Beberapa jam telah lewat, dan Casilda yang sudah menghabiskan satu kantong infus mulai terasa agak baikan.
Demamnya juga sudah agak mendingan setelah beberapa kali ganti plester kompres demam.
Karena perdebatannya dengan sang aktor beberapa saat lalu, yang bertugas merawat dan mengawasi Casilda adalah pelayan sebelumnya yang menolongnya.
“A-anda jangan bangun dulu, nona!” peringat sang pelayan, panik melihat Casilda bangun dari tidurnya dalam keadaan dipaksakan, infusi dicabut begitu saja.
“Aku sudah merasa baikan,” jelas Casilda dengan suara seraknya. Matanya sangat sepet, dan kepala terasa sedikit pusing gegara kelamaan tidur.
“Tolong jangan memaksakan diri Anda! Tuan muda pasti akan sangat marah!” jelasnya, lebih kepada dirinya sendiri karena takut kemarahan sang aktor membuatnya dipecat karena dicap tidak becus merawat orang sakit.
Casilda terdiam duduk di tepi ranjang, menatap setitik warna merah kental dari bekas jarum di tangannya. Perasaan ini sungguh sebuah de javu, lalu dengan suara seraknya kembali berkata, menatap sang pelayan dengan serius: “Di mana pria itu sekarang?”
“Eh?”
Sang pelayan tampak melongo bodoh mendengar pertanyaan itu.
***
“Masuk!” teriak Arkan dengan suara cuek ke arah pintu yang terbuka.
Casilda mendekat dan menampilkan dirinya, menatap sang aktor yang sedang baring di sebuah kursi panjang dengan mata terpejam, tampak menikmati musik instrumental sambil menikmati camilan buah dan minuman segar di ruangan yang sepertinya untuk bersantai dan membaca.
Karena tidak terdengar suara apa pun memasuki ruangan, Arkan yang tengah duduk santai dengan kaki diluruskan di sebuah kursi panjang, sedikit menegang dan segera membuka mata menoleh ke arah pintu.
Wajah aktor ini segera menjadi masam dan tidak enak dipandang.
“Sedang apa di sini?” tanyanya dingin dan tak bersahabat.
Hening.
Suara musik instrumental energik, tapi lembut menghiasi diamnya kedua orang itu.
Melihat Casilda yang sakit tiba-tiba muncul di depannya dengan wajah datar tak bisa ditebak, membuat Arkan kesal bukan main. Remot yang ada di dekatnya segera diraih, mematikan musik yang sedang bermain.
Pria ini segera memperbaiki duduknya, menatap galak kepada Casilda yang masih terdiam di depan pintu masuk.
“Kenapa diam saja? Apa yang kamu inginkan?” cerocos Arkan kesal, kening ditautkan jengkel.
Casilda terdiam cukup lama menatapnya tanpa kedip, baru membalasnya dengan suara serak yang lirih.
“Aku ingin minta izin keluar sebentar.”
Arkan membeku mendengarnya. Kedua matanya membesar menahan ketidakpercayaan dengan apa yang didengarnya barusan.
“Apa?” balasnya dengan raut wajah mengeras dalam sedetik, ada hawa dingin menakutkan terpancar dari tubuh sang aktor.
Ratu Casilda Wijaya tidak punya tenaga untuk meladeni amarahnya itu. Apalagi sang majikan barunya tersebut tampak tidak peduli apa pun yang dilakukannya sekarang.
Suara Casilda masih sama seraknya dengan sebelumnya, kali ini malah lebih lemah, “aku... hanya ingin ke rumah sakit sebentar mengurus beberapa keperluan operasi adikku yang akan dilakukan tidak lama lagi.”
Hening kembali.
Ekspresi Arkan tidak menunjukkan emosi apa pun, tapi kedua bola mata gelap menakutkan itu menatap Casilda dengan kekesalan luar biasa.
“Di saat sakit seperti ini, kamu masih saja berakting sampai akhir, huh?” ledeknya dengan nada pongah, terlihat mendengus meremehkan perkataan sang wanita.
“Kenapa? Sudah sangat tidak sabar ingin jual diri, dan dapat banyak uang kotor lagi?” lanjutnya dengan ekspresi penuh rasa jijik dan hina.
