4. Insiden kecelakaan

1013 Kata
Saat aku ingin menghampirinya, tiba-tiba ponselku bergetar berulang kali, cukup menggangguku. Aku menoleh sebentar, mereka masih berdiri di depan resepsionis. Kuraih handphoneku, nomor rumah memanggil. Ada apa ya mbok Jum meneleponku disaat yang tidak tepat. Kuabaikan saja panggilan itu, tapi lagi-lagi handphoneku bergetar. Sepertinya sangat penting. [Hallo assalamualaikum mbok, ada apa?]-- sahutku, kembali menjauh agar tidak terlihat oleh mereka. [Waalaikum salam. Non, ibu Wirda datang]-- sahut Mbok Jum dari seberang telepon dengan nada khawatir. Bu Wirda adalah ibu mertuaku, ibunda Mas Hendi. [Mbok, tolong suruh tunggu aja dulu ya. Saya masih ada perlu]-- jawabku sembari mengatur helaan nafas. [Mbok udah bilang non, tapi ibu datang sambil nangis-nangis] [Lho nangis-nangis kenapa?] [Anu non, katanya Non Freya sakit. Terus ada masalah apa, mbok juga kurang paham. Ibu nangis-nangis terus dari tadi. Tadi juga mbok udah coba hubungi Mas Hendi, tapi gak diangkat-angkat, non] [Ya sudah mbok, suruh tunggu sebentar lagi, saya segera pulang] [Baik, non. Assalamualaikum] [Waalaikum salam] Tut. Panggilan terputus. Saat aku menoleh, kedua manusia memalukan itu sudah tidak ada ditempatnya. Entah pergi kemana mereka. Sial! Kali ini sepertinya aku gagal menguntitnya. Untung saja tadi aku sempat memfoto mereka saat masuk ke hotel. Bukankah ini bisa dijadikan bukti-bukti perselingkuhannya yang lain? Kembali berbalik menuju parkiran motor. Pikiranku berkecamuk, campur aduk jadi satu. Memikirkan Mas Hendi dan Kartika, lalu satu lagi masalah, ibu mertuaku datang sambil menangis, entahlah ada masalah apa. Kuhela nafas dalam-dalam, berusaha menetralisir emosiku. Setelah siap, gegas aku melajukan motorku dengan kecepatan sedang. Sepertinya akan butuh waktu satu setengah jam untuk sampai di rumah. Sudah sejauh ini, tapi aku tidak berhasil mendapatkan bukti yang lebih otentik. Rasanya seperti sia-sia saja. *** Tiiiin tiiiiin .... Bruukk!! Motorku terguling ke pinggir jalan saat tiba-tiba ada kucing menyebrang jalan, sedangkan dari arah belakang sebuah mobil menyenggol motorku hingga aku hilang keseimbangan dan terjatuh. Sakit pasti! Tapi lebih sakit rasa hatiku karena keadaanku yang tidak memungkinkan untuk lanjut mengikuti kemana Mas Hendi pergi. Gagal sudah untuk hari ini. "Mbak, maaf saya tidak sengaja. Apa anda baik-baik saja?" tanyanya setelah membantu mengangkat motorku yang terguling menindih kaki. Ia mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri. Aku terdiam sejenak, mendongak ke arahnya. Agak terkejut melihatnya, bukankah laki-laki itu yang tadi pagi bertemu Mas Hendi. Ya, sepertinya benar, dia Rusdy--teman Mas Hendi yang ia ceritakan itu. Kakiku terasa begitu nyeri dan nyut-nyutan. Ada luka disana, terutama hatiku, lukanya lebih menganga lebar. Perih rasanya seperti ditaburi garam. Kulihat bercak darah merembes sampai ke bagian bawah gamis yang kukenakan. Beberapa orang datang mengerumuniku. Dadaku bergetar hebat, kepala semakin pusing berdenyut, beginikah rasanya habis lolos dari maut? Lelaki itu beranjak pergi namun segera ditahan oleh beberapa orang. "Mas, jangan langsung kabur dong. Harus tanggung jawab, mbaknya terluka tuh!" tukas salah seorang warga menghadang langkahnya. "Iya, iya pak. Saya akan bertanggung jawab, saya tidak akan pergi. Tolong bantu saya pak," sahut laki-laki berkacamata itu. Tak butuh waktu lama, ia membukakan pintu mobil dan membawa kotak P3K. Ia kembali menghampiriku yang masih diam terpaku. Rasanya kakiku susah sekali untuk digerakkan. Sakit dan ngilu. "Mbak maaf, bisakah disibak dulu gamisnya, biar saya lihat sedalam apa lukanya," ujarnya dengan tatapan cemas. Lelaki itu terus saja menatapku dengan iba. "Tidak usah, Mas," jawabku seraya mengibaskan tangan ke udara membuat gerakannya terhenti. "Ya sudah mbak, saya antarkan mbak ke rumah sakit saja. Motornya biar diantar ke bengkel terdekat. Nanti saya yang akan membayar semuanya," ucapnya kemudian. Sepertinya ia melihat noda darah di gamisku. Ah sungguh menyedihkan. Mungkin karena masih shock, aku tak mampu berpikir dengan baik. Aku diam saja saat ia mengatakan hal itu. Kepala terasa berdenyut merespon rasa sakit yang begitu perih Tiba-tiba, tanpa kompromi lagi lelaki itu memapahku untuk berdiri lalu membawa masuk ke dalam mobil. Ah aku malu sekali kenapa rasanya aku begitu kepayahan. "Maaf mbak, kalau saya lancang. Tapi sepertinya luka mbak cukup parah," tukasnya lagi. Setelah berkoordinasi dengan beberapa warga tadi, akhirnya laki-laki itu mengantarku sampai di rumah sakit terdekat. *** Sampai di Rumah Sakit, dua orang perawat berlarian sambil membawa kursi roda. Lagi-lagi laki-laki itu membantuku. Para tenaga medis langsung membawaku ke ruang IGD dan memeriksa kondisiku disana. Kakiku mengalami cedera, tidak terlalu parah namun sangat mempengaruhi aktivitasku kedepannya. Perban itu kini sudah membalut luka di kakiku. Astaghfirullah hal'adzim, mungkin ini kesalahanku, peringatan Allah terhadapku, karena tidak berhati-hati dalam berkendara. Apalagi dengan pikiran yang bercabang. "Mbak, ada nomor keluarga mbak yang bisa dihubungi?" tanyanya lelaki itu. Wajahnya tampak merasa bersalah melihat kondisiku seperti ini. "Ada mas, suami saya." "Boleh minta nomornya?" Aku pun menyebutkan nomor Mas Hendi sesuai permintaannya. Ia tampak bingung saat menghubungi suamiku. "Hendi? Mbak ini istrinya Hendi?" tanyanya penasaran. "Iya mas," jawabku pelan. "Lho, tadi bukannya--" Ucapannya seketika berhenti. "Kenapa, Mas? Mas kenal suami saya?" tanyaku. "Ah iya, saya temannya. Panggil saja saya Rusdy. Tadi pagi kami sempat bertemu. Bahkan ngobrol banyak tapiiii--" "Ada apa, Mas?" "Bentar ya mbak, saya hubungi Hendi dulu, biar datang kesini." Aku mengangguk. Aku yakin, Mas Hendi tidak akan mengangkat teleponnya. Dia kan sedang sibuk bersenang-senang bersama seorang wanita. Berulang kali ia menghubungi suamiku, tapi tak kunjung diangkat. "Tidak diangkat mbak," ucapnya. "Tidak apa-apa mas, sepertinya suamiku sedang sibuk." "Kalau begitu, biar saya yang antar mbak sampai ke rumah ya!" "Pesankan saya taksi saja, Mas." "Tidak mbak, saya benar-benar merasa bersalah karena sudah membuat mbak jadi seperti ini. Biar saya saja yang mengantar mbak ke rumah, anggap saja sebagai bentuk tanggung jawab saya karena sudah menabrak motor mbak dan membuatnya jadi seperti ini." Aku hanya mengangguk. Tak mungkin juga aku pulang sendiri dengan kondisi kakiku yang seperti ini. Aku langsung diperbolehkan pulang oleh pihak rumah sakit, karena tak ada cedera yang lain selain cedera di kaki. Mas Rusdy mendorong kursi rodaku hingga sampai di parkiran tempat mobilnya berada. Dengan hati-hati ia membantuku untuk masuk ke dalam mobil. *** Sampai di rumah, aku langsung disambut oleh kekhawatiran Mbok Jum. "Non kenapa? Kok bisa seperti ini?" tanya Mbok Jum. Tak lama ibu mertuaku keluar dengan mata yang sembab. Ia sama khawatirnya dengan Mbok Jum. Wanita paruh baya itu udah kuanggap seperti pengganti ibu kandungku sendiri. "Nak, kamu kenapa? Kok kamu bisa seperti ini. Terus ini siapa? Hendi mana?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN