Selama beberapa hari Udin tidak pulang ke rumahnya dan tidak memberi kabar kepada kedua kakaknya. Ia juga berpesan kepada keempat sahabatnya agar jangan mengatakan di mana ia berada. Ia hanya merasa perlu menjauh dari orang-orang terdekatnya, untuk mencegah amarahnya meledak. Udin merasa perlu untuk mendinginkan emosinya demi menghindari ke luarnya kata-kata bernada penuh kemarahan.
Rachel dan Maryam sangat kebingungan mencari keberadaan Udin. Keduanya khawatir kalau Udin sakitnya bertambah parah dan tidak ada keluarga berada di sampingnya. Ingin mengabarkan kepada ayah mereka mengenai hilangnya Udin, mereka malas, yang ada nanti hanya akan menambah masalah saja. Rachel dan Maryam sepakat kalau mereka berdua akan mengatasi semua masalah mereka bertiga saja tanpa melibatkan kedua orang tua mereka yang hanya akan berujung pada perkelahian diantara kedua orang tuanya.
Rachel dan Maryam bertanya kepada sahabat-sahabat Udin, akan tetapi mereka semua bersikukuh tidak mengetahui di mana keberadaan Udin. Hal itu membuat kedua kakak Udin semakin kebingungan dibuatnya, mereka sangat menyayangi Udin. Jarak umur diantara ketiganya yang terpaut tidak jauh membuat mereka menjadi dekat dan akrab.
Hingga akhirnya tepat dua minggu setelah Udin menghilang secara tiba-tiba. Di depan kediaman mereka berhenti sebuah taksi online dan ke luarlah penumpangnya dengan jalan yang masih sedikit tertatih.
Udin membuka pintu rumahnya dan berseru memanggil kedua kakaknya, kedatangan udin mendapat sambutan berupa teriakan kesenangan dan kekesalan, karena ulah Udin. Keduanya menjewer telinga Udin dengan main-main, “Kalau mau pergi itu bilang-bilang, jangan bikin khawatir kami berdua. Kami sangat khawatir, tahu. Kamu boleh marah dan kecewa dengan kedua orang tua kita, tetapi jangan kamu marah juga dengan kami berdua,” ucap Rachel sambil memeluk adiknya dengan rasa sayang.
Udin tersenyum lebar mendapat sambutan yang begitu menyenangkan dari kedua kakaknya, “Namanya juga orang kabur, masa bilang kalau kabur. Bukan kabur dong namanya, kalau lapor,” jawab Udin.
Maryam kembali memberikan jeweran di telinga Udin, “Kamu itu satu-satunya laki-laki di rumah ini. Jangan jadi anak yang cemen, anggap saja pertengkaran ayah dan ibu seperti pertengkaran kamu dengan teman kamu,” ucapnya.
“Hanya kamu laki-laki yang ada di rumah besar ini, kalau kami berdua diculik bagaimana?, apa kamu tidak khawatir atau takut kami diculik,” timpal Rachel.
“Wah, senangnya mengetahui kalau ternyata kehadiran Udin di rumah ini begitu dirindukan dan mempunyai peranan penting. Udin janji tidak akan kabur lagi, kemarin Udin hanya merasa perlu untuk menyendiri dan menjauh dari semua untuk mendinginkan kepala Udin yang rasanya mau meledak. Udin sayang dengan kak Rachel dan kak Maryam.”
Kedua kakaknya lalu mengajak Udin untuk makan siang, kebetulan sekali sudah lewat waktunya untuk makan siang dan ketiganya pun belum makan. Mereka makan nasi dengan sayu cah kangkung dan ayam goreng juga tahu, serta tempe sebagai pelengkap.
Ketiganya makan dengan lahap diselingi dengan percakapan diantara ketiganya. Mereka tidak mau lagi mengungkit apa yang sudah terjadi, mereka menganggap semua itu sudah tutup buku dan tidak perlu dibahas. Ketiganya sepakat, kalau mereka tidak akan memusingkan dan memikirkan lagi, apakah orang tua mereka akan kembali ataukah tidak sama sekali. Mereka sudah tidak perduli.
Esok paginya, Udin berangkat ke sekolah dengan diantar oleh kakaknya Maryam. Yang kebetulan arah ke kampusnya sejalur dengan ke sekolah Udin. Begitu mobil berhenti di gerbang sekolah SMA Tunas Bangsa, Maryam memperingatkan kepada Udin untuk tidak berkelahi.
Udin hanya mengedikkan bahunya menanggapi peringatan kakaknya, “Kalau mereka yang duluan memancing untuk mengajak berkelahi, aku harus melawan dong, Kak. Nanti dikira, seorang Udin pengecut. Tidaklah, kalau ada lawan yang menantang tentu saja akan kuterima, tapi aku tidak akan mencari masalah kalau tidak kepepet,” ucap Udin sambil berjalan dengan cepat, untuk menghindari dari omelan kakaknya.
Kedatangan Udin ke sekolah setelah dua minggu lamanya tidak masuk, tentu saja menarik perhatian banyak siswa lainnya. Terlebih lagi beredar kabar yang mengatakan kalau Udin kalah balapan dan ia harus menurut dengan perintah dari ketua Geng Scorpion.
Farid yang melihat kedatangan Udin dengan diantar oleh kakaknya, berseru mengejek Udin, “Pecundang kita akhirnya masuk ke sekolah juga. Jangan bilang kalau kamu takut untuk mengakui kekalahanmu.”
Udin mendengkus, senyum sinis tersungging di bibirnya, “Dengar ya, seorang Udin bukanlah seorang pengecut dan juga pecundang. Hanya seorang pecundang yang menghalalkan segala cara untuk memenangkan pertandingan. Kamu pikir aku tidak mengetahui kalau kau dengan sengaja memasang balok itu di tengah jalan dan kau juga sudah memerintahkan beberapa orang untuk memepet diriku dengan mendadak hingga membuatku terkejut. Kau harus khawatir, sebentar lagi polisi akan datang untuk membawamu ke rumah barumu,” ucap Udin.
Udin mengibaskan tangannya di depan wajah Farid, “”Seharusnya kalau ingin mencelakakan seorang Udin yang pintar ini, kau harus membuat strategi dan perhitungan yang matang. Aku sudah membuat laporan dan sebentar lagi…” Udin melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, “Lima atau sepuluh menit lagi mobil patroli polisi akan datang untuk menjemputmu.”
Farid dengan emosi menangkap tangan Udin dan menggenggamnya dengan sangat kuat, akan tetapi Udin tidak memperlihatkan raut wajah kesakitan. Padahal tangannya masih belum sembuh benar dari kecelakaan beberapa minggu yang lalu. Hanya saja Ia tidak mau membuat Farid merasa senang dengan melihatnya mengaduh kesakitan.
Pak Sapto yang kebetulan sedang berpatroli di sekeliling sekolah, melihat Udin dan Farid sedang bersitegang segera menghampiri keduanya. “Kalian lagi, kenapa kalian berdua ini tidak mau berbaikan, berkelahi terus. Sekarang apalagi masalahnya?” Tegur pak Sapto galak.
“Pagi, pak Sapto. Bapak tidak menanyakan bagaimana kabar saya, saya lama tidak masuk sekolah loh,” sapa Udin kepada pak Sapto.
“Eh, iya. Bagaimana kabarmu sekarang?, karena kamu sudah masuk kembali ke sekolah, bapak yakin kalau kamu baik-baik saja,” jawab pak Sapto.
“Ih, bapak tidak perhatian sama sekali. Mana bapak tidak pernah menjenguk saya, kok bapak berubah jadi cuek. Bapak sudah menemukan incaran baru, ya. Siswa yang sering bapak tegur, siapa pak orangnya?, Udin jadi kepo nih.”
Pak Sapto mendelikkan matanya ke arah Udin dan dipilinnya kumisnya yang hitam dan lebat. “Kamu itu, bapak hanya memperhatikan siswa yang melakukan pelanggaran dan mencoba untuk membuat mereka menjadi sadar akan kesalahan yang sudah mereka lakukan. Itu termasuk kamu, Udin!” ucap pak Sapto dengan kesal. “Kamu itu termasuk siswa yang mendapatkan perhatian dan pantauan, karena kamu terlalu sering membuat ulah di sekeolah.”
“Sekarang masuk kelas kalian, bapak tidak mau mendengar lagi kalian berkelahi.” Perintah pak Sapto mengusir Udin dan Farid untuk masuk ke dalam kelas mereka. Namun, belum lagi mereka beranjak sebuah mobil patroli polisi terlihat memasuki halaman sekolah.
Udin tersenyum penuh kemenangan menatap ke arah Farid, “Aduh, sepertinya ada yang mau kencing di celana, nih. Nanti, saat berada di dalam sana berdoa yang banyak ya, biar aku mau mencabut tuntutanku. Selamat bersenang-senang, Kuy!” Ledek Udin. Ia lalu beranjak masuk ke dalam kelasnya, meninggalkan Farid yang wajahnya sudah pucat ketakutan.
Udin mengurut tangannya yang tadi di genggam Farid dengan begitu keras. Tangannya terlihat berwarna merah, sambil menahan rasa sakit, Udin masuk ke dalam kelas dan duduk di kursinya yang berada di pojok ruangan. Udin memilih duduk di pojok, karena menurutnya itu tempat yang strategis untuk memantau pergerakan dari siswa lain yang akan menjadi target keisengannya. Juga untuk memantau perpindahan posisi guru dan situasi apakah aman atau tidak untuk tidur saat ulangan dan jam belajar.
Begitu udin duduk di bangkunya, Ryan datang menghampirinya, “Akhirnya, kau masuk sekolah juga. Kami pikir kamu betah menyendiri dan kami menduga kamu sedang bersemedi untuk memperoleh ilmu gaib.”
Pletak!, Udin memukul pundak Ryan dengan kencang, membuatnya mengaduh. “Jangan aneh-aneh, Kuy!. Mana mungkin aku bersemedi, ilmuku sudah sangat banyak,” seloroh Udin.
“Yup, ilmu mu sangat banyak. Ada ilmu ngeles, ilmu ngibul, ilmu menggoda guru, kok tidak ada yang baik ya semua ilmu mu, Kuy!”
Belum sempat Udin menjawab ucapan Ryan, dari arah pintu kelas muncul Luki dengan tergesa-gesa, “Gaes, ada berita heboh dan sebentar lagi akan menjadi berita viral. Farid di tangkap sama polisi, ini sepertinya berkaitan dengan kecelakaan yang menimpa Udin.”
“Aku sudah tahu dari tadi, kamu telat. Aku hanya akan memberikan pelajaran kepada Farid, biar dia selama beberapa hari merasakan dinginnya lantai rumah barunya dan juga terkurung di ruangan yang sempit. Setelah itu, barulah aku akan mencabut tuntutanku.” Terang Udin.
“Kamu keren, Kuy. Pasti Farid dan Gengnya akan jera untuk berurusan dengan kita lagi. Mereka tidak akan meremehkan dan bermain-main dengan kita, kalau tidak mau mendapatkan balasan yang lebih besar.,” ucap Andi.
Mereka kemudian duduk di bangkunya masing-masing dan tak lama kemudian bapak kepala sekolah memasuki kelas Udin. “Saepudin, kamu ikut dengan bapak ke kantor, ada hal yang mau bapak tanyakan.” Kemudian pak kadir, kepala sekolah Udin berjalan ke luar dari kelas XII IPA 2, kelas Udin.
“Gaes, aku ke kantor dulu, sepertinya tidak hanya pak Sapto saja yang kangen denganku. Pak Kadir juga ikutan kangen, baru juga aku sampai di sekolah sudah dipanggil menghadap,” ucap Udin.
Sahabat Udin memukul pundaknya, “Geer dipiara, kalau kamu dipanggil palingan juga kamu bakalan kena omeli,” timpal Andi.
“Kalian jangan kangen denganku, ya. Aku hanya sebentar kok dan pasti kembali,” canda Udin, sambil berjalan meninggalkan ruang kelasnya.
Keempat sahabatnya hanya bisa tersenyum saja melihat kelakuan Udin yang memiliki sifat narsis berlebih dan juga sifat cuek yang sangat besar, akan tetapi biar begitu Udin sangat setia kawan.
Begitu sampai di depan pintu ruangan kepala sekolah, Udin mengetuk pintunya dan langsung masuk, setelah dipersilahkan. Ia lalu duduk di hadapan pak Kadir, “Ada apa bapak memanggil saya, kangen ya pak?, lama saya tidak masuk sekolah ternyata bapak yang merindukan kehadiran saya.” Puji Udin kepada dirinya sendiri.
“Bapak tidak kangen dengan kamu, begitu juga dengan pak Sapto. Kalau pak Sapto, tidak ada kamu mungkin justru dia bersyukur, berkurang siswa yang harus ditanganinya, karena selalu membuat masalah.”
“Bapak minta kamu menjelaskan, apa yang terjadi antara kamu dengan Farid dan kenapa ia harus di bawa ke kantor polisi?”
“Antara saya dan Farid tidak ada hubungan apapun, pak. Swear deh pak. Loh, Farid di bawa ke kantor polisi, pak?, kok saya tidak tahu?, saya, ‘kan” Mau mengucapkan selamat menikmati hidup baru untuk Farid.”
Pak Kadir mengurut dadanya, menghadapi Udin dibutuhkan kesabaran ekstra, kalau tidak darah tingginya akan kambuh dan hal itu justru berdampak buruk untuknya. Pak Kadir menghela napasnya, dihitungnya sampai sepuluh dalam hati untuk meredakan emosinya yang akan meledak menghadapi Udin.
“Bukan itu maksud bapak, kamu jelaskan kepada bapak apa masalah yang terjadi diantara kalian berdua sampai melibatkan pihak kepolisian. Sekarang juga kamu jelaskan kepada bapak.”
“Oh, itu pak, biasa masalah anak muda, sama seperti bapak yang juga pernah muda. Santai aja, pak. Yang punya masalah, ‘kan” Saya sama Farid, bapak tidak usah kepo deh.”
Udin up datenya malam, ya!