Casilda hanya diam saja tanpa ekspresi.
Dia sudah tahu dan sangat paham kalau aktor playboy itu sangat tidak berperasaan. Mungkin juga tidak punya otak untuk memikirkan keadaan orang lain, atau mungkin saja dia itu tipe pemalas yang tidak mau repot-repot mencari tahu kebenaran yang ada sampai dia dengan sesuka hatinya hanya bisa terus menuduhnya yang tidak-tidak.
Karena yakin sang aktor tidak akan memercayainya seperti apa pun membela diri, Casilda merasa tidak perlu menjelaskan lebih lanjut. Setidaknya sudah memberitahu alasan kenapa dia mau keluar sebentar hari ini.
“Jadi... apa aku boleh keluar sebentar saja? Aku tidak akan kabur. Semua barang-barang berhargaku ada di kamar di mansion ini. Hanya 2 jam saja. Boleh?” tanyanya dengan wajah memelas, nyaris tanpa emosi di wajah berpipi bakpao dan berkacamata tebal itu.
Arkan kontan saja tiba-tiba terdiam salah tingkah.
Gelagat si Gendut sangat aneh!
“Tidak boleh! Aku tidak mengizinkanmu keluar mansion dengan keadaan seperti itu. Orang-orang yang tahu kamu bekerja di bawahku, bisa saja membuat berita yang tidak menyenangkan dan merusak reputasiku.”
Casilda mendengus geli mendengar alasan pria itu, setengah mengejek.
Benar-benar egois!
“Heh! Memang kamu punya reputasi bagus apa? Playboy gatal begitu....”
“Apa katamu?!” seru Arkan kesal, seketika berdiri geram saat mendengar nada rendah meremehkan sang asisten pribadi.
Casilda menggeleng lemah, kemudian menatapnya lekat-lekat dengan wajah datar.
“Aku hanya meminta waktu 2 jam saja. Tidak lebih,” sang wanita terdiam sesaat, lalu melanjutkan dengan nada sedikit mengejek, “kmau tahu kenapa aku kemarin pergi tanpa izin darimu? Karena kamu sangatlah otoriter seperti ini. Pria tidak berperasaan yang hanya mementingkan diri sendiri.”
“DIAM!” bentak Arkan dingin dan gelap, gigi digertakkan kuat-kuat. Sangat kesal melihat ekspresi acuh tak acuh Casilda sambil mengatakan semua hal buruk itu kepadanya.
“HANYA 2 JAM!” potong Casilda cepat dan datar dengan suara tinggi, wajah setengah hampa tanpa ekspresi.
“Mohon dengan sangat, hanya 2 jam saja...” lanjut Casilda lagi, berjalan masuk ke ruangan lalu tiba-tiba berlutut di depan sang aktor.
Arkan syok hingga tertegun kaget.
“Aku tahu belum bisa melunasi hutangku itu, tapi tolong beri aku kelonggaran sebentar untuk mengurus operasi adikku. Setelahnya, aku akan menyelesaikan semua masalah di antara kita berdua.”
Casilda menjelaskan itu dengan kepala tertunduk menatap lantai. Tatapannya masih hampa dan setengah tak bersemangat.
Pikirannya melayang kepada banyak hal, dan napasnya masih terasa hangat. Sekujur tubuhnya rasanya seperti habis ditekan batu seperti diulek menggunakan cobekan batu.
Sejujurnya, dia sangat memaksakan dirinya untuk pergi ke rumah sakit. Tapi, dia tidak boleh menunda-nunda operasi adiknya hanya karena demam seperti ini! Tidak di saat dia sudah punya uang untuk mengatasinya!
Nadi di pelipis Arkan berdenyut kesal, bersedekap angkuh dalam pose berdiri miring. Terlihat keren dan sangat arogan di saat yang sama.
“Heh! Masih saja membahas soal adik imajinasimu itu? Apa kamu pikir aku bodoh? Jujur kepadaku, apa salahnya, hah, kalau dirimu itu sangat rakus dan tamak? Kamu itu tidak berharga sama sekali. Berhentilah sok suci di depanku, babi gendut.”
