"Duduklah, Grisse. Mari kita mulai belajar." Vidwan membuka buku catatan yang dipegangnya. Ketika Grisse sudah benar-benar duduk, gadis itu tidak tahu juga tidak sadar jika Vidwan terlihat sangat menikmati pemandangan di sampingnya meskipun ia hanya melihat melalui sudut matanya. Pemandangan Grisse yang duduk dengan belahan depan kemeja yang terbuka membuat darah Vidwan berdesir. Oh… jiwa lelaki Vidwan meraung kembali. Tidak tahan dengan apa yang tersaji di dekatnya.
Vidwan berdeham sehingga Grisse menoleh ke arah lelaki itu.
"Kau sudah bisa menulis menggunakan aksara Devanagari?" Tanya Vidwan tanpa melihat Grisse. Vidwan membuat dirinya terlihat sedang sibuk membaca catatan miliknya, yang ia sangga dengan tangan kirinya. Grisse mengangguk, namun seketika ia sadar bahwa sang guru tidak melihatnya. Grisse pun mengulangi jawabannya dengan bersuara.
"Saya bisa, Sir."
"Bagus, tunjukkan padaku jika memang kamu bisa." Vidwan memberikan secarik kertas dengan beberapa baris tulisan dalam aksara Latin.
"Tulis ulang teks itu menggunakan aksara Devanagari." Perintah Vidwan sambil menatap Grisse dalam-dalam. Grisse mengangguk mantap. Ia membaca sekilas seluruh teks yang ada kemudian bersiap untuk menulis.
"Maaf, Sir bolehkah saya meminjam alat tulis Anda?"
"Tentu, di dalam kotak itu ada pensil serta pena. Pakailah." Vidwan menunjuk kotak di sudut kanan meja kerjanya menggunakan dagu.
Grisse beranjak dari duduknya karena ia kesulitan menjangkau kotak yang terletak agak jauh darinya. Ternyata, berdiri saja belum cukup. Akhirnya Grisse pun berjinjit untuk mengambil salah satu pensil.
Vidwan memasang penglihatannya tatkala dilihatnya b****g Grisse yang terbuka akibat ujung bawah kemeja yang terangkat. Vidwan mendesah gundah. Ia benar-benar tidak tahan lagi. Namun, lagi-lagi Vidwan menahan diri untuk tidak gegabah karena gegabah artinya Grisse akan menjauh, mungkin selama gadis itu mengikuti program exchange ia akan terus menghindari Vidwan.
Tak hilang akal, Vidwan sengaja menjatuhkan beberapa lembar kertas yang tadi ia selipkan pada buku catatan miliknya. Vidwan pun beranjak kemudian berjongkok untuk memunguti kertas-kertas tersebut. Dan benar dugaannya, dalam posisi berjongkok seperti ini ia bisa leluasa menikmati pemandangan indah milik Grisse. Pusat gadis itu beserta sepasang b****g yang padat berisi terekspos sangat jelas. Ups, air liur Vidwan pun menitik.
Sementara Grisse yang masih berusaha mengambil pensil dari dalam kotak benar-benar tidak tahu jika sang guru kini berada di bawahnya.
Akhirnya, dengan agak susah payah, Grisse pun berhasil mengambil pensil, namun gadis itu sontak membeku di tempatnya. Grisse membelalakkan matanya demi melihat apa yang ada di dekat kotak berisi alat tulis itu. Sebuah buku dengan judul yang sangat tidak asing baginya. Ayolah, tentu saja buku itu tidak asing bagi seluruh orang dewasa di dunia ini. Sebuah buku yang terkenal dalam pengajaran mengenai teknik b******a. Buku e****s yang Grisse yakin diminati semua orang. Buku itu tampak tua, terlihat dari kertasnya yang telah berubah warna.
Sekali lagi Grisse membaca judul buku yang begitu menarik perhatiannya. Sampul buku tersebut bisa dibilang sangat sederhana desainnya. Judul buku yang ditulis dalam dua aksara: Latin dan Devanagari. Serta sebuah gambar berupa lukisan yang menampilkan sosok laki-laki dan perempuan yang duduk berdekatan. Lukisan yang menggambarkan kekhasan orang-orang pada masa kerajaan kuno India. Grisse pernah melihat lukisan serupa di buku-buku lainnya, baik tentang cerita epik India atau buku-buku sejarah India.
"Kapan kamu akan mulai menulis, Grisse?" Suara Vidwan yang penuh sindiran membuyarkan lamunan Grisse. Gadis itu cepat menggenggam pensil yang sudah dipegangnya.
"Maaf, Sir." Grisse berusaha menutupi kegugupannya yang sangat kentara.
Vidwan sebenarnya tahu apa yang sebenarnya tengah terjadi. Ia sangat yakin jika gadis itu telah melihat buku yang sengaja ia letakkan di sana. Ya, Vidwan sengaja meletakkan buku itu di sana untuk mempengaruhi Grisse. Memprovokasi gadis itu agar pendiriannya goyah.
Kini, Vidwan hanya perlu melanjutkan rencananya. Rencana yang telah disusunnya dengan rapi. Rencana yang telah dipikirkannya masak-masak. Ia hanya perlu Bertingkah sealamiah mungkin. Tidak menimbulkan kecurigaan Grisse. Dan itu dilakukannya dengan berpura-pura melangkah mendekati sudut meja untuk mengambil alat tulis dalam kotak. Tujuan Vidwan nyatanya bukan untuk mengambil alat tulis. Ia bermaksud hendak membuka buku yang telah dilihat Grisse. Vidwan ingin membuka buku itu tepat pada halaman yang akan menampilkan ilustrasi yang menggoda. Ilustrasi seorang laki-laki dan perempuan yang sedang melakukan penyatuan. Bersamaan dengan tangannya yang bergerak sangat cepat, sebuah senyuman miring yang misterius menghiasi wajah Vidwan yang sudah berkabut gairah.
"Oh, God." Desis Grisse refleks. Vidwan yang tengah membenamkan diri pada catatan yang ada di pangkuannya pun sontak mengangkat wajahnya.
"Kenapa, Grisse?"
"Tidak, Tidak ada apa-apa, Sir." Grisse menjawab dengan terbata. Wajahnya yang bersemu kemerahan membuat Vidwan mengangkat sepasang alisnya.
"Wajahmu memerah."
Refleks Grisse menutupkan kedua tangannya pada wajahnya.
"Hey, ada apa?" Vidwan menunjukkan ekspresi tertarik melihat tingkah Grisse. Grisse hanya menggeleng. Dengan perlahan, Vidwan meraih telapak tangan Grisse kemudian menjauhkannya dari wajah gadis itu.
"Kenapa Anda membukanya, Sir?"
"Membuka apa?" Vidwan bertanya, pura-pura tidak mengerti maksud ucapan Grisse.
"Buku itu." Sergah Grisse cepat. Vidwan tersenyum.
"Aku tidak mempunyai maksud apa-apa selain ingin mengajarimu untuk membaca teks yang ada di dalam buku itu."
Grisse menatap Vidwan ragu. Jika mengingat kembali perlakuan gurunya yang m***m, Grisse jelas sangsi dengan apa yang telah didengarnya.
"Ayolah, Grisse. Jika memang kamu ingin menguasai Sanskrit, maka jangan setengah-setengah untuk mempelajarinya." Vidwan berdiri sambil berkacak pinggang. Ia sengaja menunjukkan kekesalannya pada Grisse. Kekesalan yang dibuat-buat, ya semua yang ditampilkan Vidwan hanya pura-pura.
"Setelah kamu selesai menulis, aku akan memintamu membaca teks yang ada di buku itu." Vidwan memberi instruksi yang disambut Grisse dengan ekspresi enggan bercampur sungkan. Tanpa menjawab atau mengiyakan instruksi sang guru, Grisse kembali melanjutkan kegiatan menulisnya. Kali ini ia berharap agar teks yang harus ia tulis ulang dalam aksara Devanagari sangatlah banyak jumlahnya.
Ya, Grisse berharap pekerjaan menulis ini tidak akan pernah berakhir agar ia tidak perlu membaca teks pada buku e****s tersebut. Karena bagi Grisse, membaca teks pada buku itu sama artinya dengan memandangi gambar-gambar ilustrasi yang tentu saja bisa memantik gairah.
Namun rupanya Vidwan menangkap kesengajaan yang dilakukan Grisse. Tanpa menunggu lebih lama, Vidwan segera meminta Grisse untuk mengakhiri latihan menulisnya. Ia segera mengambil dua lembar kertas yang berada di hadapan Grisse.
"Eh, saya belum selesai Sir." Grisse mencoba menahan Vidwan dengan menyentuh tangan sang guru. Vidwan menghentikan gerakannya. Dipandanginya Grisse lekat-lekat sambil menghela napas dalam.
"Kita mulai ke latihan berikutnya, Grisse. Aku ingin pelajaran tentang aksara Devanagari selesai malam ini."
Vidwan meraih buku yang telah terbuka halamannya itu kemudian meletakkannya di hadapan Grisse.
"Bacalah!" Kata Vidwan dengan nada bicara yang datar. Grisse menatap gurunya tanpa berkedip. Ingin rasanya ia memohon pada sang guru agar tidak membaca buku itu, tapi Grisse tidak berani. Ia takut Vidwan marah.
Dengan suara yang cukup bisa didengar oleh dirinya dan Vidwan, Grisse membaca baris demi baris teks dengan lancar. Sedari awla Grisse membaca, rona wajahnya senantiasa memerah. Berapa tidak, buku itu menjelaskan secara detail setiap posisi b******a. Ilustrasi yang dilukis secara gamblang semakin membuat Grisse berkeringat dingin. Entah kenapa, tetiba Grisse merasakan napasnya memburu. Dadanya naik turun lebih cepat dan ia merasa susah menelan ludah. Oh, tidak. Sepertinya Grisse merasa birahinya naik. Ia menyudahi membacanya dan menatap Vidwan yang tengah asyik membaca.
"Sir..." Panggil Grisse dengan suara serak. Vidwan mengangkat wajahnya. Dipandanginya Grisse yang wajahnya berhias peluh.
"Kenapa, Grisse?"
"Bisakah saya menyudahi membaca ini, Sir? Saya… lelah." Grisse terlihat kebingungan mencari alasan. Sebenarnya memilih kata lelah tidaklah salah. Grisse memang lelah. Ia kelelahan menahan diri. Teks dalam buku memang bisa dibacanya dengan lancar, meskipun tidak semua katanya ia ketahui maknanya. Beberapa kata yang tidak asing karena sering ia jumpai ketika membaca teks dalam bahasa Sansekerta membuatnya semakin tertantang untuk menafsirkan teks yang dibacanya. Sesekali pikiran liar yang diakibatkan ilustrasi buku membuat Grisse pusing dan kelelahan.
"Apa kamu paham apa yang dikatakan buku itu?" Tanya Vidwan dengan suara lembut yang sukses membuat hati Grisse berdesir.
"Tidak, Sir." Jawab Grisse tegas. Ia memang tidak paham apa yang tertulis di buku. Sedari tadi ia hanya menduga saja kemudian memainkan fantasi berbekal dugaan yang Grisse rasa sangat membabi buta.
"Kalau begitu, mari kita lanjutkan belajarnya." Vidwan beranjak kemudian mendekat ke arah Grisse. Dengan lembut diraihnya kedua tangan Grisse kemudian meminta gadis itu untuk berdiri. Grisse beranjak dari duduknya tanpa ragu. Ia tidak sadar jika pakaiannya kini semakin naik karena kusut setelah ia duduk tadi. Hal itu tentu saja memperlihatkan dengan jelas bagian bawah tubuh Grisse yang sedari tadi memang menjadi incaran Vidwan.
"Ikuti aku." Vidwan membimbing Grisse meninggalkan meja kerjanya. Ternyata Vidwan mengarahkan Grisse ke kamar tidurnya. Grisse mengikuti langkah Vidwan dalam diam. Tidak ada penolakan atau keraguan yang tercermin dari langkahnya. Hanya satu yang sedari tadi masih susah Grisse kendalikan, yakni debaran jantungnya yang semakin tidak karuan.
Vidwan mendudukkan Grisse di tepi ranjangnya. Lelaki itu kemudian berlutut sambil sedikit menengadahkan kepala sehingga Grisse dan Vidwan bertemu pandang.
"Apa kau masih ingin belajar denganku?"
Grisse mengangguk sebagai jawaban. Ia masih memaku pandangannya pada sepasang netra indah milik Vidwan.
"Satu pertanyaanku lagi. Apakah kamu bersedia mengikuti semua metode belajar yang kugunakan?"
Grisse kembali mengangguk. Seharusnya, ia berpikir lebih panjang sebelum menganggukkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan Vidwan.
"Kumohon jawablah aku Grisse, dengan suara indahmu. Bukan hanya anggukan kepalamu yang memang menggemaskan itu."
"Iya, Sir. Saya bersedia." Jawab Grisse tanpa ragu. Grisse sadar bahwa ia terlalu terburu-buru menjawab. Ia sadar telah gegabah, tanpa meminta penjelasan lebih mengenai syarat yang dilakukan Vidwan. Meski demikian Grisse terlihat tidak menyesal. Grisse sudah siap. Sudah siap untuk belajar dan bahkan sudah siap jika harus menyerahkan dirinya pada Vidwan. Setelah mendapat pengalaman pertama berupa sentuhan menggoda dari Vidwan, Grisse semakin penasaran. Dirinya menginginkan lebih. Lebih dari sentuhan jemari lelaki yang kini berada di hadapannya. Tetiba ilustrasi buku itu melintas di benaknya. Ia pun mulai berani membayangkan dirinya dan Vidwan melakukan penyatuan.
Sementara itu, Vidwan memperlihatkan senyuman manisnya pada Grisse. Dalam hati lelaki itu tertawa dan berterima kasih pada mahasiswi cantik di hadapannya.
Tinggal selangkah lagi. Vidwan sudah tidak sabar.
Oh, tidak! domba putih kecil yang cantik rupanya sudah masuk perangkap serigala tampan yang lapar.
***