Bab 138 Kenyataan Pahit di Balik Pintu

2061 Kata
#WARNING: MENGANDUNG ADEGAN YANG MUNGKIN TIDAK MENYENANGKAN BAGI BEBERAPA PEMBACA …………… Keesokan harinya, Casilda terbangun saat hari sudah siang. Kedua matanya terasa sepet, badannya terasa hangat, dan sakit semua pada semua otot-ototnya. Saat Arkan memberinya hukuman kemarin, hal itu berlangsung sampai malam dan diselingi oleh suapan dari mulut sang aktor untuk dinikmati oleh Casilda sebagai makan malamnya. Apa yang terjadi setelah lewat magrib itu benar-benar bagaikan mimpi bagi wanita berpipi bakpao itu. Saat terbangun dari kasur, plester kompres demam terjatuh dari dahinya. Hati Casilda mencelos dingin hingga ke dasar samudra tergelap. Sejak bertemu dengan Arkan sang Top Star, entah sudah berapa kali dirinya jatuh demam seperti sekarang. Dalam hati, wanita ini mengakui ketahanan fisiknya yang selalu mendapat siksaan tiada tara darinya. Tapi, entah sampai kapan dia bisa bertahan, dan akhirnya masuk ke balik tanah yang dingin. Dengan suara dan agak sakit, Casilda berdeham mencari sesuatu untuk diminum. Di meja nakas di sebelahnya, terlihat dua botol air mineral, dan segera meraihnya untuk segera menyegarkan tenggorokan. “Oh... infus?” gumam Casilda dengan perasaan setengah melayang, masih belum sadar sepenuhnya dari rasa kantuk yang menyerangnya. Apalagi sakit kepala ringan yang dialaminya sekarang membuatnya sedikit merasa semua ini tidak nyata. Saat meneguk air mineral itu, bayangan kejadian semalam mampir di otaknya, dan air yang sempat masuk ke dalam mulutnya langsung menyembur begitu saja. “Astaga... semalam apa yang terjadi?” Arkan memang tidak melakukannya sampai akhir, tapi pria itu menyuapinya menggunakan mulutnya sendiri sampai camilan berupa kue dan biskuit habis sepenuhnya dari satu piring bulat besar. Di antara ingatannya itu, Casilda merasa dirinya juga memberikan Arkan suapan ke dalam mulutnya, lalu mengunyah bersama-sama sambil melakukan dansa bibir yang panas. Sekujur tubuh Casilda memerah hebat, menutupi wajahnya dengan satu tangan. Satu ingatannya yang entah mimpi atau kenyataan adalah ketika saus cokelat di piring besar itu dituangkan pada bagian berharga sang suami, dan mulai menikmatinya bagaikan sesuatu yang lumer di dalam mulutnya. “YA, AMPUN! ITU TIDAK MUNGKIN! MANA MUNGKIN AKU MELAKUKAN HAL RENDAH SEPERTI ITU DAN MENIKMATINYA?!” pekik Casilda kesal kepada diri sendiri, tangan kirinya segera digerak-gerakkan di atas kepalanya, menghapus bayangan semalam yang terus mengusik rasa malunya saat ini. Dengan menggertakkan gigi tidak percaya, Casilda meyakinkan dirinya sendiri dengan ekspresi kelam dan suram, nada suaranya berat dan depresi, “tidak! Itu tidak mungkin terjadi! Aku tidak mungkin melakukan hal semacam itu secara sukarela!” Begitu selesai berkata demikian, ingatan tentang Arkan sang Top Star yang tengah berlutut angkuh dan seksi mengungkung tubuhnya dengan pose handuk kimono yang terbuka penuh membingkai roti sobeknya, dan tangan satunya menuang cokelat ke bawah di depannya, langsung membuat otak wanita ini membeku syok. “Jilati semua sampai habis... lakukan dengan lembut, atau kamu habiskan semua biskuit pare itu tanpa sisa,” titah Arkan dingin kala itu, kepala mengedik angkuh ke arah lantai di mana terdapat satu set alat makan Tuan Luis yang sudah berisi segunung bubur dan biskuit hijau dengan bentuk aneh di sana. Casilda memang tidak begitu keberatan makan dan minum dari wadah kucing itu, toh, sudah dicuci bersih. Selama tinggal di mansion