Casilda menaikkan pandangan hampanya kepada pria di depannya, lalu tersenyum rapuh, “bukankah kamu sudah datang ke rumahku 2 kali? Ah... berapa kali, ya? Aku tidak ingat...” ungkap Casilda pelan, berbicara kepada diri sendiri pada akhirnya.
Sang aktor mengerjapkan mata dengan tatapan setengah terbodoh melihat keanehan Casilda yang lain, hendak mengatakan sesuatu, tapi segera didahului oleh sang asisten pribadi dadakannya itu.
“Apa kamu sama sekali tidak bertanya kepada ibuku saat berbicara dengannya selama ini?”
“Apa?”
Arkan tercenung dalam diam.
“Apa kamu juga tidak melihat foto keluarga di ruang tamu kami?”
Casilda tiba-tiba terkikik pelan seperti mengejek diri sendiri, terlihat seperti sudah sinting, lalu melanjutkan dengan kepala tertunduk menatap lantai, “ah... benar juga. Aktor hebat sepertimu, mana sudi memasuki rumah bobrok kami, kan?”
Arkan terkesiap dingin di dalam hati. Baru menyadari sesuatu. Dia memang tidak sempat masuk ke dalam rumah wanita itu, hanya terus berada di teras selama ini saat datang ke sana.
Kenapa dia sama sekali tidak menanyakan hal itu kepada ibu Casilda?
Aktor ini juga bingung sendiri.
Merasa salah tingkah dengan perasaan bersalah aneh di hatinya.
Arkan hendak mengomentari hal itu, tapi lagi-lagi segera dipotong oleh Casilda.
“Sekalipun Tuan Arkan tidak percaya dengan alasan saya meminjam uang itu, tolong izinkan saya keluar sebentar hari ini. Anda tidak suka, bukan, jika saya melawan Anda lagi?”
“Apa kamu mengancamku?” sinis Arkan dingin, mata memicing tajam.
Casilda tersenyum ringkih dengan kepala miring, menatapnya sendu.
“Mengancam? Apa saya bisa mengancam Anda, Tuan Arkan?”
Kekesalan sang aktor semakin bertambah ketika wanita di lantai itu mulai berbicara formal kepadanya.
“Hanya sebentar saja. Kalau tidak percaya dengan operasi adik saya yang saya katakan selama ini, maka 2 jam hari ini, apa boleh saya menebusnya dengan uang?”
“Apa? Apa maksudmu?”
Arkan menautkan kening kesal.
“Izin keluar selama 2 jam itu akan saya bayar dengan harga yang Anda tawarkan. Bagaimana?”
Arkan kontan saja merasa gila mendengarnya. Bola matanya membesar murka, tapi menahan diri sekuat tenaga untuk tidak mengigit bibir lancangnya!
Berani sekali dia mengajukan syarat kepadanya! Memangnya dia itu siapa? Punya uang berapa dia, hah?
Dengusan meremehkan keluar dari bibir sang aktor.
Tidak peduli alasan Casilda mau keluar untuk apa, bukan itu lagi yang jadi prioritasnya, malah dia ingin sekali melihat sejauh mana wanita itu akan berulah lagi kali ini!
“Baik. Kalau kamu sanggup membayar 2 jam kebebasanmu dari mansion ini, aku akan mengizinkanmu keluar.”
Senyum lemah Casilda terentang lebar, membuat hati sang aktor berpilin jengkel luar biasa. Tapi, ekspresi itu tidak ditunjukkan secara jelas di hadapan sang wanita.
“Dua milyar.”
Hening.
“Apa kamu sanggup membayarku 2 milyar demi 2 jam yang kamu inginkan itu?” ucap Arkan dengan nada serius yang dalam, menatap Casilda dengan otot-otot wajah mengencang kejam.
Casilda ingin tertawa gila mendengarnya.
Namun, apa yang bisa diharapkannya dari pria tak berperasaan dan kejam itu?
Tidak ada!
Detik berikutnya, Casilda mengangguk pelan.
“Baik. Saya akan membayar 2 jam itu sebanyak 2 milyar. Tapi, berhubung dengan perjanjian 7 hari di antara kita, maka mungkin saya butuh sedikit perpanjangan waktu.”
Wanita berkepang satu dan berkacamata ini sudah sangat putus asa. Berhadapan dengan Arkan sang Top Star memang tidaklah mudah.
Karena berpikir sudah akan jual diri dan merasa sangat yakin dengan keputusannya, mungkin tidak begitu buruk jika melakukan transaksi ini dengan pria kejam di depannya.
Wajah Arkan meringis gelap, tidak suka dengan rasa percaya diri Casilda.
“Heh! Kamu pikir bisa membayar semua hutangmu itu dengan jual diri? Menarik. Aku akan menunggu semua hutangmu lunas menggunakan uang kotormu itu.”
Casilda terdiam, tidak menanggapi.
Sudah pilihan tepat untuk mendiami saja perkataan buruk sang aktor agar membuat ketegangan di antara mereka segera reda.
Walaupun dia nanti punya hutang 2 milyar, tapi asalkan hutang sebelumnya sudah lunas, bukankah dia tidak perlu terjerat dengan kontrak mereka? Juga tidak perlu bertemu dengannya, bukan?
Zaman sudah sangat canggih, tinggal transfer secara berkala pasti beres.
“Mohon Tuan Arkan jangan marah jika hutang 2 milyar itu akan saya cicil sedikit demi sedikit. Untuk konfirmasi, hutang 2 milyar itu, tidak akan ada bunganya, bukan? Saya tidak sedang meminjam uang, normalnya tidak akan terkena kompensasi.”
Wajah Arkan menggelap dan menunduk dengan sorot mata kejam, tapi tidak mengatakan apa pun menanggapinya.
Pria ini menahan diri sekuat tenaga untuk tidak menarik tubuh jeleknya itu ke atas ranjang dan mempermalukannya. Kedua kepalan tangannya mengencang hebat hingga buku-bukunya memutih.
Casilda benar-benar sangat lelah. Mentalnya rasanya sudah mencapai ke titik kehancuran. Melakukan transaksi seperti ini kepada Arkan, tidak lagi bisa dipikirkannya matang-matang.
Selain karena memang harus segera ke rumah sakit, dia tidak tahan jika harus satu rumah dengan pria itu saat ini.
Pikirannya benar-benar kacau dengan segala masalah yang diberikan oleh ayahnya.
“Diamnya Anda, saya mengartikannya sebagai persetujuan.”
Begitu mengakhiri ucapannya, Casilda mencoba bangun dari posisi berlututnya, tapi karena koordinasinya masih buruk gara-gara pusing dan sedikit masih demam, tubuhnya oleng dan hampir jatuh ke lantai.
Hati Arkan terkesiap dingin dan panik, tapi segera menyembunyikan sikap perhatiannya ketika Casilda berhasil berdiri tegap.
“Terima kasih. Sepulang dari rumah sakit, saya akan membuat surat hutang untuk 2 milyar itu beserta poin-poin pentingnya.”
Casilda menundukkan sopan, kemudian berbalik berjalan ke arah pintu keluar.
Arkan menggertakkan gigi, meringis kelam dengan perasaan jengkel.
Gerakan pria ini seolah hendak maju meraih tubuhnya yang lemah, tapi sifat gengsi aktor tampan kita ini sangat luar biasa sampai mengabaikan hati nuraninya.
“Cih! Mau jual diri, jual diri saja sana! Memang aku peduli dia jadi sekotor apa? Menjijikkan. Dasar tidak tahu diuntung! Perempuan murahan mata duitan!”
Makian itu, meski diucapkan berbisik halus, tapi ruangan ini sangatlah hening hingga punggung Casilda menjadi beku karena kaget mendengarnya.
Senyum di bibir wanita ini terentang miris, kepala tertunduk seiring bulu matanya merendah sedih.
Hah! Kalau dia tidak memojokkannya sampai seperti sekarang, memang dia akan jual diri apa? Konyol!
Dengan hati ditekadkan kuat, Casilda mempercepat langkahnya. Sorot matanya mengeras kesal, gigi digigit kuat-kuat dengan segala keputusan yang sudah dibulatkan di dalam hatinya.
Dia akan jual diri sampai pria itu puas melihatnya hancur!
Jangan sebut namanya Ratu Casilda Wijaya jika tidak bisa membuat pria itu bungkam melihat dirinya berhasil melayani ratusan pria kotor dan tak bermoral di luar sana!