Dengan wajah cerah, Lisa berjalan ke arah meja yang penuh dengan makanan dan kue-kue manis yang terlihat lezat. Bersiap jika Arkan menginginkan sesuatu.
Sayangnya, suasana hati sang tunangan sama sekali tak membaik, dia menghempaskan dirinya pada sebuah sofa merah dan berbaring di sana, melipat tangan di dadanya dengan mata terpejam kesal. Ujung-ujung rambutnya melambai indah seiring tubuhnya bergerak mencari posisi terbaik, memberikan efek seksi mempesona yang membuat jantung Lisa berdetak kencang.
Pria tampan itu, walau sedang marah pun masih terlihat indah!
Wajah Lisa bersemu kecil.
“Arkan?”
Lisa berdiri dengan hati gugup, gugup oleh perasaan takut dan terpesona dengan pria berbahaya di depannya.
Baru kali ini sang supermodel melihat lelaki itu benar-benar tidak senang akan sesuatu. Insiden tadi sepertinya sudah menguji batas tertingginya.
“Jika kamu ingin sendiri dulu, aku akan keluar,” tuturnya halus, keningnya ditautkan lemah.
Lisa mencoba untuk memahami keadaan sang tunangan.
“Pikiranmu pasti sedang penuh, kan?”
Tunangannya tak membalas, terus saja diam, dan kini malah membalikkan diri memunggunginya dengan cara yang begitu dingin.
“...”
Lisa menunduk lesuh.
Dia tak tahu harus berkata apalagi untuk meredakan amarahnya. Perempuan ini baru mendapati sikap Arkan seperti itu, jadi sulit baginya untuk menanganinya.
Selama mereka berkenalan dan bertunangan, pria itu adalah pria yang tidak banyak mengeluh atau menolak pada apa yang dilakukannya sebagai kekasihnya.
Walau dia tahu bahwa tingkah liar Arkan jelas tak bisa dikendalikannya sendiri, tapi bersama pria itu saja sudah merupakan hal yang disyukurinya. Lisa tak ambil pusing jika harus ada banyak rumor mengenai Arkan dan banyak wanita, karena pada akhirnya, pria itu akan membuang mereka seperti sampah dan kembali kepadanya.
Itu terjadi bahkan sebelum mereka bertunangan, jadi dia menyimpan sedikit kepercayaan diri bahwa di mata Arkan dirinya tidak biasa, dan tentu saja istimewa hingga bisa berbagi apa saja dengannya. Tapi, sepertinya pikirannya itu salah.
“Baiklah. Kalau begitu aku keluar dulu. Jika ada yang ingin kamu bicarakan, cari saja aku. Tolong redakan emosimu itu, Arkan. Kamu tidak seperti dirimu saat ini. Ini bukan Arkan yang kukenal.”
Lisa berjalan meraih mantelnya di kursi dengan perasaan sedih, sangat kecewa. Kemudian, dia berjalan anggun dan tenang keluar ruangan.
Hening.
Bulu mata Arkan bergerak halus, melambai pelan ketika dia mengerjap-ngerjapkan kedua kelopak matanya.
Aneh.
Sebenarnya, dia tak begitu marah soal identitasnya yang dibongkar secara streaming, tapi malah lebih kesal melihat Abian sok dekat bersama Casilda.
Ada urusan apa dia dengan perempuan jelek itu? Bukankah tinggal menyerahkan pada kru saja jika menyangkut p********n pesanan mereka?
“Oh, dia ada di dalam. Suasana hatinya sangat buruk. Aku tidak bisa apa-apa menghadapinya,” suara Lisa terdengar dari arah pintu, tengah berbicara dengan seseorang.
“Apa? Aneh sekali. Ini baru pertama kali terjadi,” balas sebuah suara.
Pria berambut hitam legam yang tengah baring di sofa panjang tadi berbalik pelan menatap ke arah pintu. Rupanya pintunya tidak tertutup rapat hingga menyisakan celah kecil di sana.
“Aku rasa ini adalah guncangan hebat untuknya. Kita tahu kalau identitas Arkan sebagai penerus Grup Yamazaki adalah rahasia umum di dunia hiburan, tak ada yang berani membahasnya. Mungkin ini melukai harga dirinya yang sudah setengah mati membangun karir selama bertahun-tahun dari nol,” Lisa menghela napas berat.
“Ya. Kurasa mungkin begitu.”
Perbincangan dengan suara rendah itu masih didengarkan oleh Arkan dari dalam, menyimak kata-kata itu dengan wajah dingin sulit ditebak.
Di luar pintu, Ryan berusaha menarik Casilda menjauh dari kedua orang yang sibuk berbicara serius itu, tapi Abian dengan jelas menahan sebelah tangan Casilda.
Ini membuat Ryan menatapnya tajam.
“Mau ke mana? Bukankah kita akan pergi makan?” tegur Abian lembut.
Di balik pintu, di sofa panjang, Arkan menaikkan sebelah keningnya.
'Tumben Abian sangat sopan? Meski dia memang sopan, sih, tapi rasanya aneh sekali,' batin Arkan heran.
“Hmm? Aku belum pernah melihat mereka berdua, apa mereka dari kedai Ayam Krispi itu?” tanya Lisa pura-pura bodoh, mengamati Casilda dan Ryan di samping Abian.
“Iya. Benar. Ini Casilda dan Ryan.”
“Ha-halo! Salam kenal! Nama saya Casilda!”
Suara sopan Casilda menyelinap masuk ke dalam ruangan dan menembusi gendang telinga Arkan. Ini membuat wajah Arkan langsung tertekuk gelap berbahaya dan dingin. Tangan kanannya yang berada di atas perutnya mengepal kuat.
“Halo! Salam kenal juga! Aku Lisa.”
“Ryan,” jawab Ryan ketus.
Hal tidak bersahabat itu langsung disambut dengan wajah jutek Lisa, tidak suka dengan sikap pria itu.
Dalam hati Lisa bertanya-tanya, kenapa baru kali ini ada pria yang tidak jatuh ke dalam pesonanya selain Abian? Pasti pria itu aneh dan punya selera buruk!
Tak ingin merusak suasana hatinya lebih kacau lagi setelah masalah Arkan, dia pun kembali berbicara dengan Abian.
“Aku tidak ingin mengganggu lebih lama lagi. Kalian akan pergi makan, bukan? Aku juga ingin mencari Rena, sampai jumpa, Abian!”
“Ya. Hati-hati dengan reporter di luar. Ajak seseorang untuk melindungimu, Lisa!” sarannya cepat.
“Baik!” Lisa melambaikan tangannya pelan dan berjalan menghampiri beberapa kru yang terlihat bercakap-cakap setelah menikmati makanan yang ada.
“Semua orang tampaknya sudah mulai makan. Kita bergegas juga kalau begitu. Aku yakin ada banyak limpahan makanan, tidak akan kehabisan. Tapi, alangkah baiknya kalau kita makan bersama-sama. Ramai lebih baik, bukan?”
“Casilda! Jangan mau ditarik-tarik olehnya!” protes Ryan kesal.
“Apaan, sih?!” desis Casilda malu-malu. “Maaf, dia ini kadang memang aneh-aneh.”
Abian Pratama terkekeh renyah mendengarnya.
Hening.
Arkan menelengkan kepalanya, sorot matanya dipenuhi tanda tanya.
'Mereka sudah pergi?' batinnya pelan.
Selama beberapa saat, pria ini tak bergerak di sofa panjang itu, matanya masih menatap dingin dan kosong pada pintu yang terbuka sedikit di seberang ruangan.
Kedua matanya mencoba dipejamkan kuat-kuat dan mengusir hal-hal yang mengganggu pikirannya.
1 detik.
2 detik.
3 detik...
“Berengsek!” umpatnya kasar dengan kening dikencangkan kuat, menggigit gigi marah, kedua tangan mengepal penuh kekesalan.
Dia segera bangkit dari sofa, duduk bungkuk menahan tubuhnya menggunakan kedua sikunya di kedua paha. Jari-jari saling terpilin di depan dadanya yang tereskpos indah di balik kancing kemeja yang terbuka separuh.
Kedua matanya bercahaya menakutkan, dingin dan mendominasi.
“Ini pasti gara-gara si gendut itu. Hadir di tempat ini dan membawa sial ke mana pun kaki kotornya itu melangkah! Tidak heran hari ini berantakan semuanya!”
Wajah sang aktor ditekuk menggelap dengan guratan kebencian kembali menghiasi kulit indah dan halusnya.
“Dia harus diberi pelajaran,” ucap Arkan dingin dan dalam tanpa ada belas kasihan dalam suaranya.
Arkan kemudian bangkit berdiri dari sofa, berjalan santai penuh percaya diri. Dingin dan angkuh menuju pintu.
“Ya. Ya, sayang. Aku tahu. Aku tahu. Nanti aku akan segera pulang. Aku masih di acara panti asuhan itu. Jangan cemas, aku pasti akan membelikan s**u untuk anak kita! Aku akan coba berbicara dengan bosku untuk minta gaji lebih dulu. Tenang saja, ok?”
Seorang kru laki-laki berumur 30 tahunan dan berjaket biru tua berdiri di depan pintu ruang istirahat Arkan, dia sedang melakukan panggilan keluar dengan wajah gelisah seputih bubur.
Tiba-tiba saja, sebuah tangan berkemeja lengan panjang terjulur keluar dan menarik kencang kerah bagian belakangnya hingga tanpa daya masuk terseret ke ruangan di belakangnya.
“Eh?”
Pria itu kaget dengan kedua bola mata membesar, pikirannya langsung kosong saking terkejutnya dengan gerakan sentakan sangat kuat tanpa peringatan itu hingga mengabaikan teriakan istrinya di telepon.
“Suamiku? Halo? Suamiku?”
Pintu itu tertutup cukup keras dengan dinginnya.