"Dek, harusnya kamu hati-hati. Kalau butuh sesuatu panggil mas," ucapku penuh penekanan. Ekspresinya hanya datar saja. Reina dengar tidak ya?
"Aku tadi dah manggil kamu, mas. Tapi sepertinya kamu gak dengar."
"Memangnya kamu butuh apa? Tadi mas lagi ngobrol sama ibu."
"Mas, bisa tidak besok bantuin aku?"
"Bantuin apa?"
"Ini mas, ada banyak pesanan masuk, sedangkan kakiku kan lagi begini--"
"Duh gimana ya dek, sepertinya mas tidak bisa. Besok kan mas mau ke kantornya Rusdy."
"Oh. Berarti aku harus cari orang lagi."
"Maaf ya, kalau senggang pasti mas bantuin kamu."
Reina mengangguk.
"Nak, ibu mau pulang dulu ya. Kasihan Freya," pamit ibu.
"Oh iya Freya kenapa, Bu? Katanya Freya sakit?" tanya Reina.
"Tidak apa-apa nak, biasa masalah anak muda."
Reina mengangguk. Tampaknya dia benar-benar tidak tahu. Syukurlah.
***
Ting
[Mas, malam ini bisa gak ke rumah? Aku dah kangen lagi sama kamu]
Sebuah pesan yang dikirim oleh Kartika. Aku tersenyum. Heran sama perempuan ini, tadi siang udah seharian bersama, masih saja kurang.
[Maaf sayang, ini Reina habis kecelakaan. Mas gak bisa ke tempatmu dulu. Besok ya sepulang dari kantor Rusdy, aku mampir. Atau kita ketemuan di luar]
[Oke sayang, aku selalu tunggu kabar darimu. Love you]
"Dapet WA dari siapa, Mas? Kok senyum-senyum sendiri?" tanya Reina mengagetkanku.
"Oh, ini dari temen. Kata-katanya lucu," kilahku lagi, untung saja Reina percaya.
***
Keesokan harinya, aku sudah bersiap-siap pergi ke kantor. Ada banyak hal dan harapan saat pergi kesana.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu setengah jam, akhirnya aku sampai juga di tempat yang dituju.
"Selamat pagi, Pak. Ada yang bisa kami bantu?" tanya salah satu security kantor saat menyambutku.
"Pagi, saya ingin bertemu Pak Rusdy. Kemarin sudah janjian."
"Oh iya, Pak Rusdy ada di ruangannya. Biar saya telepon sekretarisnya dulu ya pak, biar bisa antar bapak kesana."
"Baik."
Tak butuh waktu lama seorang wanita berpakaian rapi ala kantoran, celana panjang warna hitam, blazer hitam serta rambut yang digelung di bagian belakang, menyambutku dan mengantarku ke ruangan Rusdy.
Ini sekretarisnya Rusdy? Kok gak menarik ya, lebih cantik Kartika malah. Payah banget selera Rusdy seperti ini, ucapku dalam hati.
"Selamat pagi, Pak," sapaku saat memasuki kantor yang cukup mewah itu.
"Pagi, silahkan duduk," sambut Rusdy dengan ramah. Pandangannya yang sedari tadi di layar laptop langsung beralih menatapku.
"Pak, bagaimana dengan kerjasama yang sudah kita sepakati kemarin?" tanyaku, sesaat setelah duduk.
Rusdy menatapku cukup lama, entah apa yang dipikirkannya.
"Baik Pak Hendi, ada banyak pertimbangan yang saya pikirkan. Tidak mungkin juga saya membatalkan kerja sama itu secara sepihak. Kemarin kita sudah deal, saya tidak mungkin menjilat ludah sendiri. Maka dari itu saya akan memberikan kesempatan untuk anda bekerja di kantor cabang kami. Tapi mohon maaf untuk sementara saya tidak bisa memberikan posisi tertinggi, apakah anda bersedia?"
"Apapun itu, saya bersedia," jawabku dengan mantap.
"Baik, anda langsung bisa bekerja sebagai kepala cabang produksi, dengan masa training tiga bulan. Bila dalam jangka waktu tersebut, prestasi anda bagus, maka anda bisa langsung menjadi pegawai tetap, tapi sebaliknya, bila prestasi anda jelek dengan terpaksa kami akan memberhentikan anda. Setiap satu tahun sekali di kantor kami akan ada regulasi, bagi pegawai yang berprestasi akan mendapatkan promosi jabatan yang lebih tinggi."
"Baik, pak. Saya mengerti."
"Silahkan ke kantor HRD dulu ya, ada dokumen yang perlu ditandatangani."
"Baik, Pak."
"Selamat bergabung di perusahaan kami."
"Terima kasih banyak, Pak."
Keluar dari ruangan Rusdy, aku bergegas menuju ruangan HRD. Mereka sudah tahu dan menyambutku, mungkin karena Rusdy sudah menghubungi bagian HRD lebih dahulu.
Selesai menandatangani lembaran kertas itu, aku diantar sopir pergi ke lokasi kantor cabang. Jaraknya tidak terlalu jauh, tapi lumayan menguras waktu karena harus bergelut dengan kemacetan. Sesampainya di kantor cabang, ternyata tidak sesuai ekspektasiku, mungkin karena masih tahap pembangunan jadi masih belum maksimal. Aku yakin, pasti suatu saat aku akan naik jabatan.
Oke, saatnya mencari muka di hadapan Pak Bos.
***
Sore hari, aku pulang bekerja dengan motorku. Karena masih training jadi belum mendapatkan fasilitas atau inventaris apapun dari kantor. Ya sudahlah tak apa, mungkin aku harus berjuang lebih dulu.
Ah iya lupa, aku bisa ambil kredit mobil atas nama Reina. Dia pasti tidak akan keberatan. Aku akan beralasan kalau aku membutuhkannya untuk berangkat kerja ke kantor. Gengsi dong seorang kepala cabang masa naik motor.
[Sayang, temui mas di Cafe kayak kemarin ya]
Aku mengirimkan pesan pada Kartika. Dengan hati berbunga-bunga, langsung bergegas menuju Cafe dan memesan minuman. Namun setelah ditunggu beberapa lama, tak ada balasan apapun dari Kartika.
Kemana ya Kartika? Bukankah selama seminggu ini tidak ada jadwal manggung? Aku mulai bertanya dalam hati.
Memencet panggilan telepon ke nomor Kartika, tapi tak kunjung diangkat. Pun dengan panggilan video, tak digubrisnya. Aarghh kesal sekali, kemana sih Kartika? Bukannya kemarin malam dia bilang suruh hubungi?
Menjelang malam aku masih berada di Cafe. Sudah dua jam menunggunya disini, tapi tak ada tanda-tanda Kartika akan datang. Setelah kutengok, pesan w******p-ku belum juga dibaca.
Aku memeriksa yang lain juga. Tumben Reina tidak menghubungiku? Biasanya telat sedikit saja ia langsung bertanya aku ada dimana? Apakah baik-baik saja? Kali ini benar-benar sepi.
Dengan perasaan kesal, akhirnya aku pulang. Sepanjang jalan aku hanya menggerutu. Kuhentikan motorku di depan rumah Kartika. Sepi. Bahkan rumah tampak gelap, lampu tidak dinyalakan. Itu artinya Kartika tidak ada di rumah? Kenapa dia tidak bilang padaku kalau dia pergi? Dihubungi pun tidak bisa! Ada apa ini? Dia kan istriku, kenapa gak pamit dulu padaku?! Gondok sekali rasanya.
Kulajukan kembali motorku, ada mobil mewah terparkir di depan ruko. Setelah kuingat sepertinya, ini mobil Rusdy. Sejenak kemudian kulihat Rusdy keluar dari rumah dan berpamitan dengan Reina. Ada perlu apa ya, Rusdy sampai datang kesini?
"Assalamualaikum."
"Waalaikum salam," sahut mereka dengan serempak.
Keduanya menoleh ke arahku. Ah tidak, ada Mbok Jum juga di samping Reina. Mbok Jum tampak menggendong parcel buah, mungkin pemberian Rusdy. Kulihat mereka seperti habis bercengkrama bersama. Senyuman itu belum hilang dari wajah keduanya. Terlihat akrab.
Aku melirik ke arah Rusdy yang tengah menatap Reina. Tatapannya jelas berbeda, seperti ada sesuatu. Entah kenapa, ada desiran aneh menjalar ke hatiku. Rasanya panas dan seakan tak rela. Untuk apa Rusdy kesini lagi bahkan terkesan perhatian pada istriku?
"Lho, mas baru datang," sahut Reina.
"Ah i-iya, maaf ya dek. Tadi motornya mogok di tengah jalan," jawabku berbohong. Aku langsung menghampiri istriku dan mengulurkan tangan agar ia menjabat tanganku.
"Pak bos juga ada disini? Ada perlu apa?" tanyaku basa-basi.
Rusdy hanya tersenyum santai menanggapiku, padahal hatiku sudah dongkol setengah mati.
"Mas, Mas Rusdy ini datang menjengukku sekaligus memastikan apa motorku yang kemarin diservis bengkel sudah diantar kesini atau belum," sahut Reina antusias. Kuedarkan sekeliling, benar saja motor Sc*opy warna hitam itu sudah bertengger manis di halaman khusus tempat parkir.
Tapi tunggu, apa aku tidak salah dengar, Reina memanggil bosku dengan sebutan 'Mas'?