Aku memandang alamat yang tertera di tembok luar gerbang. 'Padahal rumah ini sesuai dengan alamat yang diberikan Romi padaku.'
Ada apa sih ini? Aku merasa jengkel sendiri.
"Roy, kita pulang dulu deh," ajakku lalu berpamitan pada kedua satpam rumah besar itu.
Roy terdiam dan justru melihat berkeliling ke sekitar rumah.
"Kamu kenapa? Kamu kenal kawasan ini?" tanyaku heran.
Roy mengangguk. "Dulu waktu kecil, aku beberapa kali diajak ke sini. Benar. Ini tempatnya. Di sebelah kiri rumah ini ada warung Padang, di sebelah kanan ada lapangan futsal. Rumahnya di pinggir jalan raya besar. Ini rumah pak Adi! Teman papa yang udah meninggal!" Roy berseru lirih di telingaku.
"Kamu yakin?" tanyaku menarik lengan Roy untuk segera masuk ke dalam mobil.
Roy menurut dan dia pun menghidupkan mesin mobil dan melajukannya membelah jalan raya.
Aku berpikir keras. "Roy, kamu mau nggak bekerja sama denganku?"
"Bekerja sama dalam hal apa? Bekerja sama membuat buku nikah?" tanya Roy sambil tersenyum.
"Eh kamu kok sekarang ikut-ikutan si Romi sih? Aneh tahu, di sana digombali. Di sini denger kamu nggombal juga!" seruku manyun.
"Ya sudah. Oke. Apapun akan aku lakukan untuk mbak Yulia yang paling cantik sedunia. Tapi bukan dunia yang aku tinggali."
"Astaga Roy! Awas kamu kalau aclak seperti si Romi! Aku jamin kamu akan kucoret dari daftar saudara sepupuku," ancamku.
Mendadak tampang Roy menjadi serius. "Baiklah. Apa yang bisa kubantu Mbak?"
"Begini Roy, coba kamu tanya ke Om Andri siapa nama anak Om Adi dan alamat pastinya, nanti kita cocokkan dengan biodata yang kudapat dari status Romi. Mau kan?" tanyaku memandangi Roy penuh harap.
Roy berpikir sejenak. "Boleh. Tapi nggak gratis."
Aku mendelik. "Kamu mata duitan juga Roy. Bukannya gaji dan tunjanganmu lebih banyak dari aku?" Aku menyedekapkan kedua tangan di depan d**a.
"Aku nggak minta duit kok Mbak."
"Terus, kamu minta apa?!"
"Dua hari lagi saat mbak libur dines, jalan-jalan sama aku yuk."
Aku segera setuju tanpa memikirkan apapun. "Deal! Kemana?"
"Nanti aku pikirkan tempatnya. Yang penting kamu setuju dulu, Mbak."
"Ya sudah, kalau begitu, aku perlu besok ya jawabannya."
***
"Kamu lagi lihat apa, Rom?" tanyaku setelah mengantar pasien pulang dan berkeliling memastikan semua pasien masuk ke kamar masing-masing untuk tidur malam.
Aku menghampiri Romi yang tengah termangu menatap langit malam ini yang cerah dan memilih untuk duduk di kursi kayu di depan kamarnya.
Romi tersenyum. "Suster, tahu nggak perbedaan antara pensil warna dan Suster?" tanyanya seraya mengulurkan sebatang pensil yang dililit segulung kertas kecil.
'Surat lagi?'
Aku membatin. Lalu segera memasukkan pensil itu ke dalam saku baju.
"Nggak tahu. Emang apa bedanya?" tanyaku.
Romi tertawa. "Kalau pensil warna bisa mewarnai kertas gambar. Kalau Suster, bisa mewarnai hari-hariku," sahutnya cengengesan. Aku tertawa.
"Sus, jawab pertanyaan saya sekali lagi." Mendadak Romi berubah serius.
"Iya Rom. Apa pertanyaan yang harus kujawab?"
"Sebutkan tiga hal yang tidak dapat dihitung di dunia ini?"
Aku tersenyum. "Apa ya?! Rambut mungkin?"
Romi menggeleng. "Salah. Ih, gimana sih Sus, pertanyaan gampang kok gak bisa jawab. Jawabannya adalah satu, bintang di langit, dua ikan di lautan, dan tiga ...,"
Romi terdiam tapi cengirannya semakin lebar.
"Yang ketiga apa Rom?" tanyaku kepo.
"Yang ketiga adalah rasa cintaku padamu, Sus."
Aku tertawa. Semakin lama, aku rasa dia semakin manis.
"Sus, jangan seperti bintang jatuh yang ada di langit," katanya sambil menunjuk ke atas.
Aku mengerutkan dahi. "Maksudnya gimana ya Rom?"
"Iya, seperti bintang jatuh di langit. Datangnya cuma sesaat, tapi memberi harapan. Entah harapan untuk hidup bersama atau harapan palsu," katanya lagi.
Kali ini aku menyerah. Hatiku tiba-tiba berdebar kencang. "Udah ah. Segera tidur ya Rom. Aku mau kembali ke ruang perawat dulu."
Aku bergegas menjauh dari tempat duduk Romi. Antara khawatir dia akan mendengar jantungku yang berdebar kencang atau aku penasaran dengan isi surat yang dia tempel di pensilnya.
Melangkah perlahan menyusuri koridor rumah sakit menuju ruang perawat dan kubuka perlahan secarik kertas yang melekat di pensil pemberian Romi.
"Nomor HP?" gumamku heran saat melihat sederet angka pada kertas kecil itu. Nomor Hp siapa ini?
Dan aku segera memasukkan kertas dan pensilnya ke saku baju, saat aku sampai di depan ruang perawat.
Baru saja aku duduk di kursi ruang perawat, saat Dimas menghampiri. Melihat sikapnya yang biasa saja, sepertinya dia tidak menyadari kalau kemarin dia kuikuti.
"Kamu ceria banget, Yul hari ini," sapa Dimas tersenyum.
"Iyalah. Aku selalu bahagia kalau ada pasien sehat dan pulang. Itu artinya dia mempunyai kesempatan untuk melanjutkan masa depan lebih baik."
Dimas tersenyum. "Kamu baik, cantik, pinter, bodinya bagus. Kenapa pingin jadi suster di rumah sakit jiwa ini?" tanyanya sambil duduk berhadapan denganku. Sementara di hadapan kami tersekat oleh meja kayu dengan bermacam status pasien yang dirawat di rumah sakit itu.
'Dasar buaya! Udah punya gandengan, sekarang malah merayu aku. Tapi karena dia kemarin datang ke rumah Riana, tidak ada salahnya kalau aku mulai penyelidikan dari Dimas.'
"Mimpiku memang merawat pasien ODGJ, menemani sampai mereka sehat kembali dan bisa beraktivitas normal hingga mencapai masa depan mereka."
"Wah, keren banget kamu, Yul." Dimas memandangku tanpa berkedip. Dan suasana kembali senyap untuk sesaat karena aku memilih untuk melengkapi implementasi perawatan di status pasien daripada meladeni gombalannya seraya berpikir untuk menyelidikinya sampai sejauh mana keterlibatannya dalam kasus Romi.
"Dim," panggilku sambil menumpukan siku di meja kayu dan menyangga dagu dengan telapak tangan.
"Kamu muji-muji aku, enggak ada yang cemburu?" pancingku.
Dimas memandangiku. "Aku nggak punya pacar. Masih bebas. Mana ada orang yang mau sama aku, aku cuma perawat biasa, Yul."
'Kena loh play boy cap gombal. Tapi ada yang aneh. Apa kedua satpamnya tidak mengadu pada Riana dan Dimas tentang kedatanganku dan Roy kemarin?'
Aku menghela nafas. "Padahal kamu ganteng juga loh. Kaya pemain film Hans honsm*n. Masak belum punya cewek?"
Dimas tertawa.
"Aku nggak pernah tahu pemain film yang kamu bilang tadi, Yul. Tapi aku benar-benar nggak punya pacar. Kamu sendiri sudah punya pacar belum?" tanya Dimas antusias.
Aku menggeleng. "Banyak yang mau kenalan sama aku sebenarnya. Tapi mereka mundur saat bermain ke rumah dan melihat foto-foto serta berbagai macam penghargaan lomba karate," tukasku tertawa getir.
"Sesama jomblo, bagaimana kalau kamu carikan aku saja?" tanyanya.
"Hm, sure. Seperti apa tipemu?" tanyaku.
"Seperti kamu," sahutnya yakin.
Aku tertawa. "Bisa saja kamu, Dim. Kalau gitu, saat libur dinas besok, apa boleh aku bermain ke rumah kamu. Mungkin kenalan sama orang tua kamu."
Dimas tampak terkejut.
"Kenapa kok sepertinya kaget? Apa tidak boleh aku berkunjung ke rumahmu?" tanyaku dengan ekspresi wajah kecewa.
"Bukan. Bukan begitu. Kamu boleh saja berkunjung ke rumahku, tapi kedua orangtuaku sudah meninggal beberapa tahun yang lalu."
"Oh, maaf. Aku nggak tahu," sahutku penuh rasa sesal.
"Nggak apa-apa."
"Jadi kamu yatim piatu?"
Dimas mengangguk.
"Kamu pasti merasa sangat kehilangan."
"Iya, Yul. Sangat. Sejak SD aku ikut kakek dan nenek. Tapi aku bangga, karena nama mereka melekat padaku selamanya."
"Oh ya? Kalau boleh tahu, siapa nama orang tuamu?" tanyaku hati-hati.
"Namaku kan Adimas. Kepanjangan dari Adi, papaku dan Nimas, mamaku," tukasnya.
'Adi? Adi siapa maksudnya? Jangan-jangan Adi temannya Om Andri?'
Saat aku hendak membuka mulut, untuk menanyakan nama lengkap ayahnya, tiba-tiba ponsel Dimas berdering.
Dia menatap layar ponsel, lalu melirikku. "Aku terima telepon dulu ya."
Dimas berdiri dan melangkah menjauh meninggalkan aku sendiri di ruang perawat.
'Pasti telepon dari Riana,' tebakku. 'Ini kesempatan untukku mencari tahu tentang biodata Romi lebih lengkap.
Aku kembali membuka status Romi. Mencari tahu nama ayah, ibu kandung, atau alamat rumah di biodatanya.
Ini dia!
Nama lengkap Romi Alexander. Alamat rumahnya sama dengan alamat rumah yang Romi berikan padaku kemarin. Tidak tertulis nama ayah pada biodata. Hanya tertulis nama wali, yaitu ibu tirinya Riana.
Aku menghela nafas. "Nama Romi mirip dengan Dion Alexander. Kalau anak Om Adi bernama Dimas, dan Romi itu anaknya Om Dion Alexander, lalu hubungan Om Adi dan Om Dion apa ya?"
Aku membuka surat dari Romi lagi dan melihat sederet angka tertera di kertas itu.
Aku segera menekan layar di ponsel sesuai nomor Hp di kertas tersebut dan tanpa membuang waktu, aku segera menghubunginya.
Nada sambung pertama terdengar, lalu nada sambung berikutnya terganti oleh suara seorang laki-laki.
"Halo, ini siapa?"
Aku membuka mulut bersiap untuk menjawab, namun belum sempat berujar sepatah katapun, mendadak terdengar suara Dimas.
"Yulia Adisti, apa kamu kemarin ke rumah Bu Riana dan mencari tahu tentang pemilik rumah yang ditempatinya?" tanya Dimas tiba-tiba seraya masuk dari pintu ruang perawat.
Tangan kanannya meremas ponselnya dan tangan kirinya terkepal erat.
Aku yang sedang memegang ponsel, menurunkan benda pipih hitam itu dari telinga tanpa mematikannya terlebih dahulu.
"Jawab aku, Yul!" tuntutnya seraya duduk di depanku.
"Dim, aku ...