POV Hendi
Enam bulan yang lalu
Matahari sangat terik, panasnya begitu menusuk ke kulit. Saat ini aku masih berkutat dengan beberapa pesanan pelanggan toko Reina. Apalagi yang pesan jauh dari lokasi perumahan, membutuhkan waktu dan tenaga lebih ekstra.
Kutepikan motor tossa ini di bibir jalan, mengambil botol air mineral lalu meneguknya hingga sisa setengah untuk sekadar menghilangkan dahaga.
Netraku sibuk mencari kala mendengar suara tangis seorang perempuan. Kukira memang ada penampakan pada siang bolong begini, nyatanya benar. Penampakannya ialah seorang wanita yang cantik dan sangat kukenali.
Itu bukannya Kartika? Aku bertanya pada diriku sendiri, saat melihat wanita itu duduk sambil menangis pilu. Ya, aku sangat mengenalinya. Perempuan yang sangat kucintai dimasa lalu, sampai saat ini juga aku masih belum bisa melupakannya walau aku sudah menikah dengan orang lain, lima tahun terakhir ini.
Aku segera menghampirinya.
"Kartika?" sapaku.
Ia mendongak, tampak terkesiap kaget saat melihatku. Penampilannya begitu berantakan, matanya pun terlihat sembab, butiran-butiran bening itu menetes membanjiri pipi.
"Kamu kenapa?" tanyaku penuh kelembutan, setelah berjongkok di hadapannya. Dadaku kembali berdebar-debar, setelah sekian lama terpisah darinya, kini aku bisa melihatnya kembali.
"Mas Hendi ..."
Yang kudengar ia hanya memanggil namaku lalu kembali menangis. Ada dua tas gembolan besar yang teronggok manis disampingnya.
"Kamu punya masalah dengan suamimu?" tanyaku lagi, ia terdiam.
Ya, Kartika adalah mantan pacarku, ah tidak, hubungan kami kandas begitu saja tanpa kata putus. Dulu, cinta kami tak pernah direstui oleh kedua orang tua kami, mereka justru memilih dan menikahkan kami dengan orang lain, pasangan yang sudah dipilihkan oleh masing-masing orang tua. Kudengar Kartika menikah tak lama setelah aku menikah.
Orang tuaku tak setuju saat aku ingin menikahi Kartika, karena pekerjaannya seorang biduanita. Padahal apa salahnya dengan seorang biduan? Ia hanya menyanyi dangdut dari panggung ke panggung. Namun ayah marah besar saat tahu aku menjalin hubungan dengannya.
Tak pernah sekalipun aku melihat ayah semarah itu padaku. Aku ngambek dan kesal tentu saja. Tapi esoknya, ayah justru menjodohkanku dengan orang lain. Seorang wanita berjilbab datang bersama ayah dan ibunya saat perkenalan keluarga. Namanya Reina Mahdiya Putri, ia yang kini menjadi istriku. Bukankah namanya sangat cantik? Ya! Secantik orangnya, tapi bahkan aku tak punya perasaan apapun terhadapnya. Aku menerimanya dengan terpaksa. Hanya rasa kasihan dan rasa hormatku pada orang tua.
"Aku diceraikan oleh suamiku, mas ..." tuturnya menghenyakkanku.
"Jadi kau pisah sama suamimu?"
Dia mengangguk, sambil sesekali menyeka air matanya sendiri.
"Terus sekarang kamu mau kemana?" tanyaku dengan tatapan iba. Ah, sungguh kasihan sekali melihatnya.
"Aku gak tau mas, aku gak punya uang sepeserpun. Aku diusir begitu saja dari rumah oleh mantan suamiku," jelasnya lagi.
"Memang masalahnya apa, kenapa kamu bisa sampai berpisah dengannya?"
Kartika mengambil nafas dalam-dalam. Sepertinya beban hidupnya terlalu berat.
"Selama menikah, aku dikekang habis oleh mantan suamiku, Mas. Ia tak membolehkanku beraktivitas diluar rumah, termasuk menyanyi. Padahal kamu tahu sendiri bukan, aku ini siapa. Tapi selama menikah dengannya, segala aktivitasku dibatasi. Aku memang bergelimang harta, tapi seperti hidup di penjara, tidak bisa keluar, melakukan aktivitas yang kuinginkan. Kalau aku membantah, sudah pasti ia melakukan KDRT padaku. Beberapa bulan terakhir aku memang selalu membangkangnya. Hingga tadi pagi surat cerai itu turun dan aku diusir dari rumahnya. Aku ... Aku ..."
"Hei, tenanglah," ujarku. Namun ia masih saja terisak. Aku mengambil air mineral yang masih utuh untuknya.
"Nih, minumlah dulu. Tenangkan hatimu."
Kartika menerimanya, lalu meneguk air pemberianku. Hatiku ikut teriris perih melihatnya menyedihkan seperti ini, kukira setelah pernikahannya ia akan hidup bahagia dengan sang suami. Ah bodohnya aku, kenapa dulu tidak kawin lari saja dengannya.
"Makasih, mas. Aku gak tahu harus bagaimana lagi. Rasanya aku ..."
Entah dapat dorongan dari mana, aku menggenggam tangannya. Hanya sekedar untuk menguatkan. Ia menatap ke arahku, lekat. Akupun sama, memandangnya cukup lama. Wanita yang sangat kurindukan saat ini ada di depanku. Debaran-debaran cinta itu kembali bersemi di hatiku.
Lima tahun berpisah dengannya, sepertinya tak ada yang berubah, ia masih sangat cantik seperti dulu. Bahkan perasaanku saat inipun masih sama seperti dulu. Yang salah hanyalah waktu, karena posisiku saat ini masih menjadi suami Reina.
"Jangan menangis lagi, wajahmu jauh lebih cantik kalau kau tersenyum," ucapku untuk menenangkan hatinya.
Ia tersenyum mendengar ucapanku.
Tiba-tiba ponselku berdering, sebuah panggilan dari Reina.
"Sebentar ya, istriku telepon."
Kartika mengangguk, kulihat wajahnya kembali muram, entahlah apa yang dipikirkannya.
[Assalamualaikum. Mas, kamu dimana? Ini pelanggan telepon kenapa kamu belum sampai juga?]
[Waalaikum salam. Iya ini masih dijalan. Sebentar lagi sampai, suruh sabar dulu]
[Ya sudah mas, kamu tetap hati-hati ya]
[Iya, dek]
Panggilan itupun terputus setelah Reina mengucapkan salam.
"Maaf Kartika, aku harus mengantarkan pesanan lagi," ujarku berpamitan.
Ia mengangguk lemah. Aaargggh! Rasanya aku benar-benar tidak tega melihatnya.
Kuhampiri ia kembali, tadi katanya ia tak punya uang sepeserpun. Kasihan sekali kalau ia tinggal dijalanan seperti ini. Aku tak bisa membayangkan bila ada kejahatan yang menghampirinya.
"Tika, ini aku ada uang. Kamu bisa mengontrak rumah dan membeli sedikit kebutuhanmu," ucapku sembari memberikan uang padanya.
Ia mendongak, netranya kembali berkaca-kaca. Awalnya ia tampak ragu.
"Terima saja. Kamu membutuhkannya bukan?"
Kartika menunduk, dengan tangan gemetar ia meraih uang itu.
"Tapi ... Aku tidak tahu harus kemana mas."
"Ah iya, kebetulan di kompleks perumahanku ada rumah yang akan disewakan, kamu coba saja hubungi pemilik rumahnya, siapa tahu bisa tinggal disana," aku memberinya sebuah saran.
Ia masih terdiam. Mungkin ia bingung dan belum tahu harus apa.
"Sebentar, aku pesankan ojek ya biar bisa mengantarmu kesana, nanti disana kamu hubungi sendiri sama pemilik rumahnya. Pemilik rumah gak jauh kok tinggalnya, masih di perumahan yang sama cuma beda blok saja."
Akhirnya Kartika mengangguk.
Aku menghentikan ojek yang kebetulan lewat di jalan ini.
"Pak, tolong antarkan mbak ini ke Perumahan Mutiara Asri ya pak," ucapku.
"Baik, mas."
Kartika bangkit, lalu naik ke boncengan motor tukang ojek sembari membawa gembolan tas yang mungkin berisi baju-bajunya.
"Terima kasih ya mas atas bantuannya, kalau nanti aku punya pekerjaan lagi, aku akan menggantinya mas," ucap Kartika.
"Tidak usah pikirkan hal itu."
"Semoga kita bisa bertemu lagi ya mas."
Aku mengangguk. Kembali kulajukan motor roda tiga ini untuk melanjutkan kirim pesanan ke pelanggan.
***
"Mas, mas, kesini sebentar!" panggil Reina dari depan.
"Iyaaa tunggu dulu," sahutku.
Aku yang baru selesai mandi sore langsung berganti pakaian dan menemuinya di depan.
Pasti suruh antar pesanan lagi nih! gumamku dalam hati. Sebenarnya jenuh juga melakukan pekerjaan seperti ini, aku sudah seperti pembantunya Reina saja. Tapi mau bagaimana lagi, tak ada pekerjaan yang lainnya setelah aku diPHK satu setengah tahun lalu, terpaksa aku bekerja pada istriku sendiri. Ya walaupun begitu aku tetap mendapatkan uang dari Reina, bahkan keluargaku saat ini Reina-lah yang menjamin kebutuhannya--kebutuhan ibu dan adikku setelah ayah meninggal setahun yang lalu.
Aku terkejut saat melihat Kartika ada di depan ruko, ia berbincang dengan Reina--istriku. Jadi dia belanja kesini? Ya memang gak ada lagi toko besar yang menjual segala macam kebutuhan di kompleks ini kecuali toko Reina.
"Mas, sini lho. Ini bantuin mbaknya bawain belanjaan. Mbaknya repot, belanjaannya banyak."