"Grisse!" Suara Vidwan yang memanggil dari arah kamar membuat Grisse terlonjak. Refleks gadis itu memegangi dadanya yang berdebar hebat. Ia benar-benar terkejut mendengar panggilan Vidwan yang tiba-tiba. Tak berselang lama, Vidwan mengulangi panggilannya sekali lagi. Kali ini Grisse segera beranjak dari duduknya. Dengan sedikit bergegas, Grisse melangkah menuju kamar Vidwan. Diketuknya pintu kamar satu kali dan segera Grisse mendengar suara Vidwan dari dalam untuk menyuruhnya masuk.
"Sir." Panggil Grisse sambil melongokkan kepalanya dari balik pintu.
"Masuklah!" Suara Vidwan terdengar dari sudut yang dekat dengan pintu kamar. Sepertinya di balik pintu itu kamar mandi karena Grisse bisa mendengar suara gemericik air yang perlahan menghilang. Grisse menurut. Ia melangkah masuk kemudian menutup pintu kamar perlahan. Grisse memilih diam mematung di tempatnya berdiri. Sambil mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kamar Vidwan, Grisse bertanya-tanya dalam hati, mengapa Vidwan memintanya masuk ke kamar? Bukankah kamar tidur adalah area yang sangat pribadi? Memikirkan tentang area pribadi sang guru yang kini dimasukinya, membuat Grisse mengkhayalkan hal yang tidak-tidak.
"Grisse!"
"Ya, Sir."
"Bagus, kamu masih ada di sana."
"I… iya, Sir." Grisse menjawab ragu. Apa maksud kalimat Vidwan? Belum juga Grisse mampu menjawab pertanyaannya sendiri, perlahan pintu kamar mandi terbuka. Setelahnya Vidwan muncul dalam balutan handuk mandi warna putih yang menggantung di pinggang. Refleks Grisse memutar tubuhnya. Ia benar-benar malu melihat gurunya yang tampan dan…. nyaris t*******g. Sesaat Grisse membayangkan jika tetiba handuk yang dipakai Vidwan terlepas. Ia kemudian merasakan wajahnya memanas.
"Hey!" Vidwan menyentuh bahu Grisse kemudian memutar tubuh gadis itu. Grisse menundukkan wajahnya semakin dalam. Ia benar-benar takut menghadapi Vidwan dalam tampilan yang sangat provokatif.
"Kenapa?" Vidwan bertanya sambil tersenyum geli. Terlintaslah sebuah ide gila untuk mengerjai Grisse.
"Grisse?" Vidwan berkata lagi. Grisse menjawab, tapi tetap menundukkan kepala. Ia masih takut untuk melihat Vidwan. Tanpa ragu, Vidwan meraih ujung handuknya yang terselip. Tanpa menunggu detik berganti, handuk yang melilit pinggang Vidwan pun terlepas.
"Kalau kau terus menunduk, artinya kau menikmati pemandangan di bawah sana." Vidwan berkata dengan nada tegas sambil berusaha menyembunyikan senyuman puasnya. Grisse tersentak. Ia buru-buru mengangkat kepalanya.
"Tidak, Sir. Aku tidak melihatnya." Grisse mengacungkan dua jarinya sehingga membentuk huruf V.
"Sungguh, Sir." Ia kembali menegaskan. Vidwan maju selangkah, mendekat ke arah mahasiswanya yang cantik.
"Aku justru kecewa karena kamu tidak melihatnya, Grisse." Vidwan menangkup wajah Grisse menggunakan kedua tangannya yang lembab. Pipi Grisse pun seketika dingin. Vidwan kemudian mendekatkan wajahnya. Mempertemukan kedua ujung hidung mereka. Lagi-lagi sensasi dingin menerpa ujung hidung Grisse. Vidwan kemudian menempelkan keningnya pada kening Grisse. Ia menarik napas dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Gairahnya telah tersulut sejak tadi. Embusan napas hangat yang dibuang Vidwan dan Grisse yang nyaris bersamaan melahirkan sensasi yang justru semakin memantik gairah mereka. Grisse mencoba memejamkan matanya, tapi Vidwan melarang.
"Jangan menutup matamu, Cantik! Jangan khawatir, aku tidak terlarang untuk dilihat bahkan dikagumi." Tepat setelah Vidwan mengucapkan kata terakhir, bibirnya menyentuh bibir Grisse lembut. Ia sengaja untuk tidak terburu-buru menjulurkan lidahnya. Ia masih ingin menikmati bibir lembut Grisse dengan bibirnya. Memang terasa aneh, seperti muda-mudi yang baru belajar berciuman, tapi Vidwan tidak peduli. Ia tahu Grisse sedang gugup. Dan Vidwan yakin, kegugupan Grisse akan membuatnya melakukan penolakan sebagai bentuk pertahan diri. Vidwan tidak ingin ditolak malam ini.
"Grisse…."
"Iya, Sir."
"Menginaplah di sini."
"Tidak, Sir."
"Kenapa?"
"Aku merasa tidak pantas." Grisse bingung mencari alasan.
"Aku yang lebih berhak memutuskan. Menilai pantas atau tidak."
"Tapi…."
"Jangan membantahku, Sayang."
Hati Grisse berdesir mendengar Vidwan memanggilnya sayang.
Ah, laki-laki ini sepertinya tahu cara memperlakukan perempuan dengan baik. Dalam hati, Grisse memuji Vidwan.
"Menginaplah di sini."
"Tapi aku tidak siap, Sir." Sergah Grisse. Vidwan menarik wajahnya. Menciptakan sedikit jarak dengan Grisse.
"Apa maksudmu?"
"Aku tidak ada persiapan untuk menginap. Aku belum mandi dan aku tidak membawa baju ganti."
"Kau melupakan satu hal." Vidwan tersenyum kemudian kembali mengikis jarak dengan Grisse.
"Ini bukan di kelas sehingga kau tidak perlu berpakaian lengkap."
"Maksud Anda, Sir?" Grisse menatap Vidwan bingung. Ia tidak bisa menebak jalan pikiran gurunya tersebut.
"Kau cukup memakai kemeja milikku. Pakaianmu bisa kamu cuci malam ini sehingga bisa dipakai lagi besok."
"Tapi bagaimana dengan…."
"Kau tidak membutuhkan itu, Grisse." Vidwan menjawab yakin. Ia tahu pasti apa yang Grisse maksudkan. Grisse tidak segera mengiyakan saran Vidwan. Ia masih berpikir bahwa dirinya akan menjadi setengah t*******g jika menyetujui saran Vidwan. Grisse ragu. Selama ini ia tidak pernah tidak memakai pakaian dalam. Mungkin sesekali ia masih tidak mengenakan penutup p******a, tapi tanpa celana dalam? Oh tidak. Ia tidak pernah melewatkan memakainya. Apalagi sekarang, ia akan berdua dengan seorang laki-laki penuh pesona.
"Aku tidak sabar melihatmu memakai kemejaku, Grisse." Lagi, Vidwan mengatakan kalimat provokatif.
"Pergilah mandi. Aku akan mengambilkanmu kemeja milikku." Vidwan melangkah menjauhi Grisse untuk menuju lemari pakaiannya. Grisse mengayun langkahnya perlahan. Sesampainya di dalam kamar mandi, Grisse segera melepaskan semua pakaiannya. Tepat setelah Grisse membuka keran shower dan air yang mengucur dari atas kepalanya membasahi seluruh tubuhnya, Grisse dikagetkan dengan suara pintu kamar mandi yang terbuka. Refleks Grisse menoleh ke arah sumber suara. Dilihatnya Vidwan berdiri mematung di pintu sesaat. Kemudian dengan gerak cepat dan terkesan terburu-buru, Vidwan melucuti pakaian yang menempel di tubuhnya. Segera setelahnya ia bergabung dengan Grisse. Berbasah-basah di bawah kucuran air yang mengalir cukup deras dari shower. Vidwan menyergap bibir Grisse kemudian memagutnya. Kedua tangannya berada pada bagian tengah tubuh Grisse kemudian menarik gadis itu mendekat. Tubuh mereka menempel. Masih terus memagut Grisse, kedua tangan Vidwan menangkup sepasang p******a Grisse. Dengan gerakan perlahan, Vidwan meremas p******a Grisse. Grisse berusaha melepaskan diri dari pagutan Vidwan. Ia merasakan dorongan yang kuat dari dalam dirinya. Dorongan untuk merespons sentuhan Vidwan dengan desahan yang s*****l.
Ketika sebuah desahan berhasil lolos dari bibir Grisse, Vidwan seolah tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Dengan ibu jari dan telunjuk yang mengapit puncak kecoklatan p******a Grisse, Vidwan pun memilinnya dengan gerakan yang awalnya perlahan lalu berubah menjadi cepat dan sedikit menjepit.
Dan…. benarlah dugaan Vidwan, Grisse menggeliat sambil meloloskan desahan panas. Membuat Vidwan semakin bernafsu untuk menjamah Grisse lebih jauh.
"Kau pernah disentuh sebelumnya, Sayang?" Bisik Vidwan lembut. Suara lirihnya bersaing dengan gemericik air yang masih mengucur deras.
"Belum pernah, Sir." Grisse menjawab dengan polosnya. Vidwan menyeringai. Ia pun kemudian mendekatkan bibirnya ke telinga Grisse.
"Kau masih perawan?"
"Iya, Sir."
"Bolehkah aku memintanya, Sayang?"
***