Bab 92 Ancaman Penuh Kecemburuan

1531 Kata
Sang pelayan dengan gemetar panik, berlutut dan membalik tubuh Casilda. Tangannya dengan cepat memeriksa dahi perempuan bermata minus itu. “Ya, Tuhan! Panas begini! Kenapa Anda tidak minta bantuan kalau sedang demam?!” serunya serba salah. Buru-buru bergegas keluar, dan melapor kepada Arkan yang dengan santainya sedang menikmati sarapan paginya, gayanya begitu angkuh dan elegan. “Tuan! Tuan! Tuan muda!” “Ada apa? Kenapa berteriak?!” Napas sang pelayan terengah-engah, menahan dadanya dengan satu tangan, mata terpejam erat sembari menelan saliva kuat-kuat. “Nona! Nona Casilda!” terangnya, tangan kanan menunjuk cepat ke arah kamar sang asisten pribadi tuan mudanya. Dengan gerakan sekejap mata, wajah mengeras, Arkan berdiri dari kursi. “Ada apa dengannya?!” raungnya dengan suara tinggi menggelegar, berpikir kalau Casilda mungkin kabur lagi tanpa sepengetahuannya. Dasar si Gendut! Setelah memeriksa sendiri ke dalam kamar sang asisten pribadi spesialnya, Arkan keringat gelisah, bingung harus berbuat apa. Dia memang adalah lulusan dari universitas ternama dengan gelar dokter, tapi ilmunya itu sudah seperti air yang menguap di udara. Lebih tepatnya karatan! “Bawakan air es dan handuk kecil!” titahnya cepat sembari meraih tubuh Casilda ke dalam gendongan ala pengantin. Tentu saja bagi pria sehat dan sering berolahraga dengan tubuh aduhai itu, mengangkat Casilda lebih mudah daripada mengangkat karung beras. Ini bagaikan sebuah de javu olehnya. “Ba-baik, Tuan muda!” Sang pelayan bergegas ke dapur, hampir saja tersandung kaki sendiri karena kaget melihat ekspresi marah dan panik tidak biasa di wajah sang tuan muda. Arkan menatap Casilda yang bernapas pendek-pendek dengan mata terpejam. Kening sang aktor mengerut dalam. Demamnya benar-benar tinggi sampai digendong begini saja sudah merasa kalau bukan sedang menggendong manusia, melainkan batu yang dihangatkan. “Hei, Gendut. Kenapa kamu bisa sampai demam begini, hah?” koarnya marah tanpa belas kasih, tapi tentu saja sang wanita tidak membalas ucapannya. Nadi di pelipis sang aktor berdenyut kesal, langsung membaringkannya perlahan ke kasur tunggal di kamar tersebut. Pria yang tengah duduk di tepi ranjang itu, menatap cemas kepada Casilda yang tampak kepayahan oleh demam yang dialami. Wajahnya memerah dan napasnya seperti uap di udara berpendingin ruangan ini. Dalam benaknya, Arkan bertanya-tanya, apakah saking benci dan jijiknya kepada dirinya karena telah menciumnya semalam, maka dia langsung demam begini sebagai bentuk pertahanan tubuhnya? Apakah alam bawah sadar Casilda juga sangat membencinya? Sungguh mengesalkan jika benar adanya! Sang pelayan akhirnya datang dan membawa sebaskom air dingin, memberikannya hati-hati kepada sang majikan. Ketika matanya bertemu dengan pria tampan itu, sang pelayan berjengit kaget. “Kenapa masih di sini?” tegur Arkan kesal. “I-itu, tuan muda... a-anu...” balasnya dengan salah tingkah, menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Yah, dia kasihan kepada Casilda, sangat cemas majikannya besar kemungkinan akan menyiksanya meski dalam keadaan seperti ini, kan? Dia itu, kan, pria super kejam meski imagenya sebagai playboy nakal yang cool sertai digilai oleh banyak wanita! “Jangan berdiri saja di situ. Ambilkan ponselku di lantai dua. Cepat!” “Ba-baik, tuan muda!” Arkan mendengus kesal, lalu mulai memeras handuk untuk mengompres Casilda. Seharusnya dia menyediakan obat dan alat kompres demam untuk jaga-jaga menemui keadaan seperti ini. Kekesalan terbetik di hatinya, antara galau dan juga meradang melihat Casilda yang gelisah. Beberapa saat kemudian, sang aktor berganti pakaian dengan Casilda tetap berada di sebelahnya. Pria ini benar-benar tidak tahu malu dan sangat kepedean memamerkan tubuhnya yang polos, meski Casilda jelas-jelas sedang tertidur sambil mengerang kepayahan di dekatnya. Usai memakai pakaian training serba putih, sang aktor lalu menghubungi teman satu fakultas yang dulu pernah merawat Casilda. “Apa? Dia demam lagi? Bagaimana bisa ada orang yang demam berkali-kali dalam waktu satu bulan? Baiklah. Tunggu aku kalau begitu. Kamu masih tahu, kan, standar merawat orang sakit?” ucap sang dokter muda di seberang sana, sangat cemas Arkan berbuat hal konyol saking lamanya vakum dari dunia kedokteran. Arkan menggertakkan gigi kesal, sebelah kening bergerak-gerak menahan amarah, terdengar sedikit menggeram, “aku tidak sebodoh yang kamu pikirkan! CEPAT KEMARI!” Bentakan itu mengakhiri percakapan keduanya, dan mata sang aktor segera beralih ke arah Casilda. Ekspresi pria ini sangat sulit ditebak dengan sorot mata berdenyar misterius. *** Selama hampir satu jam, Arkan menunggu dengan gelisah di tepi ranjang. Dokter Ken yang sudah pernah menghadapi kepanikan sang aktor, memutuskan untuk mematikan ponselnya, dan berkata akan tiba di mansion pria itu sesuai janjinya. “Sialan! Ini sudah berapa lama? Kenapa dia belum juga tiba?” gerutunya jengkel, melirik Casilda yang kini sudah lebih mendingan tanpa erangan kepayahan dari bibirnya yang pecah-pecah. Kedua pipi sang aktor merona kecil, teringat kembali French Kiss rahasianya semalam, kepala kemudian digelengkan cepat-cepat. Mata dipejamkan kuat-kuat. Tidak! Tidak mungkin dia jatuh cinta kembali kepada wanita itu! Dia sudah tidak cantik! Buruk rupa begitu! Juga gendut seperti karung beras! Apanya yang menarik darinya? Arkan gregetan, tapi hatinya sekali lagi malah mengkhianatinya dengan sangat jelas: berdebar tidak karuan seperti genderang perang hingga naik ke gendang telinganya. Tangan kanan pria ini mengusap wajahnya kesal, lalu mengeraskan rahangnya kuat-kuat. “Tidak! Aku tidak mencintainya sama sekali! Menjijikkan! Dia hanya alat pelampiasan nafsuku semata! Media untuk balas dendam semata!” Saat Casilda masih tertidur di sisinya, ponsel sang wanita berbunyi. Pertanda sebuah panggilan masuk baru saja tiba. Arkan setengah mati mencari-cari asal sumber suara itu, dan susah payah ketika ponsel itu ditariknya dari sela-sela ranjang di sisi lain, terjepit di sana seperti harta karun tersembunyi. Pria ini bagaikan disambar petir di wajahnya. Melihat nama kontak yang ada di layar membuat kedua bola mata Arkan membesar kaget. “Klub Malam Golden Circle?” gumamnya berbisik kepada diri sendiri, tahu kalau itu adalah klub malam di mana dulunya dia hendak menjual Casilda kepada Elric. Dia pun menerima panggilan itu dengan kening bertaut kencang. “Halo?” sapanya tak ramah. “Loh? Arkan?” balas pria di seberang sana dengan tawa elegan dan menarik. Sedikit genit dan nakal. “Ada apa? Bagaimana kamu bisa mendapat nomor telepon wanita itu?” “Oh, maksudmu barang yang tidak jadi kamu jual itu? Pemilik ponsel yang kamu pegang saat ini?” “Namanya Casilda!” bentaknya marah tertahan. Elric tertawa kembali, terdengar main-main. “Ya. Ya. Baiklah. Namanya memang Casilda. Ratu Casilda Wijaya, bukan?” Entah kenapa keringat gelisah menjatuhi wajah sang aktor. “Kamu belum menjawab pertanyaanku. Bagaimana kamu bisa mendapatkan nomor ini?” Elric tertawa jahil dan nakal. “Tenang sedikit, tuan muda. Bukan aku yang mendapatkan nomornya pertama kali, tapi dialah lebih duluan yang menghubungiku. Kamu yang memberikan kartu klubku kepadanya, bukan? Sudah lupa?” Arkan syok dalam kekagetannya. Tiba-tiba teringat kejadian di pesta dulu, dan ancaman Casilda selama ini untuk jual diri. Belum lagi ucapan anehnya soal hidupnya yang akan hancur untuk membuatnya puas. Apa-apaan dia? Dia mau sejauh apa menantangnya, hah? Berani sekali dia berbuat sesuka hatinya seperti itu! “Halo?” tegur Elric yang menyadari di seberang sana tiba-tiba hening. Arkan mencengkeram kuat ponsel Casilda, mengencangkan alisnya menatap ke arah Casilda yang masih tertidur, “untuk apa dia menghubungimu? Kenapa kamu tidak mengatakan hal ini kepadaku lebih dulu?” Elric tertawa cuek, “tuan Arkan. Memang benar aku sudah mendapatkan uang atas kompensasi pembatalan barang yang kamu jual kepadaku. Tapi—” “NAMANYA CASILDA!” potong sang aktor dengan nada murka. “Iya. Iya. Baik. Namanya Casilda. Dengar. Aku tidak tahu kenapa dia tiba-tiba menghubungiku, maka dari itu aku langsung menghubunginya secara pribadi. Masalah ini belum aku beritahu kepadamu karena harus mencari tahu lebih dulu alasan dari wanita itu. Aku malah sempat berpikir kamu berubah pikiran untuk menjualnya kembali, makanya aku ingin memastikannya lebih dulu.” “Kalau hal sepele seperti itu, tinggal telepon aku, bisa, kan?” sinis Arkan kesal, matanya melotot marah ke arah Casilda yang masih terpejam di sebelahnya, seolah-olah dengan begitu Casilda yang sedang tertidur langsung tahu diri secara ajaib. “Arkan Quinn. Selama ini, hanya ada dua tipe orang yang menghubungiku dengan kartu itu. Pertama adalah orang yang akan memakai jasa spesial kami, dan kedua adalah orang yang akan menawarkan kerja sama alias menjual kesuciannya. Aku pikir, dia pasti bukanlah yang pertama, bukan? Kamu sudah menebusnya dengan harga yang cukup fantastis, membuatku bertanya-tanya, kenapa dia tiba-tiba menghubungiku seperti ini? Jika memang ingin jual diri, apa yang menjadi alasannya?” Nada suara malas-malasan dan meremehkan itu terdengar sangat menyebalkan di telinga Arkan. Nadi di pelipisnya berdenyut-denyut mau meledak. “Aku peringatkan, jangan ikut campur dalam urasanku dengan wanita itu. Aku sudah memberimu uang banyak. Sebaiknya menjauh kalau tidak mau bisnismu mendapat masalah.” Elric terbahak keras, meledek dengan nada dingin meremehkan terhadap ancaman sang aktor. “Arkan, kamu ini terlalu sombong. Kamu memang putra tunggal Grup Yamazaki, tapi kekuatanmu tidak sebesar itu. Jangan bercanda. Humormu sangat buruk. Ngomong-ngomong, di mana dia? Kenapa kamu yang mejawab ponselnya?” Nada riang dan penuh minat di akhir kalimat, membuat Arkan semakin memanas. Sok akrab sekali dia dengan Casilda! Bikin kesal saja! “Aku tekankan sekali lagi, jika ikut campur, jangan menyesal kalau sudah kuperingatkan sejak awal.” Arkan dengan dinginnya tidak menjawab pertanyaan Elric, malah tanpa peringatan memutuskan sambungan telepon dengan sangat kasar. Wajah sang aktor seketika menggelap bagaikan awan mendung. Wanita gendut itu benar-benar mau jual diri? Hah! Apa uang yang diberikan olehnya tidak cukup untuk memuaskan sifat tamak dan rakusnya?! Lihat saja kalau sudah bangun, dia akan memberinya pelajaran!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN