Pertemuan

1098 Kata
“Ganti!” Dengan sigap Julia membekap mulut bossnya dengan kedua tangannya. “Bapak! Pelankan sedikit suaranya! Saya makin malu kalau teriak-teriak mulu!” sahut Julia sambil berbisik dan melotot. Wajar saja dia bilang begitu, sekarang hampir semua pasang mata menatap mereka. Kejadian salah orang sepertinya sudah cukup membuat Julia viral di Kawasan lobby hotel, ditambah bosnya marah-marah. “Emang kenapa sama baju saya, sih? Baju saya normal, warnanya juga cocok. Terus apa yang salah?” Julia memperhatikan penampilannya di layar HP. Arlo langsung memiringkan kepala seraya mendekat. Wajahnya yang menyeringai membuat Julia semakin tidak percaya diri. “Serius?” tanya Arlo yang semakin dekat wajahnya dengan wajah Julia. Sampai akhirnya tangan Arlo memeluk tubuh Julia dengan erat dan membuat tubuhnya tak berjarak dengan tubuh Julia. “Sorry tentang yang tadi. Istri saya sedang tidak enak badan, jadi saya harus tegas kepadanya. Kalian bisa melanjutkan kegiatan kalian,” kata Arlo dengan santainya. ‘Kurang asem! Beraninya bilang aku istri. Ke mana perginya otak dia?’ Setelah semua beraktivitas lagi, Julia pun ingin melepaskan dirinya. Namun, cengkeraman Arlo sepertinya menahan untuk tetap berada seperti itu. “Lekuk tubuhmu sangat terlihat! Klien bisa nafsu jika memakai kemeja yang seperti ini dan saya tidak suka akan hal itu. Sekarang pergi ke atas dan gunakan blazer untuk menutupinya!” Suara rendah milik Arlo membuat Julia terdiam. Seolah terhipnotis oleh hal itu. Arlo pun melepaskan Julia. Dia kembali tersenyum dan menghilangkan seringai di mata. “Paham maksud saya?” . . Setelah drama yang terjadi, tibalah mereka di sebuah gedung yang menjadi tempat bertemu. Ruangan serba rapi itu sudah diisi oleh beberapa orang rekan bisnisnya Arlo, selebihnya oleh para pegawai di gedung yang sedang menyiapkan minuman. Arlo dan Julia duduk di tengah, di tempat seharusnya Arlo duduk, di bagian utama ruangan. Sebagai penyuntik dana terbesar dalam bisnis kali ini, Arlo sangat dihargai dalam pertemuan ini. Tersisa tiga kursi yang sedang ditunggu kehadirannya. “Selamat siang, rekan-rekan semua,” ucap seorang yang masuk ke ruangan. Diikuti oleh pria tinggi dengan pakaian rapi dan berwajah tegas. Saat itu juga mata Julia tidak berkedip untuk beberapa saat. Sosok yang telah lama dia rindukan, calon suaminya. Orang yang telah menghilang dari kehidupan yang pernah berjanji untuk menikah dengannya. Arlo pun menoleh dengan senyum yang merekah. Dia menganggukan kepala dengan tatapan yang seolah mengatakan, “lihat! Saya bisa mempertemukan kamu dengan Reihan, kan?” “Apa maksud Anda mempertemukan saya dengan dia?” tanya Julia yang mulai geram. Julia sudah ingin melupakan Reihan, tetapi kali ini justru dia dipertemukan dengan pria itu lagi. . . Setelah pertemuan selesai, Julia dan Arlo berjalan keluar ruangan. Padahal Julia sangat ingin berbicara dengan Reihan, kekasihnya. Dia ingin mengutarakan kalau selama ini dia rindu, tetapi egonya mendominasi dan ingin mengucapkan kalau dia benci. “Tidak perlu bertemu dengan dia, Li! Dia telah mengkhianatimu lebih dari enam bulan,” kata Arlo yang terus menggandeng Julia pergi dari ruangan. “Di-dia tetap calon suami saya, Pak. Saya menerima tunangannya dan seharusnya saya mendengarkan apa yang dia bicarakan,” kata Julia menjawab. Tetap saja Arlo mengabaikan perkataan Julia. “Diam dan ikut saya!” Dalam keadaan yang tidak begitu berdesakan, Julia dapat merasakan tangannya yang satu lagi dipegang oleh seseorang. Grep! “Julia!” Reihan menarik lengan putih mulus itu dengan lembut dan membuat Arlo geram. “Lepaskan tangan itu!” ancam Arlo dengan wajah marahnya. Rahangnya sangat tegas dan membuat Julia ngeri untuk melihatnya. “Saya ingin berbicara dengan Julia, Ar … Pak Arlo,” katanya yang sempat kelepasan memanggil Arlo dengan panggilan biasa. “Saya tidak memberikan izin apapun untuk Anda dan karyawan saya. Saat ini saya sedang ada urusan yang sangat penting. Lepaskan tanganmu dan jangan ganggu urusan saya! Atau akan ada urusan baru antara perusahaan saya dan perusahaan kecilmu itu!” tegas Arlo dengan mata yang melotot. Julia kembali ditarik oleh Arlo untuk pergi dari sana. Perempuan itu sempat menoleh dan melihat kalau Reihan menunggu kehadirannya untuk berbalik. Sayangnya, Julia tetap mengikuti kemana Arlo membawanya. . . Sesampainya di mobil, Arlo masih saja terlihat marah. Sehingga Julia di kursi belakang merasa serba salah. “Sekarang kita harus kemana, Pak? Saya belum dapat jadwal terbaru,” kata Julia yang hendak memecahkan keheningan. Arlo tetaplah Arlo, seorang pria yang sangat Julia ingat bagaimana reaksinya ketika mendapati sebuah kejadian tidak menyenangkan. Arlo akan diam dan tidak mengatakan apa-apa, seolah dunia tidak ada untuk dirinya saat ini. “Pak?” tanya Julia sekali lagi. Pria itu kemudian menjalankan mobilnya dengan kecepatan yang sangat tinggi. Tidak ada pembicaraan apa-apa di antara mereka, tetapi Julia tetap yakin kalau Arlo sedang emosi. “Padahal saya nggak minta untuk ditemuin saya Reihan. Kenapa Bapak yang kesal?” tanya Julia lagi. “Kamu diam sebelum saya tinggalkan kamu di tepi jalan!” jawabnya. Julia bukan tipe cewek yang takut dengan ancaman. Apalagi dia lebih berpengalaman dengan Arlo saat zaman SMA. “Maksudnya Bapak ingin ninggalin saya di sini? Ya sudah berhentiin mobil sekarang! Saya bisa balik sendiri!” sahut Julia yang ikut-ikutan emosi. Mobil pun berhenti di tepian jalan, Arlo menginjam pedal rem sangat dalam. Julia pun terpental sedikit ke depan karena saking pakemnya rem mobil. “Dasar cowok nggak punya hati!” pekiknya sangat nyaring. “Sana pergi!” titah Arlo. Matanya menajam, membuat Julia bergidik ngeri. “Buktikan kalau kamu memang benar bisa pulang sendirian!” “Oke!” pekik Julia sekali lagi. . . Julia pun keluar dari mobil dan berjalan kea rah halte. Dirinya yang sedang emosi terlihat dari bahunya yang naik-turun. “Dia yang buat ketemuan, dia sendiri yang marah-marah. Apa hubungannya ama aku?!” Sesampainya di halte, Julia pun duduk di sana. Matanya menatap jalanan yang sedang ramai. “Aku buktiin kalau aku bisa pulang sendiri!” ucapnya sekali lagi. Sambil tangannya mengetik sesuati di ponsel. Nama Reihan terpampang di sana. Dia sentuh tombol panggilan karena ingin rasanya dia menghubungi Reihan. “Maaf buat yang barusan.” Berbeda dari biasanya. Reihan kali ini mengangkat panggilannya, padahal sejak enam bulan lalu, Reihan selalu mengabaikan bahkan menolaknya. “Nggak perlu penjelasan apapun! Aku udah tau apa yang mau kamu omongin. Lebih baik kamu simpan semua penjelasan itu untuk lain kali kalau kita bertemu … dan kalau saya ingin ketemu juga,” tambahnya lagi. Setelah itu, Julia menutup panggilannya dengan Reihan. Perasaan sedih sekaligus kesal bercampur dan membuat perempuan itu menunduk. Dia mencoba untuk mengatur napas agar kekesalan dan kesedihannya berkurang sedikit. Hasilnya justru kebalikan. Lalu kemudian panas matahari seolah dihalangin oleh seorang pria. Dia menoleh dan melihat pria itu dengan paying yang ada di tangannya. Senyumnya merekah sedikit lalu pria itu juga tersenyum. “Pulang!” ucapnya.

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN