Backstreet?

2081 Kata
Namanya perusahaan itu semuanya serba ketat. Penampilan dinilai, cara bicara dinilai, gerak-gerik dinilai setiap kalian masih ada di dalam kantor. Dan lebih parahnya lagi, ada satu peraturan ketat yang benar-benar masuk tahap 'warning'—peraturan yang tidak pandang bulu— berlaku dari yang pangkatnya boss sampai satpam adalah tidak diperbolehkannya menjalin hubungan khusus dalam satu kantor. Lalu, apa yang dilakukan Yoga dan Helena? namanya ya apalagi kalau nggak dosa besar? Mencintai Helena itu seperti 'nyari mati' saja. Tapi, jiwa bucin seorang Yoga memberontak dengan menambahkan bahwa yang namanya cinta itu ya buta. Yoga ini terjerat pasal berlapis, dia tidak hanya memiliki hubungan khusus, tapi juga pernah berhubungan bibir. Menyatu banget. Tapi itu dulu. Dulu banget, tiga bulan beranjak empat bulan yang lalu. Mungkin memang inilah salah satu alasan mengapa kantor melarang karyawannya mempunyai hubungan khusus dalam satu atap. Ya gini, kalau sudah putus kayak Yoga gini bisa mempengaruhi konsentrasi kerja. Yoga menggelengkan kepalanya, saat kelebatan Helena yang tersenyum formal padanya barusan. Foto itu pasti sudah menyebar dan diketahui Helena. Yoga mengeluarkan satu ponsel lain dari sakunya kemudian menimang-nimang. Rasanya pengen banting saja ponsel di tangannya itu, tapi apa dayanya, itu ponsel Fani yang didapatkannya dari gaji pertamanya di kantor lima tahun yang lalu. Selain itu, ia juga ingin menghapus foto-foto aneh di galeri Fani. Yoga yakin sekali, Fani menyimpan banyak foto aib orang tak terkecuali Yoga. Serius mengamati ponsel Fani, tak sadar seseorang telah mengamati Yoga dari jarak paling aman baginya. Helena mengembuskan napas lagi. Bekerja dan menjadi orang terdekat dengan Yoga adalah beban baginya saat ini. Mungkin semua orang tidak tahu, bahwa satu tahu belakangan ini boss dan sekretaris perusahaan mereka telah menjalin hubungan khusus. Backstreet. Apa ia juga akan di deportasi oleh Yoga setelah pria itu merasakan kebosanan atau situasi sulit seperti ini? Kemudian perusahaan lain akan mengirim balik sekretaris terbaiknya. Tidak mungkin Yoga seperti itu. "Ngelamunin apa? ayo ikut saya mengevaluasi semua karyawan. Kita turun langsung buat liat," titah Yoga dingin. Yoga nyaris saja menabok mulutnya saking dia tidak pahamnya kenapa ia bisa sedingin itu dengan Helena. "Iya, Pak." Sigap gadis itu mengekori Yoga di belakang. Yoga menoleh sekilas. "Kenapa di belakang saya?" "Saya cuma menjalankan peran saya sebagai sekretaris profesional, Pak," jawab Helena polos. "Tapi kenapa harus di belakang saya?" Helena menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Jadi, dia harus di mana? Yoga berhenti kemudian menatap lekat Helena yang masih bingung harus melakukan apa. "Sudahlah. Sekarang jelaskan, bagaimana perkembangan anak baru yang kemarin baru di acc?" Helena menarik napas panjang. "Seperti biasanya, kami melakukan traine terhadap anak baru terlebih dahulu selama dua minggu, pelaksana memberikan laporan perkembangan untuk anak baru yang siap menandatangani kontrak kerja-" Sembari terus menjelaskan, Helena menunjuk satu per satu anak baru. Yoga menatap lekat gadis di depannya. Cantik, pintar, ulet, anggun. Semua hal yang diinginkan oleh Yoga berada dalam satu sosok. Helena. Tapi, mengapa kisah cintanya menjadi serumit ini? Melepaskan Helena terlalu sulit baginya, apalagi ia melepas karena keterpaksaan, sebabnya perjodohan lagi. Ia sedikit kehilangan akal dengan pemikiran mengapa masih ada perjodohan di zaman modern ini. "... tapi, penetapan enam jam kerja seperti ini membuat produksi sedikit berkurang dari pendapatan pada jam maksimal, itu juga berlaku pada, eh-" Yoga menarik Helena dalam pelukannya. Mengencangkannya dalam pelukan terhangat. Helena merasakan tikaman dalam ulu hatinya. Sudah berapa kali Fani mendapatkan pelukan seerat ini? Lengan Yoga tidak lagi untuknya, tangannya tidak lagi dibuat untuk mengusap punggungnya saja. "Jangan nyiksa aku lebih dari ini, Helena. Kamu tau semua ini- aku dan Fani- pernikahan kami adalah perjodohan saja. Kami, aku tidak mencintai Fani." Helena menggigit lidahnya untuk tidak berkomentar. Ia menekan wajahnya ke d**a Yoga. Pria itu tidak boleh tahu saat ini ia menangis. "Orangtua kami yang meginginkan kami menikah. Bukan aku. Aku cuma cinta sama kamu, Len. Cuma kamu yang berhasil membuatku segila ini. Dan diammu bikin aku makin hilang akal," curah Yoga penuh sesal. "Biarkan aku memelukmu seperti ini. Aku rindu kamu. Aku rindu kita, Len. Aku rindu saat kita bisa bersama. Kamu nggak ingin aku memperjuangkanmu lagi?" tanya Yoga menoleh pada gadis di pelukannya. Helena menguraikan pelukan pria itu dan mengedarkan pandangan ke sekitar. Sepi. Tidak ada yang berjalan di lorong. "Kamu nggak ingin kita bareng lagi, Len?" ulang Yoga. Helena menggelengkan kepalanya. "Apa aku harus merebut suami dari pelukan istrinya, Ga?" Helena menatap Yoga nanar. Pria itu bergeming di tempatnya. "Bukannya lebih baik kamu mencintai orang yang sekarang sudah menjadi istrimu?" Yoga menggeleng. "Aku tidak mencintai Fani, Len." Helena tertawa kecil. Wajahnya prihatin. "Orang secantik Fani? Kamu nggak suka sama Fani?" ujar Helena lebih seperti memastikan. "Mata kamu perlu melihat jelas gimana Fani. Aku juga perempuan Ga, aku tahu Fani mencintaimu sampe mampus. Lihat ketulusan di matanya," lirih Helena. Yoga terhuyung ke belakang. Bersandar pada pilar-pilar raksasa perkantoran. Apa perasaan Fani sedalam itu atau setiap perempuan sepeka itu akan perasaan? Helena menyentuh wajah Yoga dengan lembut. Matanya berkaca-kaca. "Aku juga cinta sama kamu, Ga. Banget. Tapi, kamu tau gimana keadaan sekarang?" Yoga sadar sepenuhnya, bahwa cinta mereka tidak seperti hubungan biasanya. Dimanapun mereka bersama, dunia seolah ikut memusuhi dengan menyusupkan kekhawatiran pada hati mereka. "Aku akan mencoba bilang pada orangtua ku jika kamu ingin aku memperjuangkanmu kembali, Len." Yoga mengambil tangan Helena kemudia mengecupnya. Helena tersenyum. "Aku mencintaimu, tapi aku tidak ingin merusak pernikahanmu dengan Fani, Ga. Jadi, cobalah lebih bijak untuk mengambil keputusan. Kita berjalan seperti sebelumnya saja." Gadis itu menepuk pundak Yoga, kemudian mereka berjalan dalam diam. Yoga tahu ia berkhianat jika melakukan ini. Tapi, ia berjanji akan memperjuangkan cintanya meski semua melarang mereka bersatu. Kisah mereka akan tetap berjalan. *** Fani celingukan menatap keadaan sekitar. Tidak menemukan tanda-tanda kedatangan tim satu kerjanya. Hanya Fani dan Radit saja yang berhenti di sebuah cabang kantor elektronik tempat mereka bekerja. "Nyari siapa?" tanya Radit melihat raut wajah Fani yang keliatan bingung. Fani menatap pria di depannya dengan kening berkerut. "Tim kita mana? Nggak ada satu anak pun dari tim kita yang ke sini, Dit." Radit mengusap wajahnya sekilas. "Kita cuma berdua di sini. Nggak sama tim," ujarnya pelan memancing kecurigaan Fani. Gadis itu memicingkan matanya ke arah Radit yang menahan senyum geli. "Nggak sama tim? nggak mungkin lah. Gue nggak bego ya sampe percaya aja sama omongan lu. Jadi, sebenernya kita mau ke mana?" Radit nyengir. "Lo emang bisa aja Fan. Iya, gue sengaja ngomong sama lo buat ketemu di kantor cabang sini. Bersyukurnya lagi, lo malah barengan sama gue. Pas banget, di samping kantor ada warung padang. Gue lagi kangen banget sama warung padang," curhat Radit yang langsung menepikan mobilnya di halaman warung itu. Fani cengo. Kalau ada orang yang sebelas-dua belas dengan Sheryl, ya Radit orangnya. Cowok sableng yang dikenalnya pertama kali di kantor. Cowok yang menyapanya dengan gaya noraknya. Meski dikenal sebagai partner-in-crime Fani di kantor, akses Radit sebagai teman benar-benar terbatas, pria itu hanya diperbolehkan menyentuh Fani saat ia akan menyebrang. Tidak ada peluk-pelukan. Cuma Yoga yang bisa seenaknya meluk-meluk Fani pas nangis. "Lo pesen apa?" Fani melirik Radit tanpa minat. "Duain aja. Sama kayak lo." Radit mengangguk. Ada awkward silence cukup lama yang bikin Radit jadi garuk-garuk kepala, tidak tahu mau ngomong apa. "Gue liat suami lo keluar buru-buru banget," ucap Radit akhirnya. Niatnya hanya untuk mendapatkan sedikit perhatian dari Fani sebelum makanan mereka datang. "Lo tau nggak Fan, kadang gue suka rumpiin elo sama anak tim. Kok bisa apes banget ya cowok lo nikah sama cewek bar-bar kayak lo." Fani mendelik. "Heh! siapa yang bar-bar? lo pada aja yang baperan. Udah tau jam kerja, masih aja ngerumpi, padahal kita punya target yang—" Radit selalu suka saat melihat Fani secerewet ini. Tapi, sayang hati gadis itu telah dimiliki. Cukup lama saat ia tahu bahwa Fani juga pernah merambah dunia malam. Justru, percakapan itulah yang membuat mereka semakin dekat. Karena, Radit pun bukan pria alim yang kerjaannya di masjid. Maksudnya, siapapun orangnya pasti punya cara tersendiri buat bergaul dan merasakan kedamaian dunia. Dan Radit menemukan kedamaian dunia dalam gemerlap dunia malam yang melayangkan akalnya. Fani juga termangu. Memikirkan respon Yoga pagi tadi, mengapa Yoga marah pada tindakannya? "...'Cause you're mine." Radit melihat hal itu. Ia mencoba untuk sedikit mengusik Fani. "Anyway, how are you Fan? are you okay?" Fani menoleh dan tersenyum. "Why? Whats wrong? I'm good just kinda tired." Radit melihat lebih dari itu. "Gue bukannya mau kepo. Tapi, gue orangnya gak enak kalo makan tapi orang di depan gue cemberut kek gini. Yang ada makanan gue hambar nantinya," seloroh Radit. Ia mengusap jemari Fani di meja dengan lembut. "So, Fan? Don't be sad. Gue nggak tau lo ada apa sekarang? cuma gue harap lo bisa senyum. Senyum doongg." Radit menaik turunkan kedua alisnya dengan jenaka. Fani tersenyum. "Lo apaan deh." "Nah gitu dooong. Lagian nih ya Fan, gue ngajak lo bolos juga jarang-jarang banget. Coba lo hitung kapan absen dari kantor?" tanya Radit. Fani mengerutkan keningnya dan menggeleng. "Nggak pernah, hm? Nah, mumpung hari ini gue lagi ngidam makanan padang. Jadi, gue minta elo buat nemenin gue." "Kenapa harus gue?" "Setelah gue pikir, gue istikhoroh ternyata orang yang pas buat temen bolos dan orang yang sangat tepat kena omelan si Boss, itu cuma elo!" Fani tertawa keras. "Anjir lo ya ... mentang-mentang gue bar-bar jadi lo manfaatin kayak gini." Radit menggeleng sambil tertawa kecil. "Gue tau elo tahan banget sama omelan Boss." "Iya deh. Demi elo, cowok kampret." Kalau boleh jujur. Radit rela dikatakan kampret, fuckboy, buaya, atau semerdeka Fani saja. Asalkan gadis itu bisa tertawa. Bagi Radit, tawa Fani itu cinta, ketika dia tidak bisa lagi mengambil hati Fani, setidaknya Radit bisa membuat Fani tertawa karenanya. "Dit! abis ini sekalian ke mall yuuuk ... gue kangen main di Timezone." Radit sedikit merasa surprise. Tingkah konyol Fani apalagi yang tidak diketahuinya. "Ampun dah Fan, umur lo berapa masih main di kawasan bocah," sindir Radit tajam. Fani menabok lengan Radit keras. "Aelah, banyak bacot lu, gue udah nemenin lu bolos. Masih nggak mau terimakasih sama gue? Gue pulanh sekarang." Fani nyaris bangkit sebelum Radit mencegah lengan gadis itu. "Iya deh iyaaa ... ya ampun ngancem banget. Entar gue tungguin elo main sampe puaaaaass." Fani menyengir lagi saat makanan mereka datang. Gadis itu punya satu misi untuk sejenak mengenyahkan pikirannya dari sikap Yoga yang sering berubah-ubah macam bunglon. Timezone. Dia akan memukul kepala-kepala tikus di sana. *** Mungkin Radit tidak akan menyesal melihat Fani bisa sebahagia ini dengan anak kecil yang bermain di sana. Ia tampak sangat menikmati kegiatan bermainnya. Sesekali mengajak seorang anak untuk ikut bermain dengannya. Radit cukup menunggu Fani sembari sesekali ikut tertawa saat melihat wajahnya kesal sebab tidak berhasil memukul tikus. Ujungnya, Fani menghampirinya dengan gontai dan duduk di sampingnya. "Dit, siang kayak gini, bagusnya makan ice cream deh." Radit melengos. "Ogah. Ngabisin duit banget lu." "Iya. Gue mau vanila sama coklat aja. Banyakin vanilanya ya," jawab Fani tidak mau mendengar alasan lain. Radit mendesah pelan sebelum akhirnya bangkit. "Oke tunggu di sini, gue beliin." Selang beberapa menit kemudian pria itu pulang dengan dua genggam cup ice cream di tangannya. "Lo baik banget dah sama gue, jadi sayang deh," gurau Fani sambil menerima satu cup ice creamnya. "Anyway, Dit. Kalo lo baik kayak gini, gue jadi inget laki gue. Kenapa dia nggak sebaik elo aja sih. Dia mah cuek," curhat Fani sekilas. Kemudian menambahkan, "tapi gantengan laki gue kemana-mana sih." "Lo emang ngeselin dari lahir," ketus Radit. "Yang penting udah laku. Daripada elo? udah mapan tapi nggak laku-laku, makanya cepetan nikah sana." Radit kesedak. g****k. Gue cinta sama elo, Fan. Bego banget, sih lo! Fani menghentikan kegiatannya memakan ice cream, gantian ia memandang Radit heran. "Kenapa? ada yang salah sama gue?" Radit menghadap Fani, ia menatap lekat wajah di depannya. "Kalo saja cewek boleh punya suami dua. Gue ikhlas jadi suami kedua lo, Fan. Fani ngakak mendengar ucapan Radit. "Gila lo ya! adegan apa lagi ini sih?" Radit mencebik. Semua yang keluar dari mulut Radit selalu berakhir dianggap sebagai candaan oleh Fani. "Kalo misalnya gue serius bilang suka sama lo, apa gue salah, Fan?" Fani makin kencang tertawa dan menodongkan telunjuknya di depan bibir Radit. "Stop Diiiitt. Ya ampun, gue udah pernah denger gombalan kayak gini dari Yoga, dan basi banget tau nggak kedengerannya." Fani terdiam sejenak. "Lo kalo suka sama orang mending nggak usah gombal kayak gitu. Langsung lamar aja orangnya." ASTAGA! Rasanya Radit pengen berteriak kencang saja. Kucing tetangga saja tahu kalau Radit cinta sama Fani sampe mampus gini. Somebody help me, please! ratap Radit. Tolong kasih tau Radit bagaimana melamar anak orang yang sudah jadi istri pria lain?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN