Projek Baru

1171 Kata
“Apaan lagi, sih, Vi? Kurang puas lu ngebohongin gue dan Reni? Ngilang dan tiba-tiba nikah sama orang yang sudah sangat jelas lu benci. Maksudnya apa, sih?” Julia yang awalnya tidak peduli mulai terpancing. Setelah dia keluar dari ruangan bos, Lovia mengikuti dan mencegatnya di depan lift. “Gue nggak ada urusan apa-apa, Jul. Cuma mau bilang, selamat ya jadi karyawan di kantor suami gue,” sahutnya sambil tersenyum. Julia pun berdecih. “Kurang ajar banget. Dari dulu selalu bilang benci, ogah lihat wajahnya. Sekarang malah nikah dan hidup dari uangnya? Lu bener-bener cewek yang nggak ada otaknya!” “Dunia butuh duit. Ketimbang nerima cintanya Farhan, gue lebih milih Arlo yang sudah jelas sukses. Lagian lu masih aja mikirin benci-bencian sama temen. Gue sih udah ngelupain hal itu sejak lulus sekolah. Kalau lu masih berpikiran dangkal, hidup lu nggak akan makmur.” ‘Oh, ya? Akan gue buktiin kalau hidup makmur bukan hanya mentingin duit!’ . . Di sebuah ruangan kecil milik Hernanda, Julia diminta untuk hadir. Dengan rasa risau dia datang, entah apa kesalahannya di hari pertama kerja. Sementara yang terjadi tidak sesuai ekspektasi, Pak Hernanda tidak ada di sana, hanya ada seorang yang paling dia segan untuk lihat. Arlo Sanjaya “Bagaimana? Sudah ada perkembangan penjualan?” tanya Arlo yang duduk dengan satu kaki dia silang. “Tampaknya belum ada perkembangan dari kinerja kamu, kan? Penjualan hari ini didapat dari tim marketing yang lain which means kinerja kamu belum bagus, ya?” Julia dengan senang hati meludah jika diizinkan, sayangnya dia sadar posisi sebagai anak buah. “Belum ada perkembangan, Pak. Saya baru dua jam bekerja kalau Bapak lupa.” “Saya ada penawaran bagus. Kalau kamu berhasil menunjukkan kinerja yang sangat baik, kamu akan saya kontrak satu tahun kerja, tidak perlu masa pelatihan seperti sekarang. Ditambah uang lebih setelah projek ini selesai,” kata Arlo. Mendengar itu membuat mata Julia terbelalak. Siapa yang tidak menginginkan berita bagus itu? “Apa penawarannya, Pak? Saya janji akan berusaha keras untuk berhasil,” jawabnya. “Saya ingin kamu menemari projek terbaru saya. Menjadi asisten saya untuk beberapa hari dan buktikan kalau kinerja kamu bagus untuk mendapatkan penghargaan. Bagaimana?” Menjadi asisten di hari pertama bekerja? Sudah gila, pasti ada macam-macam di tawaran ini. ‘Ini pasti permintaan Vivi biar aku terlihat jelek. Siapa takut? Kamu jual, aku beli, Vi!’ “YES! Saya siap, Pak,” jawabnya dengan penuh ketegasan. Tanpa banyak kata, Julia menerima penawaran itu. “Oke. Nanti malam persiapkan diri kamu. Kita mulai projek malam ini.” . . Di rumahnya, Julia sudah siap dengan pakaian rapi. Mengenakan kemeja yang baru saja dia gosok, dibungkus blazer untuk menambah kesan rapi. Parfum juga sudah dia semprot di banyak titik agar terkesan wangi. Namun, orang yang ditunggu belum memberi kabar satupun. Padahal sudah hampir jam tujuh malam. “Sudah jelas dia seorang Arlo yang ceroboh. Minta janjian malem, nggak ngasih tau detail alamat. Ditagih alamat malah nggak dibales. Awas aja kalau sampai dia marah-marah karena aku telat.” Julia bermonolog di kamarnya. Tin! Satu klakson mobil terdengar di depan rumah. Julia pergi menghampiri dan melihat mobil Arlo di sana. Pria itu sudah berdiri di sebelah mobil dengan pakaian yang amat santai, menggunakan kaos oblong dengan celana pendek casual-nya. “Arlo? Maksud saya, Pak Arlo? Bapak jemput saya?” tanya Julia yang berlari menghampiri. “Kamu ngapain rapi banget?” Arlo keheranan melihatnya. “Nggak usah banyak tanya! Buruan bawa masuk barang-barang kamu, kita ke bandara sekarang.” Julia melotot dibuatnya. “Bentar! Bandara? Ini maksudnya apa, sih? Bukannya kita mau mulai projek malam ini? Kenapa jadi urusannya ke bandara?” “Apa saya belum bilang sebelumnya?” “Bilang apa?” tanya si Julia yang semakin geram. “Kan, Bapak cuma suruh saya persiapkan diri untuk projek.” “Ya ini projeknya, kita pergi ke Yogya dulu.” Mendengar itu langsung membuat Julia naik darah. “Kebiasaan banget sih! Ceroboh! Kalau mau pergi jauh itu bilang dari awal, biar saya juga siapin baju-baju. Kalau begini gimana? Udah mepet, baju saya belum disiapin.” “Loh kenapa kamu malah ungkit masa lalu? Kamu yang nggak nyari tau tentang projek ini, kenapa jadi nyalahin saya?” “IIIIH!” Julia pun berbalik untuk masuk ke dalam rumah. . . Setelah mempersiapkan semua, mereka berdua sedang berjalan menuju bandara. Tidak ada yang memulai obrolan sama sekali. Bahkan Julia masih sibuk dengan ponsel. “Sibuk banget.” Teguran Arlo tampaknya tidak mempan untuk Julia yang masih emosi. Kalau boleh, dia ingin diam sepanjang perjalanan dan memilih untuk diam saja sampai tiba di Yogya. Berbicara hanya dilakukan untuk bisnis, bukan hal lain. “Kamu ini anggap saya ada nggak, sih?” “Nggak usah berisik, deh! Fokus nyetir aja!” sahut Julia yang akhirnya menyerah. “Ngobrol, kek. Apa, kek! Kalau saya ngantuk bisa bahaya ini lho. Masih baik saya yang nyetirin. Emangnya kamu mau yang gantiin saya nyetir di sini?” “Saya nggak bisa nyetir, Pak. Kalau saya yang nyetir sampenya nggak ke Bandara, ke TPU yang ada,” timpal si Julia. “Ya makanya ajak ngobrol! Saya mulai ngantuk di tol ini,” sahutnya. “Saya nggak mau ngobrol,” kata Julia. Perempuan itu memiringkan badan menghadap kaca sekarang. Sedikit mengurangi arah pandang. “Kamu marah sama saya gara-gara tadi?” tanya Arlo yang nadanya mulai turun. “Bapak pikir sendiri aja deh!” “Ngapain harus marah, sih? Gitu aja marah. Baperan banget!” Tuh kan! Memang lebih baik kalau Julia diam saja. “Kamu pergi begini sudah izin suami?” tanya si Arlo lagi. “Saya belum menikah,” sahut Julia. “Bapak sendiri sudah bilang ke istri belum? Nanti pergi sama saya, dikira saya ngapa-ngapain suaminya lagi. Heboh kalau ketauan.” . . Setibanya di bandara, Arlo semakin mempercepat langkahnya hingga Julia harus berlari mengejar. Belum lagi koper yang dia bawa memperlambat langkahnya. “Pak, tunggu saya sebentar, dong! Saya capek banget lari begini,” kata Julia. Arlo langsung menghentikan langkah dan berbalik badan. “Saya minta KTP kamu aja, deh.” Setelah Julia sampai, dia tidak langsung memberikannya. “Buat apa?” “Ya saya mau beli tiket pesawat.” “Hah?! Bapak belum beli tiket pesawatnya? Saya kira udah beli. Terus berangkat jam berapa?” Arlo sempat melihat arlojinya sejenak. “Setengah jam lagi berangkat.” “Ih udah gila! Mana bisa beli tiket secepat itu. Udah nggak bisa, Pak! Yang ada habis beli, kita ketinggalan pesawatnya tuh,” oceh Julia yang semakin kelelahan. Perempuan itu terduduk di lantai dengan kaki yang dia luruskan. Arlo juga langsung ikut duduk di sebelahnya. “Kamu sih! Beres-beresnya kelamaan. Jadi telat kita.” Sudah tidak habis pikir lagi si Julia. Padahal Arlo yang salah, masih saja menyalahkan Julia. “Berarti kita cari hotel. Besok pagi jam delapan berangkat. Kamu ada uang untuk sewa hotel?” Julia pun langsung bilang. “Saya tidur di bandara aja, Pak. Duit saya sisa buat makan doang. Bapak ke hotel aja nggak apa-apa. Nanti sakit badannya kalau tidur di luar kayak gini.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN