“Jangan pikir hal remeh begitu. Kamu lebih penting daripada kuliah kakak,dan hanya rumah sakit ini yang bisa menangani penyakitmu, Danish. Ckckck! Kamu ini! Lupa, ya, kalau kakakmu ini, kan, cuma lulusan ujian kesetaraan selevel SMA.
Sementara untuk kuliah lagi, otak kakak sekarang sudah tidak bisa fokus belajar. Lebih baik buang waktu cari uang daripada mengejar gelar yang paling-paling hanya dapat gaji tak seberapa dengan riwayat pendidikan yang tidak begitu bagus di kota besar seperti ini.”
“Kenapa kakak bilang begitu? Bukannya jika sudah punya gelar bisa dengan mudahnya dapat pekerjaan?”
Kening Danish mengenyit.
“Dasar anak polos....” gumamnya, mengelus gemas tangan sang adik, lalu menepuk-nepuknya ringan, "jika semudah yang kamu ucapkan, maka tidak akan ada yang namanya pengangguran yang bertambah setiap tahunnya. Dapat uang juga tidak mesti harus punya gelar tinggi, kan?”
“Kalau begitu, untuk apa aku juga sekolah? Gelarnya tidak berguna juga, kan? Aku akan bantu cari uang saja!” tuntut Danish kesal.
“Bicara apa!” tegurnya marah seraya memukul tangan Danish sedikit lebih keras, ekspresi Casilda terlihat murka, tapi suaranya tidak begitu keras.
Segera Casilda memotong sang adik yang hendak membalasnya.
“Masa depanmu lebih terang. Kamu adalah laki-laki, Danish! Gelar pendidikan itu sangat penting untuk seorang pria demi menunjang karirnya! Suatu hari nanti kamu akan menjadi kepala keluarga dari seorang perempuan! Naik jabatan, kan, lumayan? Gajinya pasti ikut besar juga.
Sedangkan kakak ini kalau sudah menikah sudah tidak butuh lagi gelar itu karena sudah ada suami yang bertanggungjawab, dan lagi karena kakak ikut ujian kesetaraan selevel SMA. Lebih sulit dapat pekerjaan bagus meski sudah kuliah juga. Kakak pasti dianggap enteng. Bekerja keras lebih dari 1 pekerjaan sudah menjadi kebiasaan kakak. Rasanya ada yang kurang kalau hanya mengandalkan satu sumber penghasilan uang saja. Kakak ini, kan, mata duitan. Hehehe.”
Danish tiba-tiba merengut sedih melihat senyum lebar Casilda di akhir kalimat.
“Begitu... tapi... kepala keluarga? Bagaimana bisa dengan kondisi tubuh seperti ini, Kak? Aku tidak mau menikah... hanya akan jadi beban pastinya,” lirih Danish, senyumnya terlihat pahit, kening ditautkan lemah.
“Jangan patah semangat!” seru Casilda cerah, memperbaiki selimut sang adik. “Masa depan tak ada yang tahu. Jika kamu sembuh, bukankah kakak akan lebih ringan lagi bekerjanya? Kamu bisa mendapat kisah percintaan yang manis seperti yang lainnya. Kakak ingin cepat-cepat punya adik ipar supaya bisa membantu mengurus ibu. Jadi, daripada mengeluh soal berhenti melakukan pengobatan, sebaiknya fokus untuk kembali sehat saja. Pikiran positif itu bagus untuk tubuh. Kakak minta satu hal itu padamu, Danish.”
“Kak... tapi...”
Danish memajukan mulutnya dengan perasaan lemas, rasa bersalah menggantung di hatinya.
“Sudah, sudah. Jangan bahas itu lagi. Lihat!” Casilda meraih sebuah kalengsusu kecil dari dalam tasnya, dan memperlihatkan isinya, “hari ini kakak dapat bonus banyak. Kalau setiap hari seperti ini, lumayan untuk menambal biaya pengobatanmu, kan? Ada orang yang memesan 50 kotak ayam krispi di kedai. Kamu tahu? Rumahnya seperti di drama-drama Korea itu, loh! Megah dan mewaaaah sekali! Saking bagusnya sampai dipakai untuk syuting film!”
Ucapan Casilda begitu berapi-api, tangan kanannya bergerak di atas kepalanya membentuk setengah lingkaran seperti pelangi. Kedua matanya berbinar terang.
Danish tertawa kecil melihatnya.
“Kakak ini, seperti tidak pernah kaya saja. Rumah kita, kan, dulunya juga besar dan mewah.”
“Hei! Itu, kan, kedua orang tua kita yang dulunya kaya. Sudah bertahun-tahun lalu. Lihat saja, ya! Aku pasti bisa membeli rumah seharga 2 milyar! Tapi, kamu harus sembuh dulu supaya bisa melihat kakak membeli rumah mewah dengan hasil keringat sendiri!”
Casilda berlagak dengan berkacak pinggang di kursinya, pembawaan bahasa tubuhnya penuh humor.
“Konyol sekali kakak ini! Hahaha!”
Mendengar kesombongan kakaknya yang penuh canda membuat Danish tak bisa menahan diri lebih lama lagi. Suara tawanya pecah memenuhi ruangan ketika Casilda membuat gerakan muka yang bermaksud melucu, menghibur sang adik.
Danish tertawa keras memegangi perutnya, kedua bahu berguncang hebat.
“Hei! Diamlah! Bukan kalian saja di ruangan ini!” tegur sebuah suara wanita di balik gorden pemisah di kamar rawat inap itu.
Keduanya saling pandang menutup mulut masing-masing, terkikik diam-diam.
***
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, kesibukan di kedai ayam krispi mulai berdansa memenuhi ruangan lebih cepat daripada biasanya.
“Casilda!” teriak Bu Hamidah, baru saja turun dari lantai dua yang sekaligus menjadi rumah pemilik kedai itu.
“Ya?!” balasnya tak kalah keras, melongokkan kepala melalui pintu masuk kedai.
Perempuan berkacamata tebal dan berkepang satu itu, baru saja selesai menyapu halaman depan kedai sebelum mereka kembali melayani pembeli pagi itu.
Casilda memaksa dirinya lebih giat agar tak terbebani pikiran 500 juta untuk adiknya. Jika pikirannya terganggu, maka pekerjaannya juga akan ikut terganggu.
“Bagus! Bagus! Semangatmu luar biasa! Eh! Kamu masih mau dapat bonus, tidak?” bujuk Bu Hamidah, berjalan keluar menuju pintu seraya memakai celemek merah bergambar ayam potong khas kedai mereka.
Casilda tersenyum lebar, segera menghentikan kegiatannya, menghambur masuk menghampiri perempuan tua itu.
Hari ini Casilda memakai celana jeans hitam dan kaos rajut orange tua lengan panjang yang sudah digulung sebatas lengan.
"Apa ada pesanan khusus lagi?" tanyanya penuh antusias, berharap kali ini lebih banyak dibandingkan kemarin.
"Kamu benar!" balasnya seraya melambaikan tangan, memberi kode untuk lebih dekat padanya, begitu ceria dan girang. "Apa kamu tahu kalau pemesan kemarin sangat puas dengan kedai kita?"
Casilda maju mendekat, memiringkan kepalanya, berpikir.
Sudah pasti itu bukan dari mansion neraka itu. Syukur tak ada keluhan yang datang kepadanya.
Untuk sesaat, Casilda melupakan masalah dengan sang aktor gara-gara biaya operasi adiknya.
"Kamu benar-benar punya rezeki yang bagus untuk kedai ini, Casilda! Tante senang sekali kamu bekerja di sini. Nanti, aku juga akan beri kamu 2 kotak ayam krispi yang baru saja dibuat. Bukan hanya ayam krispi sisa seperti biasanya."
Mendengar itu, Casilda hampir meneteskan air liur.
Semenjak kejadian kemarin di rumah sakit, dia tak bisa makan dengan baik karena kehilangan nafsu makan.
Ayam sisa jualan dari pemberian Bu Hamidah yang selalu diterimanya tiap hari, kadang dalam bentuk yang aneh-aneh. Jika tidak hangus, pasti rasanya tidak karuan, atau malah hampir basi, atau karena sudah terjatuh ke lantai, dan lain sebagainya. Pokoknya jarang sekali dalam bentuk yang baik dan bagus.
Jika ada orang yang mengetahui kelakuan Bu Hamidah kepadanya, pasti mereka langsung berpikir bahwa perempuan itu sedang menjadikan Casilda sebagai tempat sampah berjalannya.
Kenapa Casilda masih mau menerimanya?
Tentu saja karena itu sangat membantu keuangannya.
Makan ayam tiap hari itulah yang membuat tubuh Casilda perlahan semakin berisi semenjak kerja di sana.
Bukan hanya gara-gara pemberian harian Bu Hamidah, tapi juga karena di jam makan siangnya pun Casilda masih makan dengan ayam yang disiapkan oleh kedai itu.
Apakah dia bosan?
Tentu saja dirinya pasti bosan makan ayam krispi terus, maka sesekali menyiasatinya dengan berbagai resep percobaan. Bahkan, dengan cerdasnya, sesekali wanita ini menjualnya dengan setengah harga kepada tetangganya yang bersedia membeli, lalu dari hasil penjulannya, bisa membeli lauk yang lain. Kadang-kadang mereka hanya bertukar lauk saja sekedarnya.
Sayangnya, tak semua orang mau makan ayam setiap hari, jadi itu tak bisa sering dilakukannya juga.
Selain itu, jika Bu Hamidah tahu dia sudah memanfaatkan kemurahan hatinya dengan cara yang licik, bisa-bisa malah mendapat ide jualan baru dan berhenti memberinya makanan gratis setiap hari.
"Bos jangan ingkar janji, ya! 2 kotak ayam krispi baru!" ancamnya, memicingkan mata tajam.
"Tentu! Tentu! Itu adalah hal kecil! Yang penting kamu segera antar pesanannya. Sepertinya layananmu sangat bagus sampai dia memujimu di bagian komentar. Ratingnya juga 5 bintang, loh!"
"Benarkah? Baik hati sekali! Lalu, kapan saya harus mengantar pesanan itu, bos?"
Casilda mencuci tangannya di wastafel yang ada di dekat pintu masuk, sangat bersemangat untuk mulai bekerja lebih giat daripada sebelumnya.
"Nanti, sebelum jam makan siang. Maka dari itu, hari ini kita tidak melayani pembeli sampai siang nanti. Kamu bantu aku masak di dapur, ya?!"
"Beres, bos! Ke mana saya harus mengantar pesanan itu?" tanya Casilda polos, mengelap tangannya yang basah.
"Itu, loh, yang pesan kemarin, Casilda. Yang dari kawasan perumahan elit itu, Abian Pratama!"
Seolah tersambar petir, Casilda tertegun kuat di kedua kakinya.
"Kali ini, pria itu pesan 100 kotak! 100 kotak, loh! Aku sampai hampir mau pingsan!”
Eh?
100 kotak?
Harus ke mansion itu lagi?
Perasaan Casilda tiba-tiba saja memburuk.
Wajahnya sangat pucat.
Casilda tak mau kembali ke tempat itu, tapi sangat butuh uang saat ini dari semua kesempatan yang bisa diberikan kepadanya.
“Bagaimana? Bagus, kan? Untung aku tidak mengirim anak bandel itu kemarin! Hahaha!”
“Eh? Uhn,” balas Casilda dengan kepala dianggukkan canggung, menatap sang bos yang mulai tertawa puas.