Arkan, dia juga makan dari wadah yang serupa saat pelayan membawakannya makanan. Tapi, biskuit pare itu benar-benar pahit sampai rasanya otaknya mau terbelah! Sejak Arkan pergi dan sibuk dengan pekerjaannya, biskuit pare itu minta diganti olehnya dengan sesuatu yang lebih ringan meski jatahnya harus dikurangi. Arkan sang Top Star tampaknya tahu kalau dia sudah bernegosiasi dengan pelayan hingga akhirnya menyiksanya semalam dengan pilihan yang sulit. Bulu kuduk Casilda merinding ngeri ketika teringat reaksinya yang setengah sadar dan mabuk oleh sensasi bercintanya dengan Arkan, langsung bangkit begitu saja meraih benda panjang dan lunak berhias saus cokelat itu, lalu menguasai sang suami sepenuhnya. “TIDAAAKKK!!!” pekiknya super keras, lalu segera menutup mulutnya sendiri. Saat melirik handuk kimono yang dikenakannya, Casilda baru ingat kalau semalam sepertinya mereka juga berendam bersama dalam bak mandi di kamar mandi sialan itu, dan Arkan sibuk memberinya kenyaman di bawah sana berkali-kali. Hati Casilda tenggelam hebat, wajahnya langsung memucat gelap. Tubuhnya jatuh lunglai tak berdaya pada tumpukan bantal empuk di sisinya. “Apa yang sebenarnya terjadi semalam? Kenapa aku tidak bisa ingat semua hal yang sudah terjadi? Apa aku terlalu larut dalam hukuman itu sampai mabuk kepayang? Atau karena semalam aku sudah demam dan tidak sadar melakukan apa?” gumam Casilda kepada diri sendiri, sorot matanya penuh dengan kecemasan dan kepanikan tertahan. Beberapa saat kemudian, pintu kamar terdengar terbuka. Casilda buru-buru pura-pura tidur dan menulikan kedua telinganya. “Jangan pura-pura tidur. Kamu pikir aku tidak tahu kamu sudah bangun dengan teriakanmu itu yang bikin semua orang ketakutan?!” maki Arkan kesal, menarik selimut yang menutupi tubuh istrinya. Casilda membuka sebelah matanya takut-takut, keringat gelisah menyadari aura sang suami tampaknya masih sama marahnya dengan kemarin siang. “Kalau sudah bangun, cepat mandi dan ganti baju. Setelah itu makan sarapanmu, dan minum obat. Hari ini kamu tidak boleh keluar kamar, di bawah ada banyak kru kameramen yang sedang bersiap untuk menyiapkan peralatan syuting.” Arkan dalam balutan pakaian rajut abu-abu lengan panjang dan agak kebesaran, mengoceh duduk di tepi ranjang seraya memeriksa infus Casilda yang tersisa sedikit. “Kamu masih demam? Sialan. Kamu yang suka demam seperti ini sudah seperti hobi saja. Apa sistem imun tubuhmu sangat buruk?” Casilda diam saja, menatapnya kesal. 'Semua itu gara-gara kamu, kan? Cermin, dong! Dasar pria tidak tahu diri!' batinnya dengan perasaan dongkol, tapi di luar hanya bisa memajukan mulutnya menatap sang suami melepas infus dari tangannya. Kening Arkan mengeryit tak puas, menatap Casilda dengan tatapan sulit ditebak. “Kamu tidak perlu mandi, lap saja dengan air hangat. Bisa, kan, melakukan itu sendirian? Di bawah, aku masih harus melanjutkan syuting.” 'Hah! Apa-apaan pria aneh ini? Setelah menyiksanya, lalu pura-pura peduli kepadanya? Siklusnya selalu saja begitu! Apa dia tidak capek?' batin Casilda lagi, menatap sang suami dengan tatapan datar tanpa kedip. “Kamu bisu? Apa semalam membuat rahangmu sakit juga?” tanya sang aktor dengan wajah tak enak dipandang. Mendengar itu, wajah Casilda memerah. “A-apa yang kamu katakan? Jangan bicara yang tidak jelas begitu!” Sudut bibir sang suami tertarik licik, “kenapa? Semalam kamu sangat menikmati cokelat hidupnya, bukan? Apa perlu aku membawa saus cokelat ke mana pun aku pergi mulai sekarang?” “Kamu bicara apa?! Aku tidak mengerti!” bentak Casilda menahan malu, sekujur tubuhnya memerah luar biasa. Melihat wajah baru bangun sang istri, ditambah wajahnya memerah malu-malu seperti itu, membuat jantung Arkan berdetak kencang, matanya segera melirik ke arah lain. “Jangan munafik. Semalam kamu malah meminta lebih,” koar Arkan kesal, berdiri dari duduknya, lalu menatapnya dingin. “Ingat, setelah membersihkan diri, jangan keluar dari kamar ini tanpa perintah dariku,” lanjut Arkan dengan wajah sedingin es, menyipit kesal kepada Casilda yang dinilai sok polos, tapi ternyata semalam dia malah seperti kucing kecil yang manja sibuk bermain dengan tongkat ajaibnya. Kesal melihat sikap Casilda yang sok tidak tahu apa yang terjadi semalam, dan tampak menghindari topik itu, Arkan segera melempar sebuah benda kecil bulat ke pangkuan Casilda. “Oleskan di bagian itu setelah dibersihkan baik-baik. Setelah syuting, aku akan memeriksanya langsung.” “DASAR MESUUUMMM!!!” teriak Casilda kesal. “Jangan berteriak, Gendut! Suaramu bisa kedengaran sampai ke bawah! Lagi pula, aku adalah seorang pria dari lulusan fakultas kedokteran, memeriksa tubuh pasien adalah hal biasa dan normal. Kamu jangan berpikir yang aneh-aneh setiap saat. Apa otakmu mengecil?” “KAU!” Casilda ingin sekali menggigit pria itu yang sudah berdiri di seberang ranjang. Tatapan dan suaranya sungguh menghina! “Ingat! Jangan keluar! Kalau kamu melanggarnya, yang kerepotan adalah dirimu sendiri. Sebaiknya kunci pintu kamarnya setelah aku keluar. Jangan buka kalau aku tidak meneleponmu, atau mendengar suaraku langsung.” Usai berkata demikian, Arkan berlalu meninggalkan ruangan. Casilda menatap setengah termenung kepada benda kecil bulat di tangannya. “Sebenarnya aku ini apa, sih, di matanya itu? Istrinya? Budaknya? Pembantunya? Atau alat pemuasnya semata?” gumam Casilda sedih, lalu perlahan menuruni ranjang, wajah meringis perih merasakan bagian pribadinya lecet dan pinggangnya serasa mau patah. Setelah mengunci pintu, dia pun masuk ke kamar mandi dan mulai membersihkan diri dengan air hangat. Sekalipun badannya masih terasa agak demam, tapi setelah mandi, suasana hatinya terasa lebih baik. Pendingin ruangan sepertinya sudah diatur ke suhu yang tepat. Padahal dulu tidak cocok untuknya. Di sofa terlihat satu set daster batik baru, diraihnya seraya melihat sebuah penutup saji di atas sebuah troli makanan. “Um? Ini untukku?” gumamnya kepada diri sendiri, merasa heran Arkan mau repot-repot memberikannya makanan sebagus itu. Ketika membuka tutup saji bening tersebut, air liur Casilda langsung menetes tak terkendali. Selera makannya memang agak berkurang gara-gara badan yang terasa hangat dan tubuh yang remuk, tapi ketika melihat sajian makanan ala Jepang itu, membuatnya langsung kalap duduk di sofa dan menikmatinya sampai bersih. Tidak peduli itu untuknya atau tidak. Yang penting makan saja dulu! Dia, kan, memang lapar dan tidak boleh keluar kamar. Sudah pasti tidak akan ada pelayan yang akan membawakan makanan untuknya, bukan? “Tumben memberiku makanan enak? Apa sindiranku kemarin membuat otaknya mulai sedikit berfungsi?” kekeh Casilda geli, menyeruput sup misonya dengan perasaan bahagia. Sudah lupa aksi saling memberi makan mereka tadi malam menggunakan mulut masing-masing. Tutup saji itu adalah alat canggih yang bisa memanaskan makanan. Jadi, semuanya terasa masih seolah baru disajikan kepadanya. Makanan hangat dan terasa gurih itu membuat suasana hatinya semakin bahagia, belum lagi di troli bertingkat itu ada potongan buah yang siap untuk disantap dalam berbagai jenis dan bentuk. Saat sudah mulai bosan berada di kamar, Casilda melakukan video call dengan ibunya dan mengecek keadaan sang adik. Satu jam kemudian, dia pun menonton acara komedi di layar TV super besar di dinding, tapi suaranya sengaja dikecilkan agar tidak kedengaran orang-orang di bawah. Casilda sudah memakai daster batik yang ditemukannya beberapa saat lalu, dan kini duduk melantai dengan kursi persegi unik yang menjadi sandarannya. Karena masih sedikit perih di bagian itu, satu bantal dipakainya sebagai alas duduk. Bosan menonton TV yang akhirnya dinilainya tidak menarik lagi, Casilda kembali naik ke atas ranjang king size sang aktor. Wangi tempat tidur itu sangat khas milik suaminya, tapi mau seperti apa pun Casilda bergelung dan menikmati wangi harumnya secara diam-diam, kamar ini tetap saja adalah penjara baginya. Tidak terbayangkan jika dia harus berada di kamar ini setiap hari, dan harus menuruti semua perintah sang aktor playboy. Mungkin saja dia bisa kurus kering gara-gara stres dan depresi! “Aku bosan...” gumam Casilda pelan, membuka mata menatap seprai putih di bawahnya. Bantal dipeluk kuat-kuat. Iseng karena penasaran, Casilda berjalan dengan wajah ragu-ragu menuju pintu. Tangannya hendak membuka pintu itu, tapi akhirnya hanya bisa menghela napas berat, lalu menempelkan telinganya pada permukaan pintu. Kening Casilda berkerut dalam. “Tidak kedengaran apa pun. Apa benar suara teriakanku tadi terdengar sampai ke bawah?” Semakin penasaran, Casilda akhirnya membulatkan tekad untuk mencuri dengar kegiatan di lantai satu. Sewaktu dia datang kali pertama di mansion ini, dia bisa mendengar suara ribut-ribut orang yang sedang syuting di bawah sana. Apa bedanya dengan sekarang, bukan? Sembari membuka sedikit pintu kamar, ponselnya diselipkan hati-hati untuk mengecek keadaan di luar melalui aplikasi kamera. Baru saja Casilda ingin menarik ponselnya karena merasa aman, dan berniat membuka pintu sedikit lebih luas untuk menguping, suara teriakan seorang pria mengagetkannya. “CUT! Ok! Sekarang kalian berdua duduk saling berdekatan dan terlihat mesra. Kalau perlu, peluklah Lisa dengan sangat romantis. Senyum lebih lebar lagi!” Casilda membeku. Suara itu sepertinya adalah suara seorang sutradara yang memberikan arahan kepada dua sosok terkenal dan bersinar di negeri ini. “Lisa sangat natural dan begitu anggun. Tidak ada masalah sama sekali. Tapi, sebaliknya! Tsk! Arkan, cobalah jangan memasang wajah kaku dan dingin seperti itu. Tidak perlu malu-malu memeluk tunangan sendiri di hadapan semua orang, bukan? Seluruh dunia juga sudah tahu kalau kalian berdua adalah pasangan yang sudah ditakdirkan oleh langit. Kalian adalah pasangan sempurna yang saling mencintai dan serasi. Tahun ini akan menikah, bukan? Kalau chemistry kalian kurang dapat seperti ini, semua orang bisa curiga ada yang tidak beres.” “Maafkan dia, Pak sutradara. Akhir-akhir ini, dia punya banyak jadwal pemotretan dan syuting luar biasa, makanya mungkin agak lelah di depan kamera. Iya, kan, sayang?” bujuk Lisa dengan suara samar-samar di bawah sana. Casilda segera menutup pintu, tidak mau mendengar jawaban Arkan. Tubuhnya jatuh terduduk ke lantai, kepala tertunduk sedih. Wajah muram dan kelam. Rasa sakit menusuk jantungnya bagaikan jarum es. Mereka akan segera menikah tahun ini? Lalu, bagaimana status tidak jelasnya dengan Arkan di masa depan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN