangkit dan memanasi mesin mobilnya dan meluncur ke rumah Fani. Gadis itu masuk ke mobil dengan cengiran. "Mau kemana nih?" Fani mengetukkan jemarinya di dagu berpikir cepat. "Kalo ada nasi goreng seafood gue mau makan itu." Yoga mendelik. "Lo keluar dari mobil gue kalo minta yang aneh-aneh di tengah malem buta gini," ancam Yoga membuat Fani tergelak di posisinya. "Ya udah kita muter aja dari selatan sampe utara, dari timur sampe barat," usul Fani ngaco. Yoga memutar setirnya tanpa tujuan pasti, karena yang pasti hanyalah kelaparan Fani harus segera diselesaikan segera dimanapun tempatnya. Setelah muter hampir dua jam. Mereka berhenti di warung nasi goreng, mau tutup lagi. Setelah Yoga mengiba di depan mamang nasi goreng itu, berharap masih mau melayani satu pelanggan saja. Akhirnya, penjual itu mengiyakan permintaan Yoga demi 'Istrinya yang tengah hamil muda'. Fani menyengir saja saat Yoga melakukan aksinya untuk meluluhkan hati penjual nasi goreng itu. "Makan yang banyak, biar nggak nyusahin orang lagi," kata Yoga sembari terus menatap Fani melahap makanannya. "Alaah, sama elo mah nggak ada ngerepotin. Elo kan ... babu." Fani tergelak yang langsung dibalas Yoga dengan menjambak rambut Fani. "Lo emang ngeselin dari lahir." "Penting cantik." Yoga mengamati porsi makan Fani yang benar-benar tidak beraturan. "Cewek nggak suka makan malem karena diet kan? Kenapa lo nggak kayak mereka?" Fani melambaikan tangannya sambil terkikik. "Nggak tau. Tapi, gue lebih sayang perut daripada harus kelaparan, nyiksa diri banget." "Nggak takut kalo gemuk?" Yoga menaikkan alisnya mulai tertarik dengan alasan Fani. "Yaelaaahh, percuma dong gue kerja, dapet gaji bukannya buat makan eh, malah diet. Mau jaga penampilan nggak kudu nyiksa diri. Percaya diri aja kali." "Gimana kalo ada orang yang ngatain elo gemuk? Jadi, jelek gitu apa gimana?" Fani justru ngakak. "Siapa orang yang berani bilang gue jelek? Matanya katarak kali ya, gue tuh kembaran terpisahnya Gigi Hadid gini dibilang jelek, I'm beautiful no matter what they say," ujarnya narsis. Yoga menghela napas pasrah. Susah emang ngomong sama orang habis akalnya, suka banget bikin darah tinggi, tapi dia happy aja. "Lo tau kenapa gue lebih milih jadi diri gue sendiri Ga?" tanya Fani tiba-tiba. Yoga menatap Fani ingin tahu. Gadis itu menandaskan es teh di depannya kemudian tersenyum samar. "Biar orang yang suka sama gue liat gue apa adanya dan biar orang yang benci sama gue bisa leluasa menghujat gue sesuai opini mereka." Yoga terdiam kaku saat Fani pindah posisi dalam tidurnya. Pria itu membetulkan posisi selimut yang dibawa Fani. Kemudian balik menatap gadis itu dalam posisi semula. Fani yang dikenalnya dan malam ini Yoga mengenangnya. Karena kenangan dengan Fani sering menyulut emosinya daripada buat dia senyum karena indahnya. Seperti saat Fani mengiriminya pesan saat ia tengah meeting. Fun Ga, Jalan yuk, gue gabut di rumah. Gue pengen ke Kuta. Kangen liat ombak kejar-kejaran. Yoga seketika meninggalkan meetingnya dan menghubungi Fani saat itu juga. "Heh sableng! lo nggak lagi ngidam kan? gila aja ya lo, minta ke Bali kayak mau minta bakso aja. Sekate-kate nih bocah," semprot Yoga seketika. Fani tertawa keras di ujung telepon. "Lagian gue baru sekali ini ngajak lo pas lagi kerja, pasti lo butuh refreshing, kan?" Mendengar kata kerja disebut Fani, Yoga tersadar ia baru saja meninggalkan meeting begitu saja hanya untuk gadis itu. "Iya Faniiiii ... tapi gue lagi meeting ah. Ya ampun lo udah ganggu gue sumpah," keluh Yoga. Fani terdiam di sana. "Yaahh, gue ngerepotin elo banget ya? gue minta maaf deh. Nggak tau. Abis ini janji nggak bakal ganggu lagi pas lo lagi kerja," jawab Fani merasa bersalah banget. Yoga malah makin kelabakan saat Fani terdengar sedih di ujung sana. Pria itu akhirnya buru-buru menambahkan kata sebelum Fani menutup teleponnya. "Lo cari tiket pesawat sore ini, gue bakal balik sore nanti. Kita terbang langsung selepas jam kerja." Di sana Fani memekik senang. "Yakin lo nggak kesambet?" Yoga mengusap wajahnya lelah namun juga lega saat mendengar teriakan Fani di ujung telepon. Sekelebatan itu membuat Yoga tersenyum kecil. Ada yang menghangat di hatinya. "Ga, kenapa nggak ikut turun ke sini main air ih," teriak Fani begitu mereka sampai di sana. Yoga menggeleng. Tugasnya hanya mengawasi gadis itu supaya tidak over dalam bertindak, misalnya saja kalau Fani sampai berenang ke tengah atau saat seorang cowok genit mendatangi Fani. Panjang umur, baru saja dibatinkan Yoga, seorang cowok blasteran mepet ke Fani dan menyapa gadis itu dengan senyum ringan. "Fani? Lo sampe sini juga?" Yoga cengo. Mantan Fani benar-benar tersebar di seluruh penjuru Indonesia. Entah siapa lagi pria di depannya itu, yang pasti Yoga mendekat dan menghapus jarak diantara dia dan Fani. "Udah sore, ntar kamu masuk angin kalo main air terus," ucapnya sambil merangkul pinggang Fani posesif. Fani menyengir. "Kenalin, Yoga. Dia pacarku, Ren." Orang yang namanya Daren itu mengangguk lamat-lamat, kemudian dia tersenyum dan berdiri di samping Yoga. Jelas maksudnya buat nyadarin Fani, supaya buka mata lebar-lebar. Ada cowok yang lebih ganteng di samping Yoga. Sebenernya Yoga pengen gampar wajah Daren detik itu juga. Tapi, Fani buru-buru tersenyum dan merangkul erat Yoga, mesra sekali. Yoga paham. Oh, maksudnya kita main peran gitu ya Fan? Oke. Yoga mengecup puncak kepala Fani. "Kita balik ke hotel yuk." Fani mesem saja. "Daren, gue sama Yoga balik dulu ya, kapan-kapan mampir ke bilik kita. Lo ada pasangan nggak?" Daren tersenyum kecil. "Nggak ada." Fani merengut sok sedih. "Yaudah, lo kan bule tuh, di sini banyak banget cewek cantik. Bule lagi. Tinggal pilih, gue duluan ya," pamit Fani langsung ngeloyor sama Yoga. Daren menatap keduanya dengan tatapan iri. "b*****t! Hoki banget tuh laki bisa dapet ciuman Fani tiap malem." Itulah Fani yang seenaknya dengan cowok. Cantik membuatnya bebas bertingkah. Yoga juga pernah hampir dibuat kesedak oleh Fani saat mereka makan bareng siang itu. Fani mengipas-ngipasi badannya, bajunya sudah super ketat dan membuat semua mata cowok melotot ke arah mereka. Yoga tidak mungkin terus-terusan mendelik pada setiap cowok yang lewat dan menatap mereka. Fani memang panas dan itu membuat Yoga jadi gerah. "Lo lagi pamer sama siapa sih sebenernya?" tanya Yoga tidak betah liat Fani pamer tubuh seperti itu. Fani mendelik tak paham. "Lo bilang apa? Pamer? Dosa tau ih. Gue nggak pamer sama sekali ke orang-orang." "Yakan itu pemikiran elo Fan, kalo cowok jadi nafsu liat lo kaya gini gimana? Lo mau kenapa-napa di jalan kalo ada cowok yang punya niat sama lo?" Yoga jadi greget mendengar alasan tidak peduli gadis itu. Fani tertawa keras. "Ya ampun Gaaa. Enggaklah. Mereka liat gue segitunya mungkin karena mereka kagum aja liat gue kayak liat artis panas di video bokep yang ditontonnya," ceplos Fani membuat Yoga menutup mata sambil istighfar maraton. "Emang lo mau jadi objek pikiran m***m mereka?" Fani gantian mendekat ke arah Yoga. "99% dari otak cowok ya buat mikir m***m, satu persennya dibiarkan suci buat pas sholat sama ibadah lainnya. Jadi, gue nggak kaget kalo liat cowok pada nonton bokep. Lo nonton juga nggak?" todong Fani langsung. Yoga menatapnya bingung. "Nonton apaan?" Fani meghela napas capek. "Ya nonton bokeplah," ceplosnya tanpa sadar dengan nada tinggi, membuat beberapa pasang mata menatap ke arah mereka dengan mencureng. Fani menyengir. "Nih, ya Ga, cowok itu sedikitnya punya 100 video bokep di ponsel mereka." "Teori dari mana tuh?" sewot Yoga langsung. Ya sebagai cowok suci yang notabenenya belum pernah liat gituan, Yoga jelas tidak terima. Fani mempoutkan bibirnya. "Ih, nih anak nggak pernah nonton gituan. Kapan malam pertamanya bisa muasin istri lo." Yoga balas mendecak kesal. "Lagian ngapain nonton gituan, heh? Dosa jariyah yang ada." Fani cemberut. "Terserah. Elo mah nggak laki," gumam Fani sebal. "Lo bilang apa?" "Enggak. Gue butuh bakso ekstra pedas satu," teriaknya langsung pada pelayan sambil ngegas. Fani yang jahil. Yoga tak habis saja mengenang semua itu. Karena Fani terlalu unik untuk dikenang. Dan kenapa diantara banyaknya cerita indah dengan Fani, harus ada masalah serumit ini. Pria itu menjambak rambut depannya dengan frustrasi. Ini memang bukan salah Fani. Tapi, salahkan saja persahabatan mereka yang terlalu erat sampai lupa satu hal. Bahwa setiap persahabatan yang melibatkan dua orang lawan jenis, yang saling memberi dan diberi kenyamanan— ingatlah mereka juga butuh konsentrasi untuk tidak meminta hati ikut berperan. *** Yang Fani ingat, Yoga tidak pernah mengajaknya makan kalau dia nggak lagi dapat bonus atau sedang insaf akan sesuatu. Jadi, daripada nethink memikirkan hal apa yang membuat Yoga hari ini sedikit baik hati, Fani lebih memilih fokus dengan sepatu di depannya. "Mau cari yang mana?" tanya Yoga ikut menimbrung saat Fani masih mematung di depan etalase yang memajang sepatu-sepatu dengan brand terkenal. Gadis itu menyengir. "Bingung kalo disuruh milih kayak gini. Mana belinya pas ketiban untung ada yang baik hati lagi," cengir Fani langsung mengacungkan dua jarinya membentuk peace. "Nyindir aku nih?" Fani tertawa kecil. "Enggaklaah, dikit-dikit kesindir. Suudzon banget jadi human." Fani memilih satu Loubotin dan dua sepatu yang dipilihkan Yoga nyaris membuat gadis itu kehilangan napasnya beberapa saat. Yoga ini kalau sekali belanja bisa ngabisin warisan tujuh turunan. "Ga, duit gajianku tiga bulan nggak bakal bisa ganti satu sepatu tadi. Kamu jangan becanda deh, aku nggak bakal kuat gantinya kalo kamu minta ganti," cerocos Fani. Yoga mesem. "Kalo kamu nggak bisa bayar, bisa aja itu sepatu dijual lagi. Beres," jawab Yoga ringan. Sedih emang ngomong sama Yoga. Cowok romantis pasti melarang ceweknya ganti harga sepatu itu, emang ya ... cowok langka macam Yoga suka bikin hati susah move on. Yoga mengeluarkan platinum card dari dompetnya, yang langsung membuat Fani tersenyum sembari berdecih. "Lo emang ada niat pamer terselubung ya," ejek Fani yang langsung dibalas dengan tatapan tajam Yoga. "Kenapa kalo aku lagi baik hati sama kamu jatuhnya diremehin sih?" tanya Yoga kaku. Fani terdiam. Kenapa jadi tegang gini kondisinya. "Aku nggak niatan buat kamu marah, aku pikir tadi becanda-" Yoga menarik Fani dalam pelukannya. "Mumpung moodku lagi baik, jadi jangan buat aku badmood apa aku suruh balikin itu semua sepatu?" Fani tertawa. Yoga menikmati tawa gadis itu, ada yang berbeda saat melihat tawa bahagia Fani. "Ah, aku tau kenapa kamu beliin aku semua ini. Kamu udah cinta sama aku kan Ga?" Fani memainkan alisnya naik turun dengan jenaka. Yoga menghela napas pendek. "Anggap aja ini reward buat masakan asin kamu semalem." Begitu mendengar jawaban dari mulut Yoga, Fani spontan menabok punggung Yoga. Yoga kesedak. "Bocah kalo sableng tujuh turunan ya gini." Fani berjalan dengan riang di depannya. Wajahnya memang selalu bahagia. Yoga berdecih pelan. Saat ini ia seperti kembali ke masa lalu. Saat ia dan Fani masih bersama sebagai sahabat. Mengingat itu membuatnya lemas seketika. Ada satu hal yang menyentil ingatannya saat kebencian dengan Fani muncul. Ia telah melupakan seseorang sejak semalam setelah janjinya pada gadis itu untuk kembali bersama. Diliriknya ponsel yang belum dilihatnya sama sekali sejak semalam. Ada banyak notifikasi dr gadis itu. Menunggunya untuk menghabiskan malam bersama. Yoga meneguk ludahnya, langkahnya terhenti seketika. Bayangan Fani yang berjalan riang, berkelindan dengan bayangan gadis yang menunggunya semalaman untuknya. Dua gadis yang berjuang dan yang sedang diperjuangkannya dalam satu malam membuat hatinya goncang. Yoga menguatkan hatinya, karena setelah ini, entah bagaimana nasib senyum Fani yang menawan itu. "Sepertinya kamu harus terluka lebih banyak lagi, Fan," lirih Yoga. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN