Bulu mata Casilda bergerak-gerak pelan, perlahan matanya terbuka dengan pandangan kabur.
Sedikit pusing dan berbayang, tapi lama kelamaan dia pun melihat langit-langit indah dengan lampu modern yang unik.
Tangan kanannya meraba dahinya, ada yang menempel sejuk di sana. Ketika diraih, dia pun sedikit termenung dalam kebingungan.
Suasana di ruangan itu sangat hening.
Perasaannya rasanya sangat nyaman, lebih ringan dibandingkan sebelumnya.
Tangan kanannya dari tadi terasa seolah ada yang menarik-nariknya. Ketika dilihatnya lebih baik dan fokusnya dipusatkan, rupanya ada selang infus di sana.
Casilda memaksa dirinya bangun dari kasur empuk dengan bantal-bantal yang sangat nyaman di dekatnya. Ada wangi parfum menarik yang menggelitik hidung hingga membuat hatinya terasa tenang. Entah itu berasal dari tubuhnya yang sudah bersih, atau berasal dari kasur di bawahnya.
“Ini...” gumamnya berbisik pelan ketika matanya beredar ke sekeliling dengan tatapan berat dan bingung.
Casilda terdiam.
Bukankah ini kamar Arkan, aktor berengsek itu?
Kenapa dia ada di sini?
Teringat kembali kejadian yang menghina harga dirinya di pesta topeng kejam itu, ada rasa nyut menyengat hatinya.
Tangan kanannya mencengkeram jantung, wajah meringis pedih.
Selama sesaat, Casilda merasa dirinya tengah bermimpi tidur di kasur pria jahat itu, tapi setelah kesadaran pulih dengan baik dalam dirinya, dan mencubit pipinya keras-keras, dia yakin dia tidak sedang bermimpi.
Perasaan Casilda masih sedikit gamang dan mengawang.
Masih bingung kenapa dia berada di kamar pria sialan itu setelah disiksa habis-habisan.
Infus dicabut dengan pembawaan lemah, ada sedikit darah tertinggal di sana. Disekanya kulitnya yang terasa sakit menyengat, perlahan turun dari kasur. Tapi, sepertinya meski sudah merasa baikan, tenaganya masih belum pulih benar.
Casilda jatuh berlutut di tepi kasur dengan suara ‘bruk’ keras.
Kepala ditengadahkan ke segala arah, mencoba mencari-cari keberadaan manusia lain selain dirinya, tapi ruangan itu benar-benar sunyi dan hening. Sinar matahari sore masuk menyinari ruangan, membuatnya sedikit hangat meski ada penyejuk udara yang menyala.
“Ponsel.... di mana ponselku?” gumamnya pelan berbisik, masih terlihat lemas. Matanya mengarah ke atas nakas, tidak ada apa-apa di sana.
Casilda meraba baju yang dipakainya. Ini bukan bajunya. Kenapa bisa dipakainya begini? Jika dilihat baik-baik, ini seperti pakaian wanita hamil.
Casilda tidak sempat memikirkan soal bagaimana dia mengenakan pakaian aneh itu, dia hanya merangkak pelan dan lemah mengitari tempat tidur, bergegas ingin keluar dari tempat terkutuk yang sudah menjadi sumber kesialannya selama beberapa hari ini.
Mungkin ponselnya ada di mobil. Harusnya begitu. Pikirannya masih kacau dan tidak tertata.
Napas Casilda langsung berubah berat, kedua kaki dan tangannya benar-benar tidak punya kekuatan sedikit pun. Dia akhirnya tepar di depan set sofa putih persegi yang dulu menjadi tempatnya mengejar kucing orange tukang tipu milik Arkan.
“Haus...” gumamnya dengan mata terpejam lelah, baring terlentang di lantai dengan wajah mulai pucat.
Suara derap langkah kaki yang cepat terdengar mengarah padanya. Casilda tidak punya waktu atau pun sisa tenaga untuk membuka mata dan mengecek siapa yang datang. Masa bodoh, dia sangat lemas.
Mungkin karena sejak semalam dia tidak makan apa-apa. Infus yang diberikan padanya sama sekali tidak berguna.
“Kamu sedang apa di sini?”
Sebuah suara pria yang menggerung tinggi terdengar di atas Casilda.
Wanita itu hanya menggerak-gerakkan kepalanya dengan kening ditautkan lemah, tanda dia mengelak untuk menjawab pertanyaan itu.
Jika bisa, dia ingin langsung simsalabim berpindah tempat sekarang juga.
Tidak sudi berada lama-lama di tempat penuh kenangan buruk ini.
Apalagi mendengar suara terkutuk itu.
Sebuah suara ‘duk’ keras terdengar di sisi sang wanita, seperti ada yang tengah berlutut di sisinya.
Dahi Casilda mendapat sentuhan sebuah telapak tangan besar, mengecek suhu tubuhnya.
“Suhu tubuhmu sudah mendingan,” ucap suara itu, sedikit mulai terdengar tenang.
Casilda dengan mata sepet, mencoba menghalau tangan mengganggu itu, tidak suka dengan perlakuannya.
“Ayo, kamu pindah ke kasur dulu. Setelah itu makan dan minum obat,” titah Arkan dengan nada suara dingin dan tegas, mencoba membangunkan Casilda dari lantai.
“Lepaskan... jangan sentuh aku...” elak Casilda dengan suara serak dan lemah.
“Jangan keras kepala!”
“Lepas! Menjauh dariku!” teriaknya susah payah, nada suaranya marah, mendorong Arkan hingga punggungnya membentur kaki tempat tidur, napas wanita ini ngos-ngosan dengan kedua telapan tangan menapak di lantai.
Dengan susah payah, mata Casilda dipejamkan kuat-kuat, menelan ludah dengan kasarnya, bergumam kecil sendirian, “haus... aku sangat haus....”
Arkan menatapnya kesal.
Pria dalam lapisan baju training serba putih itu, baru saja akan mulai berolahraga sore hari di ruangan sebelah, tapi begitu mendengar suara benda jatuh di kamarnya, dia pun bergegas dan melihat wanita bodoh itu tergeletak bagai mayat di lantai kamar.
Dipikirnya, Casilda benar-benar sudah mati, tapi syukurlah hanya lemas tak bertenaga.
“Kamu lemas karena belum makan sejak semalam. Makan daging terus, perutmu pasti tidak nyaman, kan?”
Sepanjang dia menjaganya semalam, wanita ini beberapa kali muntah dalam jumlah besar. Perutnya pasti sudah kosong sekarang. Belum lagi saat muntah di acara sebelumnya.
Casilda tidak mau mendengarnya. Satu-satunya yang ada dipikirannya saat ini adalah dia ingin segera meninggalkan kamar itu dan mencari air di mobilnya.
“Aku bilang kembali ke tempat tidur!”
Arkan yang sudah berdiri, menatap kesal Casilda yang merangkak lemas di lantai, sangat jelas menuju arah pintu keluar.
Kening sudah mau meledak saking berkerutnya, pria ini langsung meraih satu lengan sang wanita dengan sangat kasar.
“Bangun!” bentaknya murka.
Mata Casilda yang sayu oleh perasaan lemas, tidak punya minat sama sekali meladeninya, dengan lemah mencoba mendorong tubuh pria itu menjauh darinya, tapi yang ada malah Arkan menariknya dari lantai penuh kekuatan, dan menghempaskan tubuhnya ke atas kasur.
Casilda mengerang lemah, bergelung seperti ulat kepanasan.
Pria ini sebenarnya mau apa?
Otaknya masih bagus mengingat semua acara kejam dan sadis yang sengaja diatur untuknya.
Apa dia mau menyiksanya sampai mati? Baru puas kalau begitu?
“Tetap di sana dan jangan ke mana-mana!”
Arkan hendak meninggalkan tempat itu memanggil pelayan untuk segera membawakan makanan, tapi langkah kakinya segera berhenti saat mendengar gumaman kacau Casilda yang terdengar frustasi.
“Haus... haus...”
Pria ini berbalik menatap wanita yang kini memakai dress krem muda khusus orang hamil, keningnya bertaut kencang.
“Kamu haus?” tanyanya dengan nada tidak yakin, mata melirik sebotol air di atas meja nakas.
Casilda tidak meresponnya, mengerang lemah dan tampak tidak nyaman di atas kasur, membentuk huruf C dengan kepala ditekuk dalam.
“Ayo, minum.”
Arkan duduk di tepi kasur, dan meraih botol tadi untuk meminumkan paksa pada sang wanita, tapi caranya sangat kasar dan tidak berperasaan membuat Casilda malah tersedak, dan airnya tumpah keluar mulut. Bajunya pun basah di mana-mana.
Arkan salah tingkah melihatnya, wajah dingin itu agak kesal tidak bisa mengendalikan sang wanita yang tampaknya masih belum punya tenaga penuh untuk menyeimbangkan tubuhnya.
“Sialan!”
Usai berkata demikian, menggigit gigi marah dengan perasaan berputar, air di botol tadi dimasukkan ke dalam mulutnya sendiri, lalu kepalanya menunduk mengarah pada wajah Casilda yang badannya sudah ditarik kuat ke atas pangkuannya.
Casilda syok, mata terbelalak tidak percaya. Kedua tangannya meronta lemas, mencoba mendorong tubuh pria itu darinya, tapi karena begitu kuat desakan sang pria, Casilda akhirnya kalah, dan kini tenggorokannya bergerak pelan menelan air minum yang berasal dari mulut sang aktor.
“Sudah tidak haus lagi, kan?”
Arkan menarik wajahnya dari wajah Casilda yang ditutupinya beberapa detik tadi, tampak tidak terganggu dengan apa yang baru saja dilakukannya kepada wanita dalam rangkulannya itu.
Casilda sedikit tersedak, sisa air yang dipaksa masuk ke mulutnya, meluber keluar membasahi bibirnya hingga turun ke dagu.
“Apa yang kamu lakukan?” geram Casilda lemah berbisik, suara nyaris hilang oleh serak yang kacau di tenggorokan, mencengkeram baju training Arkan dengan tangan kanan yang gemetar.
“Membantumu minum. Apa otakmu sekarang benar-benar sudah bodoh seperti seekor ayam?” ledeknya dengan dengusan menghina, punggung tangan mengelap mulutnya sendiri.
“Kamu menjijikkan! Lepaskan aku!”
Casilda kembali mencoba berontak, tapi tak berdaya dalam rangkulan Arkan. Pria itu benar-benar sangat kuat seperti seekor beruang!
“Menjijikkan? Apa kamu tidak ingat apa saja yang sudah kamu lakukan semalam, hah?” sindir Arkan dengan wajah dimajukan ke wajah sang wanita.
“Jangan dekat-dekat!” erang Casilda lemah, memalingkan wajahnya yang memerah, perpaduan antar marah dan malu.
“Jangan salah paham. Kamu sama sekali tidak istimewa bagiku. Aku sudah investasi kepadamu. Kalau kamu mati, aku bisa rugi ratusan juta,” terang Arkan dingin, wajah menggelap penuh hinaan dan rasa jijik. Tangan kirinya mencengkeram dagu sang wanita seolah akan menghancurkannya, sementara tangan satunya menariknya mendekat.
Ah, benar....
Dia sudah meminjam uang darinya dengan bunga yang tidak sedikit.
Apakah dia gagal untuk masuk ke klub malam itu untuk jual diri?