Bab 17 Kebaikan dan Keramahan yang Menyentuh Hati Casilda

1697 Kata
Lisa sang tunangan dengan hati-hati meraih lengan sang pria, dan berkata dengan lembut, ”sudahlah. Tidak baik bertengkar di saat seperti ini. Lagi pula, tadi kamu sudah memberikan jawaban yang sangat hebat. Kali ini, kurasa bisa menjadi bahan yang bagus. Kita tinggal pilih editor berita gosip yang mau bekerja sama dengan kita agar artikel tentang Arkan mendapat kesan positif dari netizen.” “Kamu benar, Lisa. Beruntung kamu adalah tunangannya. Bukan salah satu dari perempuan bodoh tak berotak yang selama ini dikencaninya sesuka hati.” Rena melipat tangan di dadanya, berdiri dengan pose miring yang angkuh penuh gaya. Sebelah alisnya naik dengan penuh keseriusan. “Hei, kalian! Tunjukkan kamar untuk Arkan dan tunangannya untuk beristirahat!” perintah Rena pada sekumpulan kru yang berdiri di sudut ruangan. Para kru itu saling dorong-mendorong, tampak segan dan takut-takut, meski beberapa di antaranya adalah perempuan yang memuja Arkan, tapi dengan mood seperti itu, mereka juga tak berani mendekatinya. Setelah Rena memberikan tatapan galak, salah seorang pria akhirnya mengalah. “Silahkan ikuti saya!” ucapnya sembari membungkuk, menunjukkan jalan dengan tangan kanannya. Arkan yang tampak tak senang, melepas rangkulan lengan sang tunangan. Dia berdecak kesal dan buru-buru mengikuti kru pria di depannya. Karena merasa gerah dan sesak, dia pun membuka semua kancing jas dan beberapa kancing atas kemejanya. “Arkan!” rajuk Lisa manja. Tak jauh dari sana, 3 orang kru yang melihat pemandangan itu mulai berbisik-bisik liar. “Kamu lihat? Ya, ampun! Tunangan secantik itu pun masih diabaikannya. Apa benar mereka itu saling mencintai?” “Eiii... kamu lihat sendiri, kan? Mereka itu pasangan nasional yang paling serasi di negeri kita. Meski Arkan banyak skandal dan gosip, toh, dia tetap bertunangan dengan model bak dewi kecantikan itu. Jangan bicara yang tidak-tidak!” “Aku tahu, tapi, kan, aneh. Kalau dia benar menyukai sang wanita, harusnya dia tidak melepas rangkulannya itu. Malah seperti menganggapnya sebagai gangguan saja.” “Bodoh! Kamu pikir dalam hubungan itu semua harus lancar-lancar saja seperti jalan tol? Dasar jomblo akut!” “Memang kenapa kalau aku jomblo akut, hah?!” protesnya dengan suara keras hingga Lisa menatap mereka dengan tatapan penuh selidik. Ketiga orang itu langsung menundukkan kepala sopan, tersenyum kaku, dan segera bubar saat Rena melambaikan tangan pada mereka bertiga. Dasar mereka tukang gosip! maki Lisa dalam hati, bersungguh-sungguh mengejar sang tunangan di depannya. *** Casilda akhirnya turun dari mobil dan berdiri dengan kepala menunduk memberi salam sopan kepada Abian. Pria di depannya saat ini tersenyum sangat ramah dan penuh kelembutan. Beberapa saat lalu pria asing itu memperkenalkan diri sebagai Abian Pratama, pembeli yang memesan ayam krispi di kedai mereka dalam jumlah gila-gilaan selama 2 hari berturut-turut, dan sekaligus memberitahu posisinya dalam tim manajemen Arkan sang Top Star. Pria yang memakai mantel hijau berbulu itu ternyata adalah seorang produser ternama sekaligus teman akrab sang aktor. Mengetahui sosok terhormat itu mendekatinya, Casilda menjadi waspada dan sedikit merasa rendah diri. “Sopan sekali. Jangan terlalu kaku begitu. Jika dilihat-lihat, sepertinya kita seumuran.” Casilda salah tingkah dan hanya tersenyum kikuk. Baru kali ini ada yang memperlakukannya setara dan begitu baik. Padahal biasanya ketika melihat fisiknya saja, orang-orang akan menganggap enteng dirinya dan lebih sering memanggilnya dengan sebutan ‘ibu’ yang menghilangkan kesan anak muda dari dirinya gara-gara tubuh berisinya. Mau dipanggil apa pun, sebenarnya Casilda tidak masalah, toh, dia sebentar lagi akan memasuki kepala tiga. Lagi pula, yang lebih penting baginya adalah mengumpulkan uang, bukannya mengeluh soal panggilan yang ditujukan kepadanya. Namun, pria di depannya ini lain daripada yang lain. Dia seperti berusaha menjaga tutur katanya dengan baik dan hati-hati, ataukah dia memang seperti itu? “Terima kasih atas pesanannya selama ini. Kami sangat bangga bisa melayani Anda sekalian,” ucap Casilda tulus dan sekali lagi membungkuk sopan. “Hahaha! Tidak apa-apa. Ayam goreng krispi kalian memang enak, kan? Sudah sewajarnya pesanannya luar biasa.” Kedua mata Casilda menatap kagum kepada pria itu, baik tutur kata dan pembawaannya sangat lembut dan sopan, layaknya seorang pangeran dari negeri dongeng. Sangat berbeda sekali dengan seseorang yang diingatnya mencekik lehernya pada pertemuan pertama mereka. Dalam sedetik, api di dalam hati Casilda berkobar penuh dendam mengingat kejadian itu! “Ini, minumlah!” Abian memberikan sebotol minuman dingin dari dalam saku mantelnya. Selama beberapa detik, perempuan berkacamata ini menatap minuman yang ditawarkan olehnya. Hatinya yang semula memanas, menjadi sejuk walau hanya menatap minuman dingin itu. “Ambil. Ini untukmu. Pasti kamu capek, kan?” Casilda meraih botol minuman itu, sama sekali tak mengerti kebaikan hati sang pembeli tampan. “Te-terima kasih,” ucapnya malu-malu dengan kedua pipi merona merah. “Apa kamu tak ingat padaku?" "Ma-maaf?" gagap Casilda dengan tampang bodohnya, pupilnya mengecil heran. "Ah, jahat sekali. Padahal aku adalah pembeli setia kedai kalian," kekehnya dengan nada suara yang begitu lembut dan menenangkan. Casilda tertegun takjub dengan wajah manis tampannya. Apakah benar dia ini adalah seorang produser? Bukan seorang aktor atau model? Ataukah pangeran tersembunyi? "Cas? Casilda? kamu baik-baik saja?" Abian mengibas-ngibaskan tangan kanannya pada wajah perempuan di depannya, terlihat bingung. "Sa-saya ba-baik-baik saja. Maaf, saya tidak mengenali Anda, Tuan Abian." "Panggil Abian saja." Matanya tersenyum. "Eh? Ngomong-ngomong, bagaimana Anda tahu nama saya?" Senyum lebar dan menarik terkembang di bibir Abian, terlihat begitu antusias dan bersemangat. "Aku selalu mendengar pemilik kedai itu meneriakkan namamu saat ada pesanan masuk." "Oh... begitu rupanya..." Casilda tersenyum kaku. Dia sama sekali tak menyangka ada pria seperti Abian Pratama menaruh perhatian kepadanya meski fisiknya tidak seperti dulu lagi, ataukah dia terlalu konyol dan berapi-api saat bekerja hingga menarik perhatian beberapa orang, termasuk pria itu? Casilda sadar dan tahu diri kalau selama ini bekerja seperti orang kesetanan atau pun seperti pejuang 45 yang sibuk mengejar uang sampai tak peduli dengan tatapan aneh orang-orang yang mengarah kepadanya. Ya. Jika itu demi uang, perempuan ini tak akan segan-segan melakukan apa pun. Mau berguling di lumpur sekalipun seperti anjing, dia rela asal dibayar dengan uang yang banyak. "Kenapa melamun seperti itu?" "Eh? Ah! Sa-saya hanya terkejut saja. Sama sekali tak menyangka ada pembeli yang memperhatikan saya seperti itu." Wajah Abian memucat suram. "Apakah aku aneh?" Perempuan berkacamata tebal itu menggelengkan kepalanya cepat-cepat. "Tidak! Itu tidak aneh! Saya juga akrab dengan beberapa pembeli, kok. Mereka juga tahu nama saya. Hanya saja, saya tak menyangka kalau Anda adalah pembeli setia kami." "Ah, syukurlah!” Senyum di matanya terlihat begitu mempesona, jelas terlihat lega dengan perkataan lawan bicaranya. Casilda terpana melihat Abian yang seperti malaikat di matanya. Benar. Perhatian Abian terhadapnya sama sekali tidak aneh, beberapa pembeli dan pembeli di kedai ayam krispi itu banyak juga yang mengetahui namanya secara sepihak—sementara dirinya tidak mengingat semua nama mereka karena di otaknya hanya uang dan uang saja yang menjadi nomor satu. Perempuan ini sama sekali tak menyangka bahwa pria sopan dan tampan itu juga bagian dari pembeli yang suka memerhatikannya, entah karena bosan atau pun tak ada kerjaan lain saat datang di kedai. “Tapi, saya tak pernah melihat Anda di kedai,” tukas Casilda jujur. “Aku tidak datang setiap hari, hanya pada hari-hari tertentu saja dan biasanya pada Sabtu malam.” “Oh... pembeli biasanya sangat ramai saat itu.” “Benar. Mungkin itu sebabnya kamu tak mengingatku, ya? Apalagi aku suka memakai topi ketika berkunjung ke sana.” Senyumnya terlihat sedikit sedih, tapi sorot matanya terlihat senang. Tiba-tiba Casilda teringat sesuatu. “Ah! Apakah Anda yang suka duduk di pojokan dekat pintu kaca?! Dan selalu memesan 2 keranjang ayam krispi dan sebotol besar minuman bersoda?!” “Benar. Itu aku. Kamu tahu juga rupanya. Senangnya!” kekeh Abian dengan wajah manisnya yang berseri-seri. Tatapan mata Casilda seolah bersinar-sinar oleh cahaya yang menyilaukan, dan air liurnya nyaris menetes dengan serangan visual Abian yang begitu indah. 'Aneh. Biasanya aku tidak nyaman jika berhadapan dengan pria berwajah indah seperti ini. Apakah karena dia sangat sopan dan lembut, ya? Rasanya menyenangkan sekali bercakap-cakap dengannya. Sangat menenangkan...' batin Casilda dengan perasaan hangat di hatinya. “Oh, ya. Aku lihat kamu bersama seseorang ke mari. Ke mana dia?” “Eh? Uhm? Di-dia ada di dalam panti. Mungkin masih sibuk membantu yang lain,” jawab Casilda asal, tersenyum dipaksakan. Abian melihat jam di tangannya, lalu menoleh menatap ke arah tenda. “Apa kamu sudah makan?” “Ya?” Casilda terbodoh mendengar pertanyaan itu. “Bagaimana kalau kita makan dulu di dalam panti. Di luar, suasananya sangat ramai, tidak enak berdesakan, bukan?” “Eh?” Lagi-lagi Casilda hanya bisa terbodoh dengan keramahan pria tampan dan manis itu. “Ayo, kita makan dulu. Kamu pasti lapar, kan, setelah bekerja seharian?” “Ti-tidak juga. Terima kasih, tapi saya masih kenyang, kok,” tolaknya cepat dengan kedua tangan digerak-gerakkan di depan tubuhnya. Air botol di tangan Casilda ikut berguncang. “Tidak apa-apa. Jangan sungkan, bagaimana pun kalian juga adalah kru kami hari ini. Ayo, makan bersama di dalam! Jangan malu-malu.” “Ta-tapi...” “Menolak rejeki baik itu tidak bagus, loh!” “Eng... ba-baiklah...” patuhnya dengan eskpresi mengalah, tidak enak dengan desakannya yang begitu ramah. Casilda senang bertemu pria yang memperlakukannya begitu baik seperti seorang wanita, tapi pria di depannya itu terlalu berlebihan dalam berkata-kata, padahal baru bekerja belum genap 2 jam, tapi kata-katanya seolah tengah memujinya bagaikan budaknya yang telah bekerja keras. Namun, sultan kedai ayam krispinya itu sepertinya cukup tanggap dengan keadaan di sekitarnya. Ratu Casilda Wijaya diam-diam memang sudah menahan rasa lapar! Sejak Casilda mengemudikan mobil hingga sekarang, perutnya belum terisi apa pun. Wanita ini mengabaikan perutnya yang sudah mulai berdemo bersama para cacing, karena tertekan setelah mengetahui identitas Arkan sang Top Star. Akhirnya pelan-pelan kehilangan nafsu makan juga. “Ayo, Casilda!” ajaknya dengan wajah penuh senyum dan bercahaya. Perempuan itu mengangguk patuh dengan wajah tersipu kecil. Setelah mengunci mobil van kedainya, dia pun berjalan dengan perasaan canggung mengikuti Abian Pratama menuju rumah panti asuhan tersebut. "Apa ada makanan yang tidak kamu suka?" tanyanya pelan. "Ti-tidak juga. Selama halal, saya makan semuanya, kok!" Abian tersenyum kecil mendengarnya. "Baiklah, kalau begitu kita coba semua makanan yang ada, ya?" "Eeeh?" Casilda terperangah kaget. Dari jauh, melalui jendela sebuah kamar, sesosok pria berkemeja putih dengan sebagian kancing terbuka yang sangat seksi menggoda, menatap tajam kedua orang itu dari balik gorden. Ujung-ujung rambut hitam legamnya yang indah bergerak lembut tertiup oleh angin, sorot mata penuh kebencian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN