Chapter 6

1064 Kata
Nafisah mengusap pelan kepala putranya. Rafa sudah tertidur pulas beberapa menit yang lalu. Usapan lembut pada pipi Rafa terhenti, sesaat Nafisah menatap putranya. "Mama memberimu nama Rafardhan Yang artinya cahaya. Kamu adalah cahayanya Mama, sayang. " Ntah kenapa suara Nafisah terdengar lirih. "Di saat Papa meninggalkan kita karena kekecewaannya, kamu hadir sebagai penguat Mama.." Rafa sedikit menggeliat. Tangan Nafisah langsung berpindah menepuk pelan b****g putranya. "Mama suka sama warna mata kamu, berwarna biru laut sama seperti Papa." Tiba-tiba Rafa membuka kedua matanya secara perlahan. Nafisah merasa bersalah karena sudah menganggu jam tidur putranya. "Maaf, Mama membangunkanmu." "Papa..." "Apa?" "Pa.. Pa... Papapapaaa..." Rafa langsung duduk sambil menepuk pelan kedua tangannya. Kedua mata indah itu membuat sempurna. Rafa yang tadinya mengantuk tiba-tiba terbangun dengan wajah yang ceria. "Papa! Pa! Pa!" Nafisah menatap Rafa dengan lembut. "Kamu ingin bertemu Papa?" "Pa! Papa!!" Nafisah langsung duduk dan memangku putranya. "Suatu saat kita akan bertemu Papa. Mungkin saat ini Papa sedang sibuk." Seperti mengerti ucapan sang Mama, Rafa terdiam menatap Nafisah hingga tiba-tiba wajahnya memerah dan akhirnya menangis. Nafisah panik lalu menggendong putranya. "Sayang, tenang ya. Mama akan membuatkanmu susu." Maka Nafisah berusaha menenangkan Rafa terlebih dahulu. Setelah balita itu tenang, Nafisah mengeluarkan beberapa mainan seperti teether bayi berbentuk buah. Rafa duduk di atas karpet dan sibuk dengan mainannya hingga akhirnya membuat Nafisah berhasil keluar kamar menuju dapur. "Kenapa tiba-tiba dia teringat Papanya?" gumam Nafisah pelan sambil membuatkan s**u formula untuk putranya. "Apakah sekuat itu ikatan batin antara Ayah dan Anak?" "Tapi.." "Tenang aja, Daniel pasti luluh setelah ketemu putranya." Tiba-tiba Zulfa nongol dan berdiri di belakang sambil bersedekap. Ia menyenderkan dirinya di dinding dengan memakai piyama tidur berwarna abu-abu muda. Zulfa berjalan mendekati lemari dapur dan mengeluarkan sebungkus ramen. "Biasanya hubungan suami istri akan membaik karena anak. Biar bagaimana pun, Daniel harus melihat dan mengetahui putranya, kan.." ucap Zulfa apa adanya dengan santai, terlihat tidak perduli dengan situasi yang sebenarnya. "Kamu yakin?" "Iyalah aku yakin." "Tapi Zul, Rafa-" "Kamu mau ramen? Biar sekalian aku buatin.." Seperti biasa, Zulfa langsung memotong ucapannya jika Nafisah membahas soal Rafa. Sadar akan hal itu, Nafisah pun menolak dengan halus. "Nggak ah, makan malam bikin cepat berat badan naik. Kamu nggak takut apa, tiba-tiba badan kamu gendut?" "Ngapain takut? Yang penting gue bahagia dan bisa nikmatin hidup sambil makan apa aja yang gue mau!" "Nanti Marcello berpaling loh!" Nafisah menarik sudut bibirnya, ia sengaja mengejek sahabatnya. Zulfa geram, dengan kesal ia berkacak pinggang. "Bukannya itu sampah masalalu ya?" "Dih!" "Dia itu sampah yang sudah aku buang ke tempatnya." "Hati-hati loh, temakan omongan.. " "Lagian ya, kalau sampah sudah di buang ngapain diambil lagi?" "Kan bisa di daur ulang. Yang artinya dia bisa kembali kapan aja cuma untuk kembalian sama kamu.." "Kok kita lagi bahas dia sih?! Dah sana, lebih baik kamu jalanin tugasmu sebagai Ibu. Ini malah gibahin pria b******n, gimana sih?!" Akhirnya Nafisah mengalah. Ia hanya tertawa kecil dan pergi berlalu membawa sebotol s**u untuk Rafa. Setelah kepergian Nafisah, Zulfa melanjutkan kegiatan memasak ramennya. "Kadang Nafisah itu pinter. Kadang juga nggak ngotak. Dasar..." Setelah 3 menit berlalu, akhirnya Ramen itu masak. Zulfa menyajikannya dengan lezat. Ia pun meraih sumpit dan siap memakannya. "Panas banget..." Zulfa memutar lilitan mie ramen nya dengan ukuran sedang, lalu menariknya ke atas. Hawa uap campuran kuah ramen itu begitu lezat. Zulfa berbinar. "Daripada mikirin cinta mending gue makan. Cinta bikin nyakitin. Kalau makan bikin kenyang. Bismillah dulu yakan..." Perlahan, Zulfa menyantap ramennya dengan pipi yang merona merah. "ASTAGHFIRULLAH! RAFAAAA!!!!!!" Zulfa langsung tersedak! Suara teriakan Nafisah berhasil membuat Zulfa terkejut. Zulfa sampai terbatuk-batuk memukuli dadanya. Buru-buru Zulfa meraih segelas air dan meminumnya hingga tandas. Setelah itu ia pun segera berlari meninggalkan dapur. Zulfa tergopoh-gopoh menaiki anak tangga satu per satu. Zulfa membuka pintu kamar Nafisah. Nafisah menangis histeris sambil menutup mulutnya. "Zulfa.. Zulfa... " Nafisah mengguncang kuat bahu Zulfa. "Rafa hilang! Rafa hilang!" "Kok bisa? Jalan aja belum terlalu lancar. Sembunyi kali di kolong ranjang.." "Nggak mungkin Zul, enggak! Cahaya kita hilang, cahaya kita hilang! Dia itu cahaya kita! " "Ya kalau hilang tinggal bikin lagi sama Daniel apa susahnya sih?" "Zulfa, aku serius.." Zulfa menghela napasnya. Mencoba untuk berpikir jernih. "Ya aku juga serius! Lagian ya, semua pintu disini sudah terkunci. Siapa yang bisa masuk? Maling juga gak ada. Lagian kalau dia mau maling Rafa, yaudah, malingin aja tinggal ambil!" Nafisah menatap Zulfa dengan tatapan kecewa. Perlahan, ia mendekati sahabatnya itu dengan wajah yang sudah basah oleh air mata. "Aku tahu kamu memang tidak pernah menyukainya. Tapi tolong..." Zulfa terdiam, ia meneguk ludahnya dengan sulit. Ntah kenapa ia merasa menyesal dengan semua ucapannya yang memang keterlaluan. "Hargain keberadaannya. Cuma itu yang aku minta sama kamu." "Naf, aku minta maaf-" Nafisah menggeleng lemah. "Aku mau cari Rafa atau mungkin harus ke kantor polisi.." Nafisah langsung memakai khirmarnya. Dengan cepat ia menuruni anak tangga. Wajahnya sudah basah, kedua matanya sembab. Tiba-tiba Nafisah menghentikan langkahnya begitu mendengar suara Rafa yang sedang tertawa di ruang tamu. "Rafa!" Dengan cepat Nafisah menuju ruang tamu. Tapi secepat itu ia juga menghentikan langkahnya begitu melihat Rafa berada di dalam gendongan Adelard. Adelard tertawa lepas, merasa lucu dengan tingkah Rafa. Seperti biasa, sejak dulu Adelard selalu muncul secara tiba-tiba. Sekarang Nafisah sadar, pantas saja tadi Rafa tidak jadi tidur setelah menyebutkan kata 'Papa'. Malaikat kecil itu seperti tahu bahwa Papanya akan datang. "Mas Daniel?" Adelard masih tidak sadar dengan keberadaan Nafisah. Tapi hanya melihat semua itu, Nafisah langsung tersentuh. Setelah 2 tahun lamanya Nafisah menunggu momen ini, akhirnya semua itu terwujud. Adelard bertemu putranya walaupun pria itu belum memaafkan Nafisah. Tapi di satu sisi, Nafisah juga tidak sadar kalau ada Zulfa yang ikut terdiam melihat semuanya sambil berdiri di anak tangga paling bawah. Ntah kenapa, perasaan Zulfa langsung campur aduk melihat semuanya. Melihat bagaimana Adelard memeluk Rafa. Melihat bagaimana cara Nafisah mengkhawatirkan anak itu. Dan sekarang, Rafa terlihat seperti anak yang berhasil bersama sosok orang tua yang kembali utuh mencintainya tanpa batas. "Suatu saat... " suara Zulfa terdengar getir. "Suatu saat kamu akan mengerti Rafa.." Lalu Zulfa pergi sambil memegang dadanya. Tiba-tiba ada rasa sakit disana yang tak mampu Zulfa ungkapan ke siapapun. **** Masya Allah Alhamdulillah, halo kita kembali lagi di chapter 6 ini ya.. ? Bagaimana perasaan kalian... ? Kalian Tim Zulfa Marcello atau Tim Nafisah Daniel nih? Atau keduanya wkwkwkw ? Makasih ya sudah baca. Di tunggu chapter 7 Insya Allah hari Kamis. Trima kasih ❤ With Love, Lia Instagram : lia_rezaa_vahlefii
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN