*** WARNING: RATE 21 PLUS ***
BIJAKLAH DALAM MEMBACA!
SEMUA INI HANYALAH IMAJINASI DAN KARANGAN AUTHOR.
YANG J E L E K DAN BURUK, JANGAN DITIRU!
MOHON MAAF ATAS KETIDAKNYAMANANNYA!
----------------------------------------------
Rencana Casilda untuk datang sekedar membahas jadwal jam kerja barunya, ternyata tidak berakhir seperti yang diniatkannya sejak awal.
Karena sebentar lagi memasuki akhir pekan, maka kedai ayam krispi tersebut mulai ramai didatangi oleh pengunjung. Terpaksalah dia turut bantu-bantu sebentar, karena pekerja baru yang diangkat oleh Bu Hamidah belum begitu ahli melayani pembeli dalam frekuensi tinggi.
Ryan, anak satu-satunya pemilik kedai, masih saja keluyuran entah ke mana. Hal itu membuat kedai benar-benar kekurangan tenaga.
Casilda sampai geleng-geleng kepala mendengar aksi Ryan yang sudah mirip anak yang sedang kabur dari rumah itu. Berharap saja dia tidak salah berteman!
Yang membuat Casilda sedikit kaget pada mulanya adalah dugaan kalau Bu Hamidah akan sangat keberatan jika dirinya menerima kerjaan baru dari Arkan. Rupanya, malah sebaliknya.
Keheranan Casilda akhirnya terjawab ketika suami aktor sialannya itu datang untuk melihatnya.
“Mari! Mari! Silakan masuk, Tuan Arkan! Sungguh beruntung Anda mau datang lagi ke kedai kami!” ujar Bu Hamidah bisik-bisik dengan wajah penuh senyum sok ramahnya, sangat sopan sampai membuat Casilda yang berdiri bersembunyi di depan pintu dapur mendengus sebal dibuatnya.
“Di mana Casilda?” tanya Arkan cepat.
Aktor yang sudah memakai topi dan kacamata, serta syal hitam ini untuk penyamarannya langsung mencari-cari keberadaan sosok sang istri.
Walaupun sang aktor sudah menyamar sedemikiran rupa, tapi pakaian mahalnya yang terlalu mencolok, membuat beberapa pengunjung memerhatikan ke arahnya.
Untungnya, sebagian pengunjung kedai sudah pergi beberapa menit lalu.
Bu Hamidah mengaturkan sebuah meja tak jauh dari dekat jendela, lalu segera saja sang aktor yang duduk di sudut, menoleh ke arah telunjuk wanita tua di depannya.
“Dia di sana, Tuan Arkan!”
Casilda terkejut!
Buru-buru menundukkan kepala memberi salam.
Suami sendiri, tapi rasa kayak majikan! Berengsek!
“Panggilkan dia,” titah Arkan dingin kepada Bu Hamidah.
Bu Hamidah terkekeh aneh sok ramah, “apa Tuan Arkan ada pesanan dulu, baru saya panggilkan Casilda? Saya tahu kalau dia sudah bekerja untuk Anda, tapi alangkah baiknya memesan makanan sambil menunggunya selesai bekerja, bukan?”
Melihat kedatangan Bu Hamidah ke arahnya, Casilda segera memperbaiki sikap.
“Ada apa? Dia bilang apa, Bu Hamidah?”
“Kamu siapkan ayam krispi satu keranjang ekstra besar dengan 1 mangkuk onion ring. Dia mau bicara denganmu soal urusan pekerjaan,” bisiknya dengan wajah antusias, lalu segera menggiring Casilda untuk diajak bicara sembunyi-sembunyi dan berbisik, “oh, ya, Casilda. Sekalian kamu bujuk dia, ya, buat jadi model poster baru untuk iklan kita. Mungkin, kalau kamu yang bicara, dia mau setuju begitu saja. Biasanya, kan, bos lebih suka mendengar ucapan karyawan kesukaan mereka. Kamu sepertinya kesukaan dia. Mau, ya? Nanti aku kasih bonus besar bulan ini!”
Casilda mendatarkan matanya mendengar hal itu.
Dia? Bicara dengan Arkan? Siapa dirinya ini sampai bisa membuatnya setuju dengan hal itu? Diri sendiri adalah istri yang tak dianggap, masih juga disuruh begitu?
Sungguh hal sia-sia yang sudah tahu akhirnya akan seperti apa!
Tidak lama kemudian, Casilda datang ke meja Arkan yang sibuk dengan ponselnya.
“Maaf. Ini pesanan Anda, Tuan,” ucap Casilda dingin dan datar.
Arkan segera menaikkan pandangan dengan hati diam-diam terlonjak antusias. Detik berikutnya, wajah memuram kelam.
“Duduk,” titahnya dingin.
Casilda menatapnya penuh permusuhan sesaat.
Baru saja disiksa olehnya, dan ditinggalkan begitu saja seperti tissu sekali pakai, sekarang menyuruhnya duduk di depannya. Otak pria ini mungkin lebih cocok disumbangkan ke badan amal ilmu pengetahuan. Mungkin saja, kan, lebih bermanfaat dengan memberikan hasil riset baru soal sikap aneh bin kejamnya itu?
Dasar psikopat!
“Aku bilang duduk!” geram Arkan kesal, menatapnya dingin dengan mata dipicingkan.
Casilda menghela napas berat.
“Ada apa ke mari?” tanya Casilda lebih dingin, duduk dengan sangat hati-hati karena masih merasa perih di bagian pribadinya.
Pria dengan kacamata hitam dan syal di depannya, menatap gerakan aneh Casilda dengan kening mengeryit dalam.
Apakah dia sangat super keterlaluan sampai sudah beberapa jam dia masih seperti itu?
Tidak!
Dia tidak boleh merasa bersalah!
Wanita di depannya ini memang genit dan penggoda! Kenapa harus kasihan kepada wanita semacam itu? Bukankah itu malah akan dinikmatinya sendiri diam-diam? Dasar munafik!
“Tuan Arkan? Ada apa Anda ke mari mencari saya?” tanya Casilda lagi, wajah masih datar dan malas melihatnya.
Untuk apa dia ke mari?
Sesaat, Arkan sendiri membatu bingung di balik kacamata dan syalnya yang menyembunyikan sebagian wajahnya, lalu berdeham sok dewasa.
“Kenapa? Aku tidak boleh datang ke mari untuk makan seperti yang lain?”
“...”
Casilda hanya menatapnya kesal, tidak menanggapinya.
Salah tingkah dengan tatapan dingin dan datar istrinya, Arkan segera membuka cepat kacamatanya, dan menarik turun syal dari wajahnya.
“Kamu adalah asistenku mulai sekarang, bukan? Walau aku memberimu izin bekerja kembali di tempat ini, bukan berarti kamu bisa mengabaikanku di saat bekerja di sini!”
“Saya tidak mengabaikan Anda, Tuan Arkan. Makanya dari tadi saya bertanya, ada apa Anda kemari mencari saya?” balas Casilda, masih dingin dan datar.
Hati Arkan seketika jungkir balik tidak karuan melihat sikap dingin sang istri.
Kenapa dia sampai begini? Mana taring wanita galak ini?
Apakah dia benar-benar membuatnya bungkam sewaktu di tangga tadi?
Bukankah dia juga sampai mencapai klimaksnya beberapa kali?
Itu artinya dia benar menikmatinya!
Kekesalan hadir di hati Arkan memikirkan sikap aneh Casilda, tapi begitu ingin marah dan melampiaskan kegundahannya, tiba-tiba saja sang aktor malah melembek dengan sikap sedikit canggung.
“A-aku... aku ingin makan ayam di sini! Apa salahnya makan di sini seperti yang lain?!”
“Saya tahu kalau Anda mungkin sangat suka ayam krispi di sini, Tuan Arkan. Tapi, bukankah Anda harus menjaga bentuk tubuh Anda? Kalau berat badan Anda naik, kelebihan lemak, tentu saja itu tidak baik bukan?”
Mendengar hal itu saat gigitan pertamanya, membuat Arkan kontan saja membatu syok!
Sialan! Gara-gara tidak tahu harus menjelaskan apa maksud kedatangannya ke mari, dia malah jadi seperti orang bodoh!
“Kalau tidak ada yang penting untuk dibahas. Silakan menikmati makanan Anda, Tuan Arkan. Saya masih harus melayani para pengunjung. Anda bisa memanggil siapa pun di sini jika membutuhkan sesuatu. Saya juga akan tetap ada di sini kalau Anda sudah ada keperluan penting untuk diberitahukan,” jelas Casilda dingin, kontan saja berdiri dari duduknya.
Menyadari Casilda sudah mau pergi meninggalkannya sendirian, Arkan yang sempat membatu dengan pose hendak menggigit ayam itu, segera saja menjadi terpicu untuk mengomel, tapi seketika saja mendadak berhenti ketika melihat tatapan setengah hampa Casilda yang mengarah pada layar TV di dinding.
“Liburan untuk bulan madu pasangan pengantin baru ke tempat ini adalah yang paling banyak tahun ini! Kalian juga bisa pergi ke Maldives atau ke Eropa sebagai tujuan utama berbulan madu! Bagi yang kasmaran dengan pasangan sah barunya, tidak ada salahnya memanjakan istri tercinta dengan membeli paket khusus dari kami! Bahkan ada yang termasuk tiket untuk masuk ke taman hiburan selama seharian penuh jika kalian berniat berbulan madu ke Korea dan Jepang!”
Iklan tur dan travel di layar TV terdengar sangat bersemangat dengan tampilan beberapa suasana dari beberapa negara. Membuat wajah Casilda semakin muram dan muram.
Arkan yang bisa menangkap sedikit isi hati Casilda, langsung menyindirnya dingin, “heh! Jangan harap ada bulan madu di dalam pernikahan ini. Memangnya sebuah alat pemuas punya hak meminta hal seperti itu kepada majikannya? Jadi istri haruslah patuh, jangan suka berkhayal ketinggian yang aneh-aneh.”
Casilda yang mendengar hal menusuk itu, seketika saja merasa hatinya dipotong. Sakit dan perih. Membeku dingin hingga tak berani berbalik kepada suaminya sesaat.
Dia tidak berharap untuk bulan madu dengan pria sialan seperti itu.
Casilda hanya menyayangkan kehidupan percintaannya akan setragis sekarang. Hampa dan tak ada artinya.
Ketika dulu dia masih punya pacar yang sangat dicintainya, Casilda bahkan sempat punya banyak ide untuk berbulan madu ke berbagai negara impiannya.
Sayangnya, semuanya hancur bagaikan bangunan yang terkena bom. Luluh lantak tak bersisa.
“Kak! Kalau kita menikah kelak, bagaimana kalau kita ke Paris saja? Bukankah di sana kota cinta? Aku ingin mengukir dan membuat kenangan indah di sana saat bulan madu kita nantinya!”
Ingatan Casilda mulai bermain beberapa tahun lalu, menampilkan sosok seorang pria tampan dengan wajah dan pembawaan dingin tersenyum di depannya, duduk di tepi sebuah meja tunggal di dekat jendela sebuah kelas.
Pria tampan itu tertawa dalam balutan seragam SMA, terlihat keren dan berwibawa sekali.
“Boleh. Asalkan itu permintaanmu, apa pun akan aku kabulkan, Ratuku.”
“Sungguh?!”
Sang pria dengan wajah dingin elegan dan berkarisma itu mengangguk dengan tatapan teduh penuh cinta kepada Casilda yang duduk di depannya. Puncak kepala sang wanita diusap penuh sayang, keduanya lalu tertawa bersama. Sangat bahagia, sangat lepas.
Kilasan ingatan itu tiba-tiba berhenti, membuat Casilda menunduk dengan wajah kelam dan kecewa berat.
Walaupun itu ingatan beberapa tahun lalu, tapi tajamnya melebihi pisau. Tidak sangka akan menyakiti hatinya detik ini. Padahal sudah susah payah dilupakan selama bertahun-tahun, tapi ternyata ingatan punya kehendaknya sendiri untuk muncul ke permukaan meski tak diinginkan.
“Hei, Gendut! Kamu bersikap merajuk begitu pun, tidak akan ada bulan madu di antara kita! Kalau adegan di tangga beberapa jam lalu, masih bisa aku pertimbangkan untukmu.”
Mendengar sindiran kejam diselingi dengusan penuh hina itu, membuat Casilda menoleh kesal menggertakkan gigi ke arahnya, mata melotot tajam.
“Siapa juga yang mau bulan madu denganmu, hah? Buang-buang waktuku saja! Lebih baik cari uang daripada harus menghabiskan waktu bersamamu!” desis Casilda malas dan dingin, suaranya sangat kecil dibandingkan suara berbisik Arkan, tapi tajamnya tembus ke jantung sang suami, membuat sang aktor membeku syok seperti ditampar!
Kesal mendengar ucapan Casilda, Arkan meremas ayam krispi di tangannya. Segera dengan tangan satunya meraih kasar satu tangan Casilda, dan menariknya langsung duduk ke pangkuannya!
Casilda syok!
“A-apa yang kamu lakukan?!” pekik Casilda marah, bingung dan kesal di saat yang sama begitu Arkan menahannya di pangkuannya sembari memeluknya dengan satu tangannya yang kokoh.
“Kenapa? Takut dilihat orang? Atau pura-pura saja menolak? Dasar genit!” sindir Arkan jahat.
Casilda segera menoleh ke arahnya dengan wajah panik, takut dilihat oleh siapa pun yang berada di dalam kedai itu, khususnya Bu Hamidah yang sibuk menghitung kotak pesanan di depan meja sana.
Wanita berkacamata tebal ini lalu berbisik lebih dalam dan serius, “apa kamu gila? Kalau ada yang melihatmu begini, bagaimana? Wajahmu tidak tertutupi baik meski sudah pakai topi! Lepaskan!”
Arkan mengabaikannya, malah melakukan gerakan tidak sopan di bawah sana dengan senyum liciknya, membuat Casilda segera membeku syok merasakan sesuatu yang menonjol dan keras. Keringat dingin langsung menghantamnya!
“Ja-jangan bilang kamu mau melakukannya di sini juga? Apa otakmu semesum itu, hah?” ledek Casilda dengan nada suara mendesis murka.
Meja yang diatur oleh bu Hamidah untuk Arkan memang terbilang berada di depan, tepat dekat jendela dan pas di bagian sudut ruangan. Tempat yang selalu menjadi incaran Abian Pratama setiap kali datang ke tempat itu.
“Hoh! Boleh juga! Kenapa tidak?” balas Arkan yang melihat sebuah kesempatan untuk melakukannya.
Tubuh Casilda semakin dingin, semakin sulit digerakkan!
Tangan kanan pria itu sudah masuk ke balik rok biru tua Casilda!
Sialan! Kenapa hari ini dia harus memakai rok?!
Tubuh membeku Casilda mulai gelisah parah, segera manahan tangan sang suami.
“Apa kamu benar-benar sudah gila?” maki Casilda berbisik kesal tak percaya.
Belum sempat Arkan membalasnya dengan wajah menggoda liciknya, dari arah pintu suara beberapa pengunjung setia kedai itu meledak keras di udara.
“Akhirnya kita bisa makan-makan dengan traktiran dari sang bos tersayang kita!” teriak seorang pria berkemeja putih khas orang kantoran, lalu disambut riuh rendah beberapa rekan kerjanya yang lain, langsung memilih meja kosong dan berteriak memanggil Bu Hamidah yang tersenyum-senyum lebar luar biasa.
Untungnya, dengan cepat Casilda lolos dari kekagetan Arkan sebelumnya, dan sang aktor segera menundukkan wajahnya di balik topi yang dikenakannya. Tapi, tangan kiri Casilda ditahan sedemikian rupa secara sembunyi-sembunyi, mencegahnya pergi.
“Lepas!” desis Casilda panik dan jengkel, sudah ada tanda-tanda Bu Hamidah akan menoleh ke arahnya untuk dipanggil.
Arkan yang menunduk, menolehkan kepalanya ke arah sang istri dengan wajah kesal yang disembunyikan dari para pengunjung lain, “duduk, atau aku akan memberimu hukuman malam ini melebihi di tangga darurat itu!”
Casilda membeku syok, segera ditarik oleh Arkan untuk duduk di dekatnya.
“Makan. Habiskan semua di atas meja,” titah sang suami dengan nada dingin kesalnya, wajah sudah ditutup lagi dengan syal dan kacamata hitam.
Casilda kontan menoleh kaget ke arahnya.
Apa? Dia menyuruhnya apa?
Dasar suami menyebalkan!