Latihan akan dimulai lima menit lagi, tapi Vidwan belum juga bersiap. Ia masih mengenakan pakaian yang dipakainya mengajar. Kaos beserta celana pendeknya masih terlipat rapi dan tergeletak di atas meja. Matras yoganya juga masih tergulung, belum dibentangkan. Ia menolak ketika Grace menawarkan diri untuk menyiapkan matras miliknya.
Beberapa peserta yang sudah datang dan siap mengikuti latihan memandanginya heran. Tidak biasanya sang guru belum siap. Vidwan tidak peduli dengan pandangan penuh tanya seluruh peserta yang hadir. Banyak dari anggota Klubnya berasal dari luar kampus. Mereka mengikuti sesi latihan bersama Vidwan karena kagum dengan sosoknya.
Vidwan gelisah seperti ini karena sedang menunggu Grisse. Ia sangat khawatir Grisse urung hadir latihan sehingga kunjungan gadis itu ke apartemen miliknya juga batal. Kini, Vidwan menyadari bahwa ia telah mengatakan hal bodoh pada Grisse tadi. Secara terang-terangan Vidwan meminta Grisse menginap. Ia berdalih bahwa beberapa koleksinya adalah buku-buku langka yang sudah tidak ada di toko buku. Bahkan di perpustakaan universitas termasuk dalam koleksi khusus yang aksesnya sangat terbatas. Vidwan sampai harus mengarang kebohongan lainnya ketika Grisse mengatakan keberatannya. Gadis itu seolah menuntut janji Vidwan yang mengatakan akan meminjamkan buku yang diperlukan.
"Aku minta maaf telah membuatmu salah paham. Aku memang tidak keberatan untuk meminjamkan buku-bukuku, Grisse tapi tidak untuk dibawa keluar dari apartemenku."
Vidwan sengaja memasang tampang menyesal sambil berharap Grisse berubah pikiran.
"Tapi, Sir…." Nada ragunya terdengar sangat jelas, tapi Vidwan tidak peduli. Yang Vidwan pedulikan saat ini adalah bagaimana membuat Grisse datang ke apartemennya sehingga ia bisa melancarkan aksinya. Vidwan sadar bahwa ia tak ubahnya seperti predator lapar yang kurang sabar dalam mengejar buruan. Namun lagi-lagi, Vidwan tidak peduli dengan itu. Vidwan hanya menginginkan Grisse datang ke apartemennya.
"Guru, apakah Anda baik-baik saja?" Pertanyaan Grace, mahasiswi yang ditunjuknya menjadi manajer klub, membuyarkan kecamuk pikiran Vidwan.
"Ya, aku baik-baik saja Grace. Thanks. Latihan akan kita mulai lima menit lagi. Pandulah orang-orang untuk melakukan pemanasan terlebih dulu."
Grace tampak lega mendengar apa yang dikatakan Vidwan. Setelah mengangguk, Grace kemudian berlalu pergi dari hadapan Vidwan.
Tepat ketika Vidwan hendak melangkah menuju ruang ganti pakaian, Terdengar suara derit yang dihasilkan dari pintu kaca yang dibuka perlahan. Vidwan langsung menoleh. Dan seketika wajahnya semringah ketika mendapati sosok yang baru saja melangkah melewati pintu masuk aula tempat latihan yoga.
"Sorry, I am late."
Again.
Vidwan tersenyum mendengar kalimat Grissse. Hari ini sudah dua kali gadis itu terlambat hadir. Terlintas dalam benak Vidwan bahwa ia akan menghukum Grisse nanti, di apartemennya.
"Apa kau tidak tahu kapan latihan yoga dijadwalkan?" Grace menyambut Grisse dengan pertanyaan yang sudah pasti tujuannya untuk menyindir. Grisse bergeming beberapa saat hingga akhirnya ia menjawab pertanyaan Grace.
"Aku tidak punya matras sehingga aku pergi untuk membelinya dulu."
"Mahasiswa baru?" Tanya Grace lagi. Grisse mengangguk.
"Dasar bodoh. Seharusnya kamu membaca panduan yang dilampirkan bersama kartu anggota klub." Grace terlihat kesal. Grisse mengerjap mendengar kalimat Grace. Ia sama sekali tidak tahu apa yang Grace maksud.
Grace terlihat akan melanjutkan bicaranya, namun dengan cepat Vidwan memotong. Ia bermaksud menengahi kesalahpahaman ini. Vidwan ingin sekali memarahi Grace. Gadis itu selalu ketus pada semua orang. Seandainya Vidwan punya pilihan lain, tentu ia tidak akan menunjuk Grace sebagai manajer klub. Sebagai manajer klub seharusnya ia tidak bersikap demikian. Sikapnya bisa membuat orang-orang yang ingin ikut latihan yoga mengurungkan niat atau kabur. Dan sangat mungkin Grace membuat mereka membatalkan keanggotaan.
"Grace, tolong pimpin semua orang latihan hari ini. Aku akan bicara dengan Grisse."
Melalui kode berupa anggukan, Vidwan meminta Grisse mengikutinya. Mereka menuju sebuah ruangan yang di bagian atas pintu terdapat tulisan coach.
"Duduklah." Vidwan mempersilakan Grisse duduk di salah satu kursi dalam ruangan itu. Setelah Grisse duduk, Vidwan mengubah posisi kursi lainnya menjadi berhadapan dengan Grisse. Vidwan sengaja memberi sedikit jarak antara kursinya dengan Grisse. Alhasil, ketika Vidwan duduk, kedua lututnya menyenggol lutut Grisse.
"Sorry, Sir." Grisse segera beranjak. Ia bermaksud memundurkan kursinya, namun gerakannya seketika terhenti. Grisse meringis kesakitan sambil memegangi kaki kanannya.
"Aahh…." Grisse menjerit sambil berusaha menahan sakit. Vidwan segera beranjak sambil menatap Grisse cemas. Tangan kanannya secara refleks menyentuh punggu tangan Grisse.
"Kenapa?"
"Kaki kanan saya kram, Sir."
Dengan sigap Vidwan membimbing Grisse untuk duduk di lantai sambil meluruskan kedua kakinya. Ia kemudian ikut duduk dengan menghadap Grisse. Perlahan Vidwan menyentuh kaki kanan Grisse, mencoba mencari bagian yang kram. Grisse meringis tatkala Vidwan memijat pelan betisnya.
"Sakit, Sir." Grisse berusaha menahan tangis. Vidwan duduk bersila. Ia mengangkat kaki kanan Grisse dan meletakkannya ke atas.
"Jangan, Sir." Tolak Grisse sambil berusaha menurunkan kakinya. Sialnya, rasa sakit menyerangnya lagi. Grisse pun menangis kali ini.
"Sir." Panggil Grisse sambil merintih.
"Maaf, saya tidak sopan"
"Jangan menganggap ini tidak sopan. Kamu kesakitan dan butuh bantuan."
Vidwan memegangi pergelangan kaki dan ujung telapak kaki Grisse. Dalam gerakan perlahan Vidwan menegakkan telapak kaki Grisse. Grisse merasa otot kakinya seperti ditarik, tapi ia tidak merasakan sakit. Justru rasa nyaman hadir menggantikan rasa sakit. Grisse mulai tersenyum. Ia lega karena rasa sakit di kakinya berangsur hilang.
"Bisakah kamu menahan ujung jari kakimu?" Vidwan melepaskan pegangannya pada telapak tangan Grisse setelah gadis itu mengangguk. Vidwan kemudian meraba betis Grisse. Jantungnya berdetak lebih cepat tatkala jemarinya bersentuhan dengan kulit mulus Grisse.
"Sakit?" Tanya Vidwan sambil menekan-nekan perlahan beberapa titik di betis Grisse. Grisse sesekali mengangguk ketika bagian yang sakit ditekan Vidwan. Jemari Vidwan kemudian kembali meraba kaki Grisse. Kali ini sentuhannya bergerak naik sampai ke paha Grisse. Vidwan meraba bagian belakang paha Grisse. Dirasakannya otot yang kaku dan tegang.
"Ototnya tertarik sampai ke pangkal paha." Vidwan meraba paha Grisse. Grisse bergerak kikuk karena sebuah rasa asing menghinggapinya. Grisse belum pernah merasakan ini sebelumnya.
"Kenapa?" Vidwan menatap Grisse lekat.
"Tidak ada apa-apa, Sir."
"Kau terlihat tidak nyaman."
Grisse menggeleng. Ia malu mengatakan tentang rasa asing tersebut. Vidwan berusaha menahan senyum. Ia tahu apa yang tengah dirasakan Grisse.
"Sebaiknya kita ke apartemenku sekarang." Vidwan beranjak untuk mengemasi beberapa benda miliknya. Setelahnya, ia keluar dari ruangan dan kembali tidak lama kemudian.
"Ayo, kita ke apartemenku. Kamu sudah mampu berjalan atau aku minta seseorang untuk mengantar kita.
"Saya bisa berjalan, Sir." Grisse beranjak perlahan. Vidwan membantunya berdiri sambil memegangi bagian atas tubuhnya. Tangan Vidwan yang terselip di antara d**a bagian samping dan lengan Grisse tanpa sengaja menyentuh p******a gadis itu. Grisse merona karena malu. Lagi-lagi rasa asing itu muncul lagi.
"Maaf, aku tidak bermaksud menyentuhnya." Vidwan melepaskan tangannya dari d**a Grisse dan berpindah ke pinggang gadis itu.
"Tidak apa-apa, Sir." Grisse berusaha maklum. Ia tidak mungkin mencurigai Vidwan mengambil kesempatan untuk melecehkannya.
"Saya kembali ke asrama saja, Sir." Grisse berusaha menunjukkan bahwa ia sudah membaik, namun Vidwan menolak. Ia merasa bahwa kaki kram Grisse bisa kembali kambuh.
"Kita ke apartemenku karena aku akan merawatmu." Kalimat Vidwan lebih terdengar seperti perintah yang tidak boleh dibantah.
"Apakah Anda memang baik pada semua mahasiswa, Sir?" Ragu-ragu Grisse bertanya. Sesekali ia melirik Vidwan yang tampak sibuk merapikan satu-satunya meja dalam ruangan.
"Aku hanya baik padamu." Vidwan menatap Grisse tanpa berkedip.
"Kenapa? Jika berikutnya kata itu yang muncul dalam benakmu maka jawabannya karena aku ingin kita dekat atau lebih dari sekedar dekat."
***