Satu Minggu telah berlalu sejak Evan datang ke kostan Indira untuk mengajak Aruna pergi ke kantor bersama. Dan kemarin adalah hari pertunangan Evan dan Aruna yang diadakan di halaman belakang rumah Evan.
"Mana sih ini cewek? Lama banget" Evan berkata pada dirinya dan menatap jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
Saat ini Evan sedang berdiri di depan rumah Aruna dan bersandar di mobilnya sambil melipat tangan di d**a. Beberapa hari yang lalu Aruna memutuskan untuk kembali ke rumahnya, sebab ia merasa tidak enak jika terlalu lama menginap di kostan Indira, meskipun rekan kerjanya itu tidak merasa keberatan. Dan beruntung, pria misterius itu sudah tidak datang lagi. Bahkan Aruna juga tidak pernah bertemu dengannya lagi sejak mereka bertemu di penjual nasi goreng satu Minggu lalu.
Evan pun terus bersandar di mobilnya yang diparkir di depan rumah Aruna dan sesekali ia melirik jam di tangannya dan merasa semakin jenuh, karena gadis yang ia tunggu tidak kunjung muncul.
Beberapa saat kemudian akhirnya kesabaran Evan pun membuahkan hasil saat ia melihat Aruna yang berjalan keluar dari rumahnya. Lalu gadis itu membalikkan tubuh, menutup pintu rumahnya, dan menguncinya.
"Kenapa lama banget sih?" Evan bertanya dengan sinis dan menatap punggung calon istrinya.
Aruna langsung berbalik dan melihat Evan yang berdiri tidak jauh di depannya. "Maaf, Pak, tadi saya sarapan dulu makanya agak lama" jawabnya menundukkan kepala.
Evan menghela nafas dan mengalihkan pandangan. "Ya udah ayo masuk, saya enggak mau telat cuma gara-gara kamu" katanya dengan datar.
Aruna hanya mengangguk dan berjalan menghampiri mobil Evan.
"Bisa buka pintu sendiri, kan?" Evan bertanya dan menatap Aruna yang berdiri di dekat pintu penumpang. "Saya enggak biasa membukakan pintu untuk wanita. Lagipula, mereka kan punya tangan kenapa harus dibukakan" katanya membuka pintu mobil dan masuk ke dalam. Lalu ia menutupnya kembali.
Aruna menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya dengan kasar, lalu tanpa mengatakan apa-apa ia membuka pintu mobil dan melangkah masuk.
"Pastikan enggak ada yang tertinggal saya enggak mau kalau udah jalan tapi disuruh balik lagi untuk mengambil barang yang tertinggal" Evan berkata dengan datar sambil memasang sabuk pengaman di tubuhnya. "Buang-buang waktu" ia melanjutkan dan menyalakan mesin mobilnya.
Namun Aruna hanya terdiam dan mengalihkan pandangan tanpa mengatakan apa-apa, sebab ia begitu malas untuk berdebat dengan Evan. Apalagi jika mengingat itu masih pagi, baginya itu hanya membuang-buang tenaga. Dan kemudian Evan pun melajukan mobilnya menuju kantor mereka.
***
"Jadi tadi pagi nomor sepupu kamu sempat aktif?" Indira bertanya menoleh ke arah Aruna yang duduk di sebelahnya.
Seperti biasa saat jam istirahat Aruna dan Indira akan menyantap makan siang di penjual bakso dan mie ayam langganan mereka dan begitu juga dengan siang ini. Dan tadi pagi Aruna mencoba untuk menghubungi nomor Aretha dan ternyata nomornya aktif. Tapi sayangnya, sepupunya itu tidak menjawab panggilannya dan saat Aruna menghubunginya lagi nomornya malah sudah tidak aktif.
"Iya, seperti yang tadi aku ceritakan" Aruna mengangguk dan menatap semangkuk mie ayam miliknya.
"Tapi kok langsung enggak aktif lagi saat kamu menelpon kedua kalinya?" Indira bertanya dengan dahi yang mengerut.
"Enggak tahu, aku juga bingung" Aruna mengangkat bahu dengan acuh dan memasukkan sesendok mie ayam ke dalam mulutnya.
"Kayaknya dia sengaja deh" Indira berkata dan Aruna melirik ke arahnya.
"Sengaja?" Aruna mengerutkan dahi dan Indira mengangguk. "Sengaja bagaimana?"
"Dia sengaja langsung menonaktifkan nomornya saat dia mengetahui bahwa kamu meneleponnya" jawab Indira beralih menatap semangkuk mie ayam miliknya yang sama sekali belum ia sentuh.
"Tapi kenapa dia melakukan itu?" Aruna bertanya tanpa melepaskan pandangan dari temannya. "Kan aku cuma mau menanyakan kabarnya aja aku enggak punya niat lain kok" katanya menggelengkan kepala.
"Ya, itu memang benar" Indira mengangguk dan menuangkan saus ke dalam semangkuk mie ayam miliknya. "Tapi kita kan enggak pernah tahu apa yang ada di pikiran orang. Bisa aja dia takut kalau kamu bakal menanyakan tentang keberadaanya dan setelah kamu mengetahuinya kamu memberitahu pada ayahnya. Dan jika aku berada di posisi Aretha maka aku akan melakukan hal yang sama" ia menjelaskan dan mengaduk mie ayam itu.
Namun Aruna hanya terdiam dan menatap rekan kerjanya tanpa mengatakan apa-apa, ia merasa apa yang dikatakan oleh Indira ada benarnya juga.
"Lalu bagaimana dengan pria misterius itu?" Indira bertanya dan memasukkan sesendok mie ayam ke dalam mulutnya. "Dia masih suka datang ke rumah kamu enggak?"
"Enggak" Aruna menggeleng. "Dia udah enggak pernah datang lagi" katanya mengalihkan pandangan.
"Bagus" Indira mengangguk dan Aruna melirik ke arahnya. "Dan aku harap dia udah enggak menteror kamu lagi"
"Aku harap juga seperti itu" jawab Aruna menganggukkan kepala. Lalu ia melanjutkan makan siangnya yang sempat tertunda.
"Tapi aku masih penasaran sebenarnya siapa sih pria misterius itu?" Indira mengerutkan dahi dan menoleh ke arah Aruna. "Kok bisa-bisanya dia mau membunuh kamu padahal kamu kan enggak kenal sama dia"
"Entahlah, aku juga enggak tahu" Aruna mengangkat bahu dan menatap mie ayam miliknya. "Tapi kalau boleh jujur semenjak itu aku enggak bisa tidur dengan tenang. Aku takut kalau dia bakal datang lagi dan membunuh aku disaat aku sedang tertidur"
Indira menghela nafas. "Aku tahu" katanya menganggukkan kepala. "Dan kalau aku menjadi kamu maka aku juga enggak bisa tidur dengan tenang. Kalau aku boleh memberikan saran kamu jangan tinggal sendiri sampai hari pernikahan kamu dengan pak Evan, sebaiknya kamu minta seseorang untuk menemani kamu tinggal di rumah itu. Ya, hanya untuk berjaga-jaga karena kita enggak pernah tahu apa yang bakal terjadi" ia melanjutkan dan kembali menyantap semangkuk mie ayam miliknya.