[Mas, jangan lupa pesananku nanti malam ya, Love you. Mmuuaaacch]
Keningku berkerut melihat sebuah pesan WA yang masuk di ponsel suamiku. Pengirimnya adalah Kartika, tetanggaku yang seorang janda muda. Rumahnya berjarak sepuluh rumah dariku.
Untuk apa Kartika ngirim pesan mesra ke WA suamiku? Atau jangan-jangan dia salah kirim?
Ting!
[Mas, kenapa dibaca doang? Balas dong sayang]
Tulisnya lagi di pesan WA. Ini artinya, Kartika tidak salah kirim, pesan ini benar-benar ditujukan ke Mas Hendi, suamiku. Apakah diam-diam mereka punya hubungan khusus di belakangku? Tak ada chat yang lainnya kecuali dua pesan yang terkirim barusan. Mungkin Mas Hendi sudah menghapusnya terlebih dahulu.
Di rumah, aku membuka warung sembako yang cukup komplit, segala macam kebutuhan tersedia disini. Aku juga membuka jasa delivery order, mereka akan pesan lewat SMS atau WA dan kami akan mengantarkannya ke rumah atau alamat tujuan. Lebih tepatnya Mas Hendi-lah yang membantuku menjadi kurir setiap hari. Kami memang membuka jasa seperti itu agar memudahkan para pelanggan. Istilahnya jemput bola.
Selama ini tak ada masalah yang berarti. Bahkan aku menganggap usahaku ini makin berkembang pesat. Di kompleks perumahan kami yang sebagian besar para pekerja, membuat usahaku ini diminati banyak orang. Bukan hanya kompleks perumahan kami saja, seringnya Mas Hendi pun mengirimkan barang sampai ke desa-desa sebelah.
"Dek, gimana apa ada pesanan yang lain lagi?" tanya Mas Hendi yang baru keluar dari kamar mandi. Handuk masih melingkar di bagian tubuhnya. Badannya terlihat lebih segar dan bersih setelah membasuh diri dengan guyuran air shower. Setelah seharian lelah beraktivitas, berkutat dengan barang-barang belanjaan.
Memang biasanya, aku mengecek segala pesan yang masuk ke nomor suamiku atau nomorku sendiri perihal pesanan para konsumen. Tapi malam ini, aku mendapati pesan yang tak biasa. Rasanya pengen tak hiiih saja.
"Ada nih mas, WA dari Kartika. Tapi kok chatnya mesra begini ya? Memangnya dia pesan apaan sih, Mas?" tanyaku.
Kulihat rona wajah Mas Hendi berubah. Sulit diartikan lewat kata. Ia segera meraih ponsel dan membacanya.
"Gak usah diambil hati lah. Paling cuma iseng-iseng doang," ujar Mas Hendi kikuk.
"Memangnya dia pesan apa, Mas?" tanyaku penuh selidik.
"Ada catatannya kok di buku. Biar mas yang siapin deh barang-barangnya. Kamu istirahat saja, kayaknya kamu kecapekan," sahut Mas Hendi.
Cupp, ia mengecup keningku dengan lembut.
"Mandi dulu gih, biar segeran dikit. Biar pikiranmu gak penat jadi gak curigaan melulu," pungkasnya lagi.
Aku terdiam. Jujur, aku memang kepikiran dengan chat mesra dari tetanggaku itu. Bukan apa-apa, tapi kenapa harus pake sayang-sayangan segala dan emoticon love. Apa maksudnya coba?
"Berarti malam ini ada lima lagi pesanan yang belum diantar ya, dek?" tanya Mas Hendi.
Aku mengangguk. Lima pesanan lagi kalau memang ada pesanan dari Kartika. Setiap harinya tak jarang 20 hingga 30 paket yang perlu diantarkan ke pembelinya. Tapi banyak juga yang langsung datang ke toko.
Mas Hendi sudah berganti baju. Celana jeans dan kemeja kaos warna biru elektrik, membalut tubuhnya yang tegap atletis.
Tumben pakai baju yang rapi begitu, seperti mau kencan saja? Batinku mulai bertanya-tanya.
"Ya sudah, kamu mandi terus istirahat. Mas biar dibantu sama Mbok Jum untuk menyiapkan barang-barangnya," ucapnya lagi.
Mbok Jum adalah asisten rumah tangga kami, umurnya sudah paruh baya. Ia tinggal bersama di rumah kami, ia memang sudah mengabdi puluhan tahun disini, sejak aku masih kecil. Rumah yang kutempati saat ini adalah rumah peninggalan almarhum orang tuaku.
Sedangkan Mas Hendi, dulunya ia adalah pegawai kantoran. Namun karena ada pengurangan karyawan, Mas Hendi ikut diPHK, tanpa pesangon apapun. Sekian lama mencari kerja namun tak kunjung didapat. Akhirnya kuminta ia untuk membantuku berjualan. Hingga akhirnya aku membuka jasa delivery order. Untuk sekarang, kebutuhan kami sudah sangat tercukupi dari warung sembako ini.
Selesai mandi dan makan bersama, Mas Hendi sudah menstater motor tossa-nya dan mengangkut barang pesanan konsumen. Kebetulan ada yang pesan beras satu kantong serta gas melon dan isi ulang air mineral.
Tidak banyak barang yang diantar, berarti Mas Hendi bisa pulang lebih cepat, ucapku dalam hati. Namun karena rasa penasaranku lebih dominan, jadi ingin kupastikan sendiri apa yang dilakukannya diluar sana.
Setelah Mas Hendi pergi, aku segera bergegas ke dalam mengambil jaket, helm dan menyambar kunci motor, tak lupa handphone kubawa.
"Mbok, kita tutup saja warungnya, saya ada perlu diluar rumah," ujarku pada Mbok Jum.
"Baik, Non."
Dengan sigap, mbok Jum membantuku menutup folding gate toko.
"Saya pergi dulu ya, Mbok."
"Iya non, hati-hati dijalan."
Kulajukan motorku, tanpa susah payah kuikuti Mas Hendi dari jauh, kebetulan akupun sudah hafal rutenya. Seharusnya pesanan Kartika lebih dulu yang diantar, tapi saat lewat di depan rumahnya, tak ada tanda-tanda Mas Hendi disana. Pasti ke tujuan yang lain dan rumah Kartika tujuan terakhirnya.
Ternyata benar dugaanku. Setelah Mas Hendi mengantarkan pesanan ke tempat yang lain, ia menghentikan motor tossa-nya di halaman rumah Kartika. Turun lalu mengambil barang belanjaan. Sedangkan aku berhenti di pinggir jalan. Tak ada yang curiga kalau ada aku disini, apalagi jalan hanya dipasangi lampu berwarna kuning temaram. Segera kuambil handphone dari slingbag-ku untuk merekam apa yang mereka lakukan.
Kulihat Kartika menyambut Mas Hendi di depan pintu. Senyuman wanita itu tampak sumringah. Tak segan-segan ia memeluk Mas Hendi lalu menghadiahi kecupan di pipi kanan dan kirinya.
Deg! Dadaku rasanya panas terbakar api cemburu. Dilihat dari bahasa tubuhnya, sepertinya mereka sangat dekat.
Kartika menarik lengan Mas Hendi dan membawanya masuk ke dalam rumah. Lalu pintu itu tertutup dengan rapat. Ingin sekali kulabrak janda sial*n itu. Tapi tidak, rasanya kurang etis. Yang salah disini bukan hanya wanita pelakor itu, tapi juga suamiku yang meladeninya. Baiklah, akan kumpulkan bukti-bukti perselingkuhanmu dulu, Mas.
Jangan salah menilaiku, aku bukanlah wanita lemah yang gampang kau bodohi. Kau bermain di belakangku, aku juga akan bermain cantik di depanmu.
Sudah satu jam, Mas Hendi tak kunjung keluar dari rumah. Pikiranku melayang membayangkan hal yang tidak-tidak terjadi di dalam sana.
Suasana perumahan tampak sepi meskipun waktu baru menunjukkan pukul sepuluh malam. Mereka lebih memilih berdiam diri di dalam rumah, beristirahat untuk aktivitas besok pagi.
Pintu terbuka, Mas Hendi keluar dengan penampilan yang sedikit berantakan, pun dengan Kartika, sepertinya ia lupa mengancingkan piyama tidurnya di bagian atas hingga terlihat belahan dadanya menyembul.
"Mas, jangan lupa besok ya!" rajuk Kartika manja.
"Iya, aku pulang dulu," jawab Mas Hendi.
Aku segera bersembunyi dibalik bunga-bunga yang ditanam dipinggir jalan.
Tak lama setelah Mas Hendi pulang dengan motor itu, akupun bergegas pergi. Bukan pulang ke rumah, melainkan ke tempat penjual martabak.
"Kamu habis dari mana?" tanya Mas Hendi, dia membukakan pintu dan menyambutku penuh pertanyaan.
"Beli ini ..."