"Bagaimana hari pertama ke kantor tanpa naik kendaraan pribadi?" seorang pria berumur lima puluhan bertanya, menatap Evan yang duduk di seberangnya. Ia adalah Yudha, ayahnya Evan.
"Jauh berbeda dengan naik kendaraan pribadi, Yah" jawab Evan, menundukkan kepala dan menatap sepiring makanan di depannya.
"Pasti" Yudha mengangguk. "Tapi enak, kan? Kamu enggak perlu capek-capek menyetir hanya duduk manis saja. Karena ada orang yang menyetir dan mengantar kamu sampai di kantor"
"Iya, tapi karena itu aku jadi telat tiba di kantor" jawab Evan, menyendok makanan dari dalam piring dan memasukkan ke dalam mulutnya. Lalu ia mengunyahnya.
"Telat tiba di kantor?" Yudha mengerutkan dahi dan menatap putra semata wayangnya. "Bagaimana bisa?"
"Karena aku terjebak macet dan supir taksi yang aku tumpangi enggak mau melewati jalan lain. Dia malah menyuruh aku untuk naik ojek" jawab Evan tanpa beralih menatap ayahnya.
"Lalu kenapa kamu enggak mengikuti sarannya?" Yudha mengangkat satu alis dan Evan beralih menatapnya. "Dengan begitu maka kamu enggak akan telat"
"Malu lah, Yah. Aku kan bos masa naik ojek. Nanti apa kata karyawan aku? Belum lagi jika ada rekan bisnis aku yang melihat" protes Evan.
"Memang kalau bos enggak boleh naik ojek? Harus selalu naik kendaraan yang mewah?" Yudha bertanya dan mengangkat satu alis. Lalu ia beralih menatap sepiring makanan di atas meja. "Asal kamu tahu, dulu saat masih muda Ayah lebih suka naik motor saat pergi ke manapun terutama saat pergi ke kantor, walaupun saat itu ayah sudah memiliki mobil. Dan saat motor Ayah sedang di bengkel ayah enggak segan untuk naik ojek. Karena menurut Ayah naik motor bisa menghemat waktu dan enggak akan terjebak macet. Ditambah bisa melewati jalan yang enggak bisa dilalui oleh mobil. Itu sebabnya kenapa Ayah lebih milih naik motor. Bahkan Ibumu sampai heran melihatnya"
"Benar. Ayahmu begitu suka naik motor saat masih muda" seorang wanita mengangguk dan duduk di sebelah Yudha. Ia adalah Paula, ibunya Evan. "Jadi untuk apa kamu malu naik ojek? Karena itu enggak akan mengurangi harga dirimu"
"Ayah setuju dengan Ibumu" jawab Yudha menganggukkan kepala.
"Tapi itu kan Ayah bukan aku" Evan berkata dan beralih menatap sepiring makanan yang masih tersisa. "Lagipula aku enggak terbiasa naik motor. Lebih enak naik mobil, enggak kehujanan atau kepanasan. Jadi aku mau ayah mengembalikan mobilku"
"Oke" Yudha mengangguk dan Paula menoleh ke arahnya. "Ayah akan mengembalikan mobilmu tapi dengan satu syarat. Kamu harus menerima perjodohan itu"
Evan langsung menghela nafas dan membuang muka setelah mendengar yang dikatakan oleh ayahnya. "Ternyata ayah masih saja membicarakan tentang perjodohan itu"
"Oh, tentu" Yudha mengangguk. "Karena ayah mau kamu menikah dengan anak teman ayah"
"Yah, tolonglah, jangan menjodohkan aku dengan anak teman ayah itu. Aku enggak mencintainya" Evan memohon dan beralih menatap Yudha. "Lagipula aku belum pernah bertemu dengannya"
"Kalau begitu ayah akan mempertemukan kamu dengannya. Agar kalian bisa saling mengenal satu sama lain. Dan ayah yakin, kamu enggak akan menyesal" Yudha berkata dan beralih menatap sepiring makanan yang masih tersisa.
***
Aruna terdiam, duduk di ruang keluarga seorang diri dan menatap lurus ke depan. Memperhatikan layar televisi yang sedang menayangkan sebuah film. Setelah tiba di rumah, ia segera membersihkan diri dan menyantap makan malam. Lalu setelah itu ia memutuskan untuk menonton televisi dan bersantai sejenak.
"Aku hampir lupa kalau tadi aku membeli kue"
Ia langsung menoleh dan melihat seorang gadis yang berjalan menghampirinya sambil membawa sebuah piring yang berisi beberapa potong kue. Gadis itu adalah Aretha, sepupu Aruna.
"Pasti kakak beli di toko kue yang biasa, ya?" Aruna bertanya dan mengangkat satu alis.
"Iya, soalnya di situ kuenya paling enak" jawab Aretha, menghentikan langkah dan meletakkan sepiring kue di atas meja. "Ayo silahkan dicicipi" katanya dan Aruna mengangguk.
Aruna pun segera mengulurkan tangan dan mengambil sepotong kue, lalu ia mulai memakannya.
Aretha tersenyum dan duduk di sebelah Aruna, ia juga mengambil sepotong kue dan memakannya. "Ngomong-ngomong, bagaimana hari pertama kamu bekerja di kantor itu?"
Aruna menghela nafas. "Payah, kak" jawabnya sambil menundukkan kepala dan kembali teringat dengan kejadian tadi di kantor.
"Payah?" Aretha mengerutkan dahi. "Payah kenapa? Kamu banyak kerjaan?" tanyanya yang terlihat penasaran.
"Bukan" Aruna menggeleng. "Tapi aku enggak sengaja membuat masalah sama bos aku"
"Lho, kok bisa?" Aretha bertanya dengan dahi yang mengerut, kini ia terlihat semakin penasaran.
"Iya, soalnya..." ucapan Aruna langsung terhenti saat mendengar ponsel Aretha yang berbunyi.
"Sebentar, ya?" Aretha berkata dan Aruna mengangguk.
Aretha pun segera merogoh saku celananya dan mengambil ponselnya yang taruh di dalam sana, lalu ia menatap layarnya. Namun ia menghela nafas saat melihat sebuah panggilan dari ayahnya. "Ayah aku nelepon" katanya beralih menatap Aruna.
"Ya sudah angkat saja, kak. Siapa tahu penting" Aruna menyarankan.
Aretha mengangguk, menjawab panggilan itu dan menempelkan ponsel di telinga.
"Halo, Aretha. Kamu apa kabar?" seseorang bertanya di telepon dan itu adalah ayah Aretha.
"Baik, Yah. Ada apa?" Aretha bertanya dengan datar dan menatap layar televisi.
"Ada yang ingin ayah bicarakan dengan kamu. Dan ini tentang perjodohan itu" jawab ayahnya dan Aretha langsung menghela nafas, ia sudah menduga bahwa ayahnya ingin membicarakan hal tersebut. Itu sebabnya kenapa ia enggan untuk menjawab telepon ayahnya.
"Jadi tadi om Yudha menelepon ayah, ia mengatakan bahwa besok kamu diundang untuk makan malam di rumahnya. Sekaligus ia ingin memperkenalkan kamu dengan anaknya"
Aretha kembali menghela nafas. "Kenapa harus besok sih, Yah? Mendadak sekali"
"Ayah juga enggak tahu, tapi yang jelas ia ingin perjodohan ini segera berlangsung. Bagaimana? Kamu bisa, kan?"
Aretha hanya terdiam dan menundukkan kepala tanpa mengatakan apa-apa. Sedangkan Aruna, ia juga terdiam dan menatap sepupunya dari samping. Namun ia bertanya-tanya sebenarnya apa yang dibicarakan oleh Aretha dan ayahnya? Dan kenapa Aretha tampak seperti tidak bersemangat dengan obrolan itu?
"Aretha, kamu masih di sana, kan?"
"Iya, Yah. Aku masih di sini" jawab Aretha dengan lemas dan menganggukkan kepala.
"Ya sudah, besok malam ayah akan menjemput kamu dan kita pergi ke rumah om Yudha bersama"
Namun Aretha hanya terdiam dan mendengarkan ucapan ayahnya tanpa mengatakan apa-apa.
"Kalau begitu sampai bertemu besok. Dan ingat, jangan tidur sampai larut karena besok kamu bekerja"
Aretha hanya mengangguk dan menatap layar televisi tanpa mengatakan sepatah katapun. Kemudian ia menjauhkan ponsel dari telinga saat mendengar panggilan yang diakhiri.
"Kenapa, kak?" Aruna bertanya dan terlihat penasaran. Sebab ia melihat Aretha yang mendadak terlihat lemas setelah mengobrol dengan ayahnya.
Aretha menghela nafas dan meletakkan ponselnya di atas meja. "Aku mau dijodohkan" katanya menoleh ke arah Aruna.
"Dijodohkan?" Aruna mengerutkan dahi dan terlihat tidak percaya. "Dengan siapa?"
"Dengan anak teman ayah aku" jawab Aretha menundukkan kepala.
"Terus bagaimana hubungan kakak dengan kak Rangga?" Aruna bertanya dan terlihat semakin penasaran.
"Itu dia yang sedang aku pikirkan" jawab Aruna dengan kepala yang tertunduk. "Aku sudah memberitahu ayahku bahwa aku telah memiliki kekasih, tapi ayahku tetap ingin menjodohkan ku dengan anak temannya. Dan ia menyuruhku untuk mengakhiri hubunganku dengan Rangga"
Aruna hanya terdiam dan menatap sepupunya tanpa mengatakan apa-apa. Namun ia merasa kasihan pada Aretha, karena ia dipaksa untuk menikah dengan seorang pria yang sama sekali tidak ia cinta. Bahkan ia juga disuruh untuk mengakhiri hubungannya dengan kekasihnya.
Sedangkan Aretha, ia juga hanya terdiam dan masih menundukkan kepala. Ia mencari cara bagaimana untuk menolak perjodohan itu. Sebab ia sangat mencintai kekasihnya dan ia tidak mau mengakhiri hubungannya dengan pria itu. Lalu ia menoleh. "Aruna" panggilnya.
"Iya, kak?" Aruna bertanya dan mengangkat satu alis.
"Kamu sayang sama aku, kan?" Aretha bertanya dan menatap sepupunya itu.
"Tentu" Aruna mengangguk. "Aku udah anggap kakak seperti saudari aku sendiri. Meskipun kita hanya sepupu"
"Kalau begitu kamu harus melakukan sesuatu untukku. Dan kamu harus berjanji kalau kamu akan melakukannya" Aretha berkata dan terlihat serius.
Tanpa curiga sedikitpun Aruna pun menganggukkan kepala. "Iya, aku janji" katanya. "Lalu apa yang harus aku lakukan untuk kakak?"
"Aku mau kamu menggantikan aku untuk menikah dengan pria yang dijodohkan denganku" jawab Aretha menatap lurus ke mata Aruna.
Aruna langsung terperanjat saat mendengar jawaban Aretha, bahkan matanya membulat. "M-Menggantikan kakak untuk menikah dengan pria itu?" tanyanya dengan terbata-bata.
"Iya" Aretha mengangguk. "Kamu mau, kan?" tanyanya tanpa melepaskan pandangannya dari sepupunya.
Aruna hanya terdiam dan menatap Aretha tanpa mengatakan apa-apa. Ia tidak menyangka jika Aretha akan memintanya untuk menggantikannya menikah dengan pria yang dijodohkan olehnya. Aruna merasa bagaikan tersambar petir di siang bolong, ia benar-benar merasa terkejut.
"Bagaimana? Apakah kamu mau?" Aretha mengulangi pertanyaannya. "Seperti yang kamu tahu aku sayang banget sama Rangga dan aku enggak bisa meninggalkan dia. Lagipula, kamu kan enggak punya pacar. Jadi sebaiknya kamu saja yang menikah dengan pria yang dijodohkan denganku